Teman Baru


Semarang, 22 September 2012

Rei,
Sekarang hari Sabtu. Apa kau sedang menikmati liburan dengan secangkir teh dan morning glory di halaman belakang? Sepetak tanah berumput di kampus yang dulu pernah kuceritakan sekarang dilingkupi lembaran-lembaran seng. Mereka membuat proyek lagi di sana, entah gedung baru, tempat parkir atau yang lain. Yang jelas, kemungkinan aku akan kehilangan sepetak tanah yang penuh bunga-bunga rumput kecil mirip dandelion itu. Bahkan aku mulai menyebutnya taman dandelion meskipun aku tahu mereka bukan dandelion.
Tapi masih ada petak-petak tanah berumput lainnya yang sekarang kecoklatan karena dihirup kemarau. Beberapa pohon ditanam di samping kelas, di salah satu taman dandelion itu. Sudah sejak awal aku memperhatikan mereka seperti memperhatikan kawan baru yang tiba-tiba muncul di kelas. Batangnya hijau, masih kecil tapi dengan daun yang lebar-lebar. Tinggi mereka beragam, tapi yang paling tinggi mungkin sebatas bahuku.
Sejak hari mereka ada di sana, aku bertanya pada sebanyak mungkin teman: “Apa nama pohon itu?” tanpa menghiraukan tatapan heran mereka karena aku begitu sibuk mencari tahu nama sebuah pohon. Tapi tidak seorang pun yang yakin. Kebanyakan menjawab tidak tahu, beberapa malah dengan ngawurnya menyebutkan nama “pohon jati”, padahal jelas-jelas daun jati tidak seperti itu. Aku mulai berpikir aku harus bertanya pada bapak yang pernah kulihat sedang menyirami mereka. Barangkali saja bapak itu tahu. Tapi sayangnya, hanya sekali aku melihat bapak itu di sana. Kemudian aku tidak melihatnya lagi.

Rei,
Akhirnya aku sempat menyerah untuk mencari tahu nama pohon itu. Bukankah begitu banyak pohon-pohon yang tidak kita ketahui namanya? Bahkan aku juga tidak tahu nama pohon berdaun keriting yang bagitu banyak tumbuh di halaman kampus. Barangkali keinginan untuk mengetahui nama-nama pohon yang kulihat ibarat keinginan untuk mengetahui nama setiap orang yang kutemui di jalan.
Sampai kemarin pagi, ketika aku kuliah di kelas dekat tempat mereka ditanam, aku masih belum tahu nama mereka. Aku mencoba bertanya lagi pada teman yang duduk di bangku belakangku. Dia mengamati pohon-pohon itu sebentar kemudian menggeleng dan berkata, “Tidak tahu.”
“Ah...Mungkin saja itu pohon jabon,”kataku tiba-tiba.
Aku tidak tahu di mana aku pernah mendengar nama pohon jabon dan kenapa saat itu aku menyebut nama pohon jabon. Tapi ajaib sekali. Pagi ini aku membereskan buku-buku yang berserakan di kos, buku-buku program perpustakaan yang harus kudata. Dana aku menemukan buku itu., judulnya: Emas Hijau Bernama Jabon. Gambarnya ada di sana. Pohon-pohon berdaun hijau lebar seperti pohon yang ditanam di taman dandelionku.
Belum sepenuhnya yakin, kuketikkan nama jabon di kotak mesin pencari. Dan “cling!!!” Deretan foto pohon itu terpampang di layar. Aku yakin sekarang. Itu memang pohon yang kucari.

ini: jabon, teman baruku

Aku tidak tahu kenapa aku senang setelah mengetahui namanya. Barangkali aku merasa akan bisa menyapa mereka jika kami bertemu, karena mereka juga punya nama. Bukankah aku sudah bercerita tentang pohon kersen kesayanganku? Kau bilang, aku bisa mengingatnya ketika aku sedih. Dan ternyata mencari tahu nama-nama pohon juga menyenangkan, sama seperti kesenanganku menulis tentang mereka.

Rei,
Kuharap liburanmu menyenangkan. Entah itu kau habiskan di halaman belakang atau sibuk di kampus. Dan semoga lain kali aku bisa bercerita tentang pohon linden. Semoga saja kita menemukannya J J.

Comments

Popular Posts