Cerita Pengantin Baru: Persiapan Pernikahan (Ribet tapi Menyenangkan)

akhirnya... salah satu mimpi ini terlaksana

Perjalanan cukup panjang penuh kegalauan dalam menentukan pendamping hidup tidak perlu saya ceritakan di sini. Cukup saya, Tuhan, dan keluarga yang tahu.

Sekarang, saya hanya ingin berbagi sedikit pengalaman tentang persiapan pernikahan yang ribet-ribet gampang. Siapa tahu ada teman yang belum menikah yang ingin mencari referensi. Hohoho. Nggak ding. Aslinya cuma ingin nulis untuk dokumentasi. Siapa tahu besok anak kami bisa nemu tulisan ini dan membaca bagaimana perjalanan pernikahan orang tua mereka.

Ketika pada bulan Februari –saya, abang dan keluarga menetapkan pernikahan pada tanggal 6 Mei, saya sudah sadar bahwa waktu-waktu tersebut akan sangat sibuk. Anak-anak saya di sekolah akan menghadapi UTS, TKM (ulangan kenaikan kelas), dan belum lagi sekolah kami akan menghadapi ujian nasional kelas VI dan juga akreditasi. Tapi saya tidak mau mundur lagi. Saya yakin akan bisa melewati semuanya dengan baik.

Banyak orang bilang, orang yang akan menikah ada saja cobaan dan halangannya.

Alkhamdulillah. Saya masih bersyukur tantangan saya –saya lebih senang menyebutnya tantangan dibanding cobaan, hanya sebatas pekerjaan kantor yang tak kunjung usai. Tapi soal interaksi saya dan abang tidak ada masalah yang terlalu berarti. Kami melewati masa-masa menunggu dan mempersiapkan segalanya dengan cukup santai (saya masih agak sering emosi dan moody-an sih hehe). 
  

Tantangan pertama adalah karena adanya perubahan rencana acara resepsi di Kebumen. Cita-cita saya adalah mengadakan acara akad nikah sederhana yang hanya dihadiri keluarga dekat. Tapi karena berbagai macam pertimbangan dari keluarga besar, akhirnya rencana pun berubah. Orang tua dan keluarga menginginkan resepsi sederhana agar bisa berkumpul dengan sanak saudara yang cukup jauh. Dengan waktu yang terbatas dan perubahan rencana yang cukup mendadak, saya pun langsung ngebut mempersiapkan hal-hal yang diperlukan.

Undangan dan souvenir adalah barang pertama yang saya cari. Karena waktu saya di Jogja juga tidak terlalu longgar (kerja sampai jam 2 lebih dan ada les privat), saya pun malas untuk survey ke sana kemari. Saya lebih memilih untuk memanfaatkan instagram untuk melihat-lihat desain dan memakai whatsapp untuk bertanya-tanya soal harga. Seperti perempuan kebanyakan, saya pun melihat-lihat dan menyimpan banyak foto undangan serta souvenir untuk referensi, kemudian juga ribet sendiri mencari tulisan untuk ditaruh di souvenir.

Entah berapa tempat yang saya hubungi lewat whatsapp, karena awalnya saya sangat ingin membuat undangan sekaligus souvenir berupa blocknotes. Tapi karena harga yang tidak terjangkau setelah bertanya di begitu banyak tempat, akhirnya saya menyerah dengan cita-cita itu (karena pesan sedikit jadi harganya lebih mahal). Saya pun memilih sebuah vendor undangan di daerah Bantul. Harganya murah, desain simpel dan revisi tidak terbatas (kan biasanya ada tuh yang membatasi revisi maksimal dua kali atau berapa). Saya pun mewujudkan keinginan saya untuk menggunakan desain daun momiji atau mapple di undangan kami (undangan untuk acara di tempat saya dan abang sama, hanya berbeda tempat dan waktu).

Berikutnya saya agak senewen memilih souvenir. Saya ingin souvenir yang sederhana tapi berguna, dan jelas (seperti ciri khas saya) bisa diberi sebait dua bait kata-kata melankolis –atau alay, melampiaskan kegagalan saya yang semula ingin mencantumkan sebait puisi di kertas undangan (karena abang tidak setuju heuheu). Saya sempat bingung memilih ini dan itu, harga dan desain yang cocok yang mana. Melihat saya yang mulai ngambek, waktu itu abang mengambil hp saya dan mulai ikut melihat-lihat. Karena abang ingin souvenir untuk temannya disatukan dengan undangan, abang langsung mengusulkan untuk pesan souvenir di tempat kami memesan undangan. Setelah dihitung-hitung, harganya pun oke. Saya pun menanyakan pada mba sri (yang punya vendor) dan dia sanggup untuk masalah packing-nya yang agak ribet (undangan abang digabung dengan souvenir, undangan saya tidak).

Ternyata benar ya, laki-laki berpikir lebih simpel, logis dan praktis.

Kami pun mengunjungi rumah mba sri untung memberikan desain dan membayar uang muka. Masalah undangan dan souvenir pun beres, tinggal beberapa kali revisi desain dan alkhamdulillah selesai tepat waktu.

souvenir tas blacu

instagram: erchicraft
simpel dengan desain pohon mapple

Selanjutnya, saya ingin sebuah buku tamu yang bisa costum design. Setelah melihat-lihat dan survey harga, saya memilih sebuah tempat di daerah kota Jogja. Kali ini saya menggunakan desain bunga favorit saya, dandelion. Hasilnya bagus sekali, saya suka.

my favourite dandelion
instagram: @fusiawedding

Soal makanan, saya tidak terlalu pusing. Adat di tempat saya (karena masih di desa), tidak pernah memakai makanan catering ataupun WO. Semua dimasak dan dipersiapkan sendiri oleh keluarga dan kerabat. Saya hanya tinggal berdiskusi dengan biyung soal menu makanan dan minumannya.

Untuk dekorasi, MUA dan sewa tenda serta alat catering, saya juga tidak terlalu pusing. Ada salon rias manten dekat rumah yang ibaratnya memang sudah tetangga dekat, jadi saya tinggal janjian dengan pemiliknya untuk mencatat apa saja yang perlu dipersiapkan. Saya tidak mau ribet ini itu. Saya memilih gaun yang ada. Dekorasi yang saya inginkan pun sebenarnya yang simpel saja, tapi kebetulan saat itu ada satu dekorasi baru yang belum pernah dipakai dan pemiliknya menawari saya. Saya pun mengiyakan tanpa pikir panjang.

my besties!!!! <3

Untuk baju akad nikah, saya dan abang memilih untuk menjahit sendiri. Kami mencari kain di jalan Solo. Abang menjahit jasnya di Wonogiri, sedangkan saya akhirnya menjahit di Kurnia Modiste, daerah Wirobrajan. Saya memilih warna biru, warna favorit abang. Ada sih yang menanyakan kenapa untuk akad nikah tidak pilih warna putih? Saya jawab saja, memang ada dalilnya harus pakai warna putih? Hahaha. Padahal alasan sebenarnya adalah, saya adalah orang yang ceroboh, jadi saya takut kalau punya gaun warna putih nanti akan cepat kotor (kan gaun itu rencananya akan saya gunakan untuk kondangan hahaha).

please pardon my face. selalu gak bisa senyum natural depan kamera. atau mungkin naturalnya saya gini kali ya hahaha

ambil inspirasi dari gaun-gaun nikah malaysia. simpel.

Saya bersyukur abang selalu bersedia mendampingi saya untuk segala macam persiapan pernikahan kami (di tempat saya). Abang pun tidak marah ketika saya merecoki untuk cepat-cepat mengurus surat pengantar ke KUA agar segera bisa mendaftar di KUA kecamatan saya. Saat mencari seserahan, abang pung ingin menemani saya mencari semuanya. Tapi akhirnya hanya bisa terwujud saat mencari baju dan alat sholat di Pands. Waktu itu pun abang memaksakan diri menemani padahal baru pulang lembur, masih pakai seragam, hujan pula. Akhirnya saya pun meminta uangnya saja dan mencari barang yang lain sendiri. Bukan maksud cari menurut kesukaan saya lho, yang penting adalah anggaran sudah disepakati. Abang memberi saya uang dan dengan uang itu saya cukupkan semuanya: sepatu, tas, dan alat make-up. Saya juga bukan tipe orang yang lama berbelanja. Sekali datang ke toko, saya selalu membawa keluar barang (karena capek kalau keliling-keliling toko, jadi saya selalu keliling dalam satu toko yang sudah saya pilih saja).

Selanjutnya untuk wrapping seserahan, saya hanya survey di dua tempat. Pilihan saya jatuh ke Rumah Pernik Sagan karena harganya lumayan dan lokasinya dekat dengan kos. Abang mengantarkan saya ke sana dan kami memilih wrapping dengan keranjang rotan, kain tile dan nuansa biru silver. Begitu barangnya jadi, rasanya sayang untuk dibongkar karena bungkusannya terlalu bagus heuheuheu.

bagus dan harganya lumayan melebihi budget wkwkwk
instagram: @rumahpernik.sagan

Kemudian tiba-tiba abangingin ada mahar uang juga. Karena dia suka Manchester United, abang ingin uang maharnya dibingkai dengan bentuk logo MU. Setelah survey (juga lewat instagram dan wa), ternyata harga di Jogja lumayan mahal. Akhirnya kami memilih tempat desain mahar di Muntilan. Kebetulan juga tidak terlalu jauh. Mahar dibuat dengan uang mainan (agar tidak perlu dibongkar). Sedangkan untuk uang 17 rupiah kami minta tidak usah dimasukkan ke dalam bingkai karena sebenarnya uang mainan yang dibingkai itu hanya simbolis saja biar lebih bagus kalau difoto. Hohoho.

instagram: @kaandamusouvenir

Tiba-tiba saya juga ingin cincin pernikahan couple. Waktu itu sempat terjadi perdebatan antara saya dan abang. Entah kenapa ya, saya ingin sekali abang juga pakai cincin nikah. Saya kan memang sangat melankolis. Abang yang tidak suka pakai aksesoris selain jam tangan tadinya menolak. Dia bilang orang-orang juga akan tahu dia sudah menikah tanpa dia harus memakai cincin. Semula saya pasrah, apalagi ketika melihat harga sepasang cincin nikah yang desain dan ukurannya custom dari bahan palladium lumayan mahal (palladium itu semacam logam bagus yang bukan emas, jadi halal dipakai laki-laki muslim, warnanya juga putih jadi cocok buat cowok). Sebenarnya yang membuat mahal adalah karena berat gramnya sudah ditentukan ada minimalnya, jadi sepasang bisa sampai tiga jutaan.

Abang pastinya tahu kalau saya masih setengah tidak rela. Sebagai orang yang sangat tidak tegaan, akhirnya dia mengalah dan (lagi-lagi) menemukan solusi. Saya membeli cincin emas putih di toko emas biasa, agar bisa memilih berat yang sesuai dengan kantong. Setelah itu, baru abang yang pesan cincin perak secara custom agar ukurannya cocok. Hahaha. Sesedehana itu. Kok saya nggak kepikiran ya. Pikir saya kalau cincin nikah harus beli di satu tempat dan desainnya sama. Akhirnya desain cincin kami pun beda,cuma sama-sama warnanya putih. Sebenarnya desain cincin abang juga bisa menduplikat cincin saya, tapi waktu ke toko itu kami lupa bawa cincin saya, jadi abang pun memilih desain sendiri.

Masalah cincin pun beres.

instagram: @cincinkawinkotagede
wrapping: @rumahpernik.sagan

Kemudian saya juga ingin sekali punya buket bunga sendiri dari bahan yang awet agar bisa jadi kenang-kenangan (maklum, saya sangat menghargai kenangan-kenangan kecil). Setelah memilih-milih dari sekian banyak bahan dan orang yang ada di instagram, saya memilih buket bunga satin di Jogja saja agar tidak perlu pakai ongkir. Tadinya saya ingin buket bunga matahari dari bahan flanel, tapi kain flanel lumayan cepat kotor dan warna kuning juga tidak sesuai dengan gaun saya (pink-toska). Akhirnya saya memesan buket mawar merah yang lebih netral.

my scarlet carson

instagram: @kei.bouquet

Satu hal yang tidak boleh dilupakan pentingnya adalah soal dokumentasi.

Saya sudah menetapkan jauh hari kalau saya akan pakai Kraton Liqbosh. Kemudian saya yang memang susah sekali menahan keinginan (dibanding kebutuhan), juga ingin sekali membuat wedding clip. Saya sering sekali menonton wedding clip di Youtube dan kadang-kadang bahkan sampai menangis sendiri karena terharu (padahal nggak kenal sama pengantinnya). Alasan saya memakai Kraton Liqbosh juga karena wedding clip-nya yang menurut saya sudah lumayan bagus (nggak kalah-kalah banget deh sama studio yang di Jogja hehehe). Awalnya sempat sudah hampir menyerah juga, tapi sekali lagi berkat kasih sayang abang dan sifatnya yang nggak tegaan, akhirnya keinginan saya terkabul. Hohoho. Saya pun mengontak mas Yanuar via WA. Alkhamdulillah jadwalnya masih kosong dan DP pun saya transfer lewat ATM.

percayalah yang wagu memang hanya ekspresi wajah saya hahah

wedding clip hanya untuk koleksi pribadi. saya juga minta untuk tidak diupload di youtube kraton liqbosh

eaaa jangan pada baper yak
instragram: @kraton.liqbosh

Urusan persiapan bisa dibilang sudah oke.

Tinggal menunggu hari sambil menyiapkan fisik dan mental.

Alkhamdulillah banyak dibantu keluarga dan teman, terutama juga abang yang selalu menemani dan mendukung apapun yang saya lakukan. Bahkan ketika kami kesasar karena saya salah baca alamat saat mengambil uang mahar di Muntilan, abang pun tidak marah. Melelahkan, memang, tapi menyenangkan. Kami melakukan banyak hal berdua, termasuk mengambil undangan dan souvenir di Bantul (jalan Parangtritis). Kami membawa dua buah kardus besar dan satu kardus kecil dengan motor, bahkan sampai mba sri yang ketakutan sendiri melihat kami tenggelam di antara kardus.

Ada hal yang lucu juga dari foto untuk buku nikah kami.

Abang terlalu malas diajak untuk foto ke studio. Tadinya dia mau pakai foto ijazah kuliah, tapi saya tolak mentah-mentah. Akhirnya abang foto sendiri di sekolah, memakai seragam kerja. Saya minta tolong Pak Andi (teman kantor yang pintar ngedit foto) untuk mengedit background temboknya jadi warna biru. Akhirnya malah Pak Andi yang kasihan melihat foto yang begitu polos itu sampai akhirnya dia edit dengan template jas hitam. Hahaha. Foto saya pun tidak kalah apa adanya. Saya difoto di kantor oleh Pak Andi memakai camdig sekolah. Pak Andi yang dasarnya suka fotografi mengambil entah berapa foto karena masih belum cocok, sampai bibir saya pegal dipakai tersenyum. Sesi foto-foto di kantor itu pun ketahuan oleh guru-guru lain sehingga berkali-kali saya malah sibuk menahan tawa dan membuat Pak Andi memotret lebih lama lagi (makasih banyak pak andi).

Ketika semua persiapan selesai, rasanya lumayan lega meski belum sepenuhnya.

Tinggal menghitung hari, berdoa dan menyiapkan mental.

Langkah baru dimulai dan ada beberapa hal yang berubah dan harus diubah dari hidup saya.

Masih ada banyak cerita. Tapi mungkin disambung lagi di cerita pengantin baru selanjutnya. Hahaha.

Yogyakarta, Juni 2017