Dari Selembar Kertas
Halaman sekolah. 2009.
Orang lalu lalang. Yang kukenal maupun yang tidak
kukenal. Hilir mudik di sekitar. Bising. Aku tidak begitu mendengarkan apa yang
dikatakan teman-temanku, hanya sekedar ber-“ah oh” sekedarnya. Band di panggung
entah membawakan lagu apa. Telingaku tidak fokus. Atau pikiranku yang tidak
fokus. Ah, tidak. Sebenarnya pikiranku fokus sekali. Padanya.
Dia berdiri sekitar sepuluh meter dari tempatku
berdiri.
Matanya membulat lebar sambil mendengarkan teman-temannya
bicara. Dia tertawa, menggerakkan tangannya lalu menyibak rambutnya yang hitam
panjang. Aku belum lepas memandangnya sejak menemukannya sedang berjalan masuk
ke halaman ini. Wajahnya entah bagaimana seperti ditempeli semacam magnet dan
bola mataku menjadi logam yang selalu tertarik ke arahnya.
Tuhan,
sungguh ini keterlaluan.
Semesta bersekutu untuk membuatku memandangnya,
bahkan sejak langkah pertama, sejak aku melihat bola mata hitamnya yang sebulat
kelereng.
Tidak bisa tidak. Aku harus tahu namanya sekarang
juga.
***
2012
Tidak bisa tidak.
Air mata yang dari tadi mendesak sudah tidak bisa
disembunyikan lagi. Lagipula apa salahnya menangis? Toh aku jadi lebih mudah
bernapas karena gumpalan sesuatu yang tersangkut di tenggorokan akan menghilang
bersamaan dengan air mata yang merembes keluar.
Huh!
Aku membanting tubuhku ke atas ranjang. Kali ini
sungguh keterlaluan. Apakah sebenarnya penerimaan dan pemahaman harus
beriringan atau berjalan sendiri-sendiri? Aku menerimanya walaupun tidak
mengerti beberapa hal. Baiklah, aku memang tidak harus mengerti semuanya. Bukankah
dunia tidak akan menarik jika semua orang bisa saling membaca pikiran? Tidak ada
yang akan dipercakapkan, tidak akan ada yang dipertanyakan. Tapi sekali ini,
sekali ini saja, aku ingin dia mengerti perasaanku. Klise sekali.
Aku berbaring menatap langit-langit kamar, mulai
lelah menangis. Pasti penampilanku sudah kacau sekali dengan rambut panjang acak-acakan
dan wajah basah. Tapi siapa yang peduli? Toh aku sendirian. Ya, aku sendirian
sedangkan dia entah di mana bersama siapa. Barangkali bersama perempuan itu,
yang disebutnya sebagai “teman baik.” Tapi sekali ini aku tidak ingin mengerti
lagi.
Dadaku masih terasa sempit mengingat kalimat itu,
kalimat yang diucapkannya tanpa berteriak, tapi sudah cukup untuk membuatku
terkejut melebihi teriakan manapun.
“Sudahlah, aku lelah. Kau selalu seperti anak
kecil.”
Apakah orang dewasa tidak pernah merasa cemburu?
Tidak bisa tidak.
Sekali ini aku tidak akan mengerti.
Tiba-tiba aku bangkit, duduk dengan bingung di
atas ranjang. Aku melempar boneka ayam kecil berwarna kuning begitu mataku
melihatnya duduk manis di atas meja. Seperti menemukan pelampiasan, segera kulempar
boneka-boneka lain yang terjangkau oleh tanganku. Mereka tercecer di lantai,
seperti anak kecil tidak berdosa yang baru saja dimarahi.
Ya, mungkin memang aku kekanak-kanakan.
Tapi aku mulai lelah setiap kali dia menyebut nama
“teman baik”nya itu, setiap kali aku melihat nama “teman baik” itu di layar
ponselnya, setiap kali aku tahu dia pergi bersama “teman baik”nya itu. Sungguh,
aku lelah. Kali ini terserah padanya.
Kubuka laci mejaku, sebuah kotak berwarna biru
langsung kusambar dan kubuka tutupnya dengan kasar. Ada banyak barang di sana. Barang-barang
kecil yang kelihatannya tidak penting. Tiket bioskop pertama. Foto-foto. Dan selembar
kertas itu. Lama aku mengamatinya.
Tiba-tiba ponselku berdering.
Namanya muncul di layar. Ya, namanya. Orang paling
acuh sedunia yang sudah membuatku menangis.
Sekuat tenaga kutahan tanganku agar tidak bergerak
mengambil ponsel dan menjawab panggilan itu. Kali ini aku tidak akan kalah. Biarkan
saja. Aku tidak ingin bicara padanya. Tanpa sadar, mataku kembali beralih pada
kertas itu. Aku membacanya. Mengamati kata-kata yang bahkan sudah hampir
kuhafal di luar kepala. Dering ponsel berhenti. Aku mendengar nafasku sendiri.
Ada yang bergetar.
Aku tidak pernah lupa bahwa dia pernah menulis
ini. Tapi aku lupa rasanya seperti ini ketika mengingatnya. Seperti tidak
percaya, tulisan itu miliknya, telah dia tulis untukku. Aku merasa kalah lagi
sekarang. Tidak, tidak ada kalah dan menang....
Ponselku berdering lagi.
Masih namanya yang muncul di sana, dan aku tidak
bisa mengacuhkannya lagi.
Aku diam.
Dia diam.
Kebekuan mengambang di udara. Aku hanya mau
menunggu, tidak ingin bicara.
“Maaf,” katanya pelan.
Aku masih diam.
“Maaf,” katanya lagi.
Dan aku tahu semua akan baik-baik saja sesudah
ini.
***
Ruang Kelas. 2009.
Aku membacanya lagi. Berulang-ulang.
Sejak pertama kali memikirkan ide ini, aku
bertanya-tanya sendiri: makhluk apa yang merasukiku? Tulisan acak-acakan ini
benar-benar tulisanku sendiri. Aku menggeleng cepat. Biarkan saja. Mau dikatakan
gila, bodoh, aneh, siapa yang peduli.
Kumasukkan cepat-cepat kertas itu ke dalam amplop
putih.
Aku sudah tahu namanya.
Tidak bisa tidak. Aku juga harus mengenalnya.
Semarang, 7 September 2012: 14.19’
Terimakasih Pincuk buat inspirasinya
Kekuatan tulisan memang tidak bisa diremehkan :p
Comments
Post a Comment