Tak Perlu Bunga-Bunga
Semarang, 5 September 2012
Matahari musim kemarau.
Aku menuliskan ini sambil
mengamati tanah berumput di samping kelas yang mengering kecoklatan. Tapi bunga-bunganya
yang kecil tetap muncul di sana sini, jadi aku bisa memetik dan meniupnya
seperti biasa, seperti setiap kali aku membayangkan ada seseorang yang berdiri
di belakangku, ikut mengamati biji-biji rumput itu beterbangan di udara. Mengingat
bayangan itu seperti memutar film yang pernah kutonton di otakku. Tapi hal-hal
kecil semacam itu biarkan saja berakhir di atas kertas, seperti film yang
kureka-reka sendiri. Karena aku tahu kau bahkan akan menyuruhku memetik sendiri
bunga-bunga perdu ketika aku bercerita tentang mawar dan edelweiss dari puncak
Merbabu.
Di atas segalanya, bunga-bunga
itu tidak penting.
Ya, tidak penting meskipun aku
sering menyebut-nyebutnya, sering menuliskannya, mengaguminya, tapi aku tidak
terobsesi dengan keromantisan yang dilambangkan orang dengan bunga-bunga itu. Aku
hanya senang menyebutnya, menjadikannya inspirasi karena bahkan bunga rumput
yang tangkainya mungil itu terlihat mempesona. Kalau aku memang ingin diberi
bunga, cukuplah setangkai kembang pete yang diberikan ibuku mewakili semua
bunga yang pernah mekar di dunia.
Maka di atas segalanya,
bunga-bunga itu tidak penting.
Aaku tahu bagimu bahkan hari
ulang tahunku pun bukan hal yang penting. Tapi memangnya sejak kapan ulang
tahun menjadi penting bagiku? Aku tidak dibesarkan dengan ajaran pengkultusan
terhadap hari-hari semacam itu. Jadi tidak masalah untukku meskipun sampai hari
ini, ketika usiaku sudah melewati angka belasan, aku belum pernah sekalipun
meniup lilin ulang tahun. Jadi kalau hari ulang tahun yang sering dimaknai
orang dengan hadiah, kue, dan lilin saja tidak penting, untuk apa setangkai
bunga menjadi penting?
Kau tidak perlu melambangkannya
dengan apapun.
Mungkin semua orang akan bosan
mendengarkanku, segala ocehanku yang terdengar hiperbolis dan mengada-ada. Tapi
aku akan tetap bercerita seolah-olah seluruh dunia mendengarkanku, atau bahkan
seolah-olah tidak seorang pun mendengarkanku dan aku tidak peduli. Bukankah tidak
ada ruginya berbicara dengan diri sendiri? Tapi kadang-kadang aku ingin juga
bicara dengan orang lain, bicara denganmu.
Maka kau tidak perlu
melambangkannya dengan apapun.
Satu sapamu saja, ketika aku
pulang dari kampus, ketika aku sedang duduk menonton televisi, ketika
malam-malam sedang rapat, ketika duduk di bis yang pengap, ketika aku melamun
dekat jendela, ketika aku sedang tidak ingin makan, satu sapamu itu saja akan
berharga mahal. Sangat mahal sampai aku tidak berani memintanya.
Jadi di atas segalanya,
bunga-bunga itu tidak penting.
Aku selalu belajar untuk tidak
menginginkan hal yang muluk-muluk, meskipun aku berlebihan membilang 12 hari
yang sudah terlewati tanpa melihatmu. Dua belas hari yang berusaha kujalani
senormal mungkin, tidak mengharapkan banyak hal selain sebuah sapaan dan
kesempatan untuk pulang, melihatmu, duduk berhadapan di antara sebuah meja
sambil membicarakan kuliah matematika atau batu yang kudapat dari Puncak
Merbabu.
Dan di atas semua kekesalanku,
di atas tingkahmu yang kadang-kadang menyebalkan, di atas segalanya, aku kangen
padamu.
Kampus, Ruang 22
Tetaplah di sana, jangan ke mana-mana
Tetaplah di sana, jangan ke mana-mana
Comments
Post a Comment