Aku dan Pohon Kersen itu
Ternyata sudah lebih dari setahun.
Ya, sudah setahun lebih sejak pertama kali aku datang ke tempat ini, meninggalkan Sekaran yang ketika itu masih berkabut. Aku gamang. Sendiri mendatangi tempat asing dengan suasana asing dan orang-orang asing yang sama sekali belum kukenal. Ketika itu aku mematung di seberang jalan, menerawang rumah bercat hitam-putih dengan pagar dan gerbang yang menutup di depannya. Itulah tempat yang akan menjadi “rumah”ku, tempat berlindung selama aku berada di dunia yang asing ini.
Tidak butuh waktu lama untukku merasa terkejut dengan lingkungan baru dan orang-orang baru yang harus kuhadapi. Tapi juga tidak butuh terlalu banyak waktu untuk belajar, memahami, mengamati dan menyesuaikan diri dengan semua hal di sini. Kehidupan mengalir begitu saja, mempertemukanku dengan orang-orang baru yang lain dan menempatkanku dalam berbagai situasi yang mengharuskanku belajar lebih banyak lagi. Tiba-tiba saja sekarang aku sudah menjadi seorang mahasiswa semester 3 dan ada adik tingkat yang akan tersenyum sambil menganggukkan kepala ketika berpapasan denganku di kampus.
Rumah yang dulu terlihat terlalu angkuh untuk kutaklukkan itu kini sudah hampir memiliki arti sebagai “rumah” yang sebenarnya bagiku. Kamar sempit di bagian depan yang memiliki jendela langsung keluar rumah telah menjadi dunia kecil tempat aku banyak bercerita. Aku suka jendela kecil itu sejak pertama kali aku datang. Aku sering membukanya setelah subuh, membiarkan udara luar yang segar menggantikan udara pengap yang terperangkap di dalam kamar. Aku suka duduk di dekat jendela itu kapan saja: pagi, siang, sore, malam, lalu memandangi bukit di sebelah barat, warung kecil persis di seberang jalan, kendaraan-kendaraan yang melintas di jalan raya, dan tentu saja, pohon kersen itu.
Ketika pertama kali melihatnya, aku tidak tahu apa nama pohon itu. Lingkungan rumahku di dekat pantai selatan dipenuhi dengan pohon kelapa dan aku tidak yakin pernah melihat pohon itu sebelumnya. Lalu seorang teman berkata padaku, “ Namanya pohon kersen.” Entah kenapa aku menyukai pohon itu, meskipun tidak begitu suka pada buahnya yang merah, bulat dan kecil.
Pohon kersen itu tumbuh di luar pagar, di antara rumah kami dan rumah seorang tetangga yang membuka toko makanan ringan. Daunnya yang begitu rimbun tumbuh memayungi jalan raya di depannya, dan sebagian juga sampai di halaman rumah kami, lurus dengan jendela kamarku. Tidak begitu jauh di samping pohon favoritku itu juga tumbuh pohon kersen yang lain, dan masih ada dua pohon lagi di seberang jalan. Jadi, jalan raya di tempat itu seperti memiliki payung alami dari daun-daun kersen.
Ketika memandang keluar, daun-daun kersen itu tidak pernah luput dari mataku. Aku merasa bersahabat dengannya, karena sejauh ini pohon itu telah banyak memberikan inspirasi ketika aku duduk menulis di dekat jendela. Di pagi hari, halaman kami dikotori oleh daun-daun kersen dan buah-buahnya yang jatuh dari pohon, tapi aku senang melihat cahaya matahari pelan-pelan menyusup dari ranting-rantingnya. Ketika terbangun di malam hari, tidak jarang aku membuka tirai jendela hanya untuk sekedar melihat pohon itu tegak berdiri dalam kegelapan dan kelengangan jalan.
Seingatku, pohon itu selalu berbuah. Barangkali sepanjang tahun adalah musim kersen. Buah yang belum matang berwarna hijau sehingga tersamar dalam rimbun dedaunannya, sedangkan buah yang sudah matang menjadi merah dan biasanya menarik orang-orang yang datang ke rumah kami untuk memetiknya. Pohon favoritku itu berdaun paling lebat dibanding ketiga pohon yang lain. Daunnya kecil-kecil, menyirip dan pinggirannya bergerigi. Sepertinya semua yang tumbuh dari ranting pohon itu berbanding terbalik dengan batangnya yang kokoh, tinggi dan besar, karena selain daun dan buahnya yang kecil, bunga kersen juga sangat kecil. Bunga-bunga itu tidak akan terlihat jika tidak diperhatikan. Warnanya putih dengan lima helai mahkota dan putik berwarna kuning. Sangat kecil dan rapuh. Namun tetap saja indah, seperti bunga-bunga lainnya.
Aku berharap pohon itu akan tetap tegak di sana sampai tiba waktunya aku harus pergi. Dia menjadi teman setia dan saksi atas semua kehidupan di dalam rumah kami, dan kehidupanku sendiri. Karena itulah aku ingin mengabadikannya di atas kertas, dalam tulisan-tulisan yang akan kusimpan dan mungkin juga akan kubagikan.
Teman,
Aku ingin suatu hari nanti kau bisa melihat pohon itu berdiri kokoh menyapamu di sini. Kau bisa memetik buah-buahnya jika kau suka. Aku akan berdiri di bawah dan mengumpulkan buah-buah yang kau petik itu. Kita juga bisa berdiri di bawah naungan dahan-dahan yang masuk ke halaman rumah, mengamati bunga-bunganya yang kecil tapi cantik. Atau kita bisa menghitung buah-buah kersen yang masih ada di pohon, sebuah pekerjaan yang tidak akan ada habisnya, mirip dengan menghitung bintang di langit.
Seperti yang kau katakan, aku pasti akan merindukan pohon itu 5 atau 7 tahun ke depan. Karena itulah aku membagikan cerita ini padamu, agar kau ikut menyimpannya dan bisa menceritakan kembali tentang pohon itu padaku saaat nanti aku rindu. Ya, hampir seperti pensieve Harry Potter. Seperti itulah. ^_^
Sebuah cerita untuk morning glory di halaman belakang
Kampus, 16 November 2011
12.00
Comments
Post a Comment