Gerobak Bakso Pak No
Gerimis lagi.
Langit mulai meremang. Jalanan lengang. Batu dan
tanah diam, seakan dengan takzim menyambut tetes-tetes air yang jatuh sebagai
berkah dari langit.
Laki-laki itu masih berjalan menembus sepi jalanan
kampung yang sudah sangat dihafalnya. Dia mengusap wajahnya yang mulai basah
dengan sebelah tangan, lalu kembali mendorong gerobak kayu tua yang sudah
menemaninya selama belasan tahun.
Orang-orang sekampung memanggilnya Pak No. Tidak
banyak yang tahu siapa nama lengkapnya. Apakah Darno, Tono, Sarno, Triyono,
Marno, Karno, Darmono, Karyono atau Taryono. Orang-orang hanya menyebutnya Pak
No. Atau yang lebih panjang: Pak No Bakso. Sebab ada dua Pak No di kampung itu,
seorang lagi adalah Pak No yang punya bengkel sepeda di ujung barat kampung. Karena
itu orang menyebutnya Pak No Bengkel. Sedangkan Pak No yang satu ini mendapat
embel-embel bakso di belakang namanya tentu saja karena dia berjualan bakso.
Tepatnya, berkeliling kampung berjualan bakso.
“Ting... ting... ting...!!!”
Bunyi sendok beradu dengan mangkuk mengisi
keheningan di tengah gerimis sore itu. Pak No terus berjalan sambil berusaha
untuk tidak memikirkan apakah akan ada orang yang menghentikan gerobaknya atau
mencemaskan berapa banyak dagangannya yang masih tersisa. Dia berusaha untuk
tidak memikirkan apa-apa. Tapi justru semakin banyak yang berdesakan dalam
otaknya: keluhan istrinya tentang harga-harga yang merangkak naik, SPP anaknya
yang hampir jatuh tempo, gerobak yang seharusnya sejak lama diperbaiki, dan tetek
bengek ini itu.
Tepat ketika gerobaknya sampai di dekat surau
kecil di tepi jalan, adzan maghrib terdengar dari pengeras suara yang dipasang
di atas pohon asem dekat surau itu. Pak No berhenti, memarkir gerobaknya di
depan teras. Surau masih sepi. Barangkali karena gerimis. Atau memang surau itu
selalu sepi, setiap harinya.
Usai solat, gerimis makin rapat. Pak No duduk di
teras, memperhatikan hujan sambil menyulut sebatang rokok. Harusnya hujan-hujan
seperti ini orang ingin makan bakso, pikirnya. Kuah panas, sambal pedas, bakso
yang kenyal dengan irisan daging kecil di dalamnya sangat cocok untuk
menghangatkan dingin malam. Tapi dagangannya masih banyak. Barangkali
orang-orang bosan makan bakso. Atau mereka tidak punya cukup uang. Atau karena
ada warung bakso dan mie ayam yang buka di tengah kampung, dan orang-orang
lebih memilih ke sana untuk makan bakso dengan kerupuk dan sate telur puyuh.
Pak No menghisap rokoknya dalam-dalam, tiba-tiba
teringat teh hangat bikinan istrinya. Wajah perempuan yang sudah mendampinginya
selama 17 tahun itu berkelebat di matanya. Baginya, Lasmi tetap cantik, sama
seperti pertama kali dia melihat perempuan itu sedang menyapu daun-daun mangga
di halaman rumah ketika dia berkeliling menjajakan bakso. Mata Lasmi masih
teduh. Dia juga masih senang menggelung rambutnya tinggi-tinggi di belakang,
meski rambutnya kini kusut dan tidak sehitam dulu.
“Minggu depan sudah tanggal 15, Pak. “
Lasmi berkata padanya ketika ia mengeluarkan
gerobak siang tadi. Tanggal 15 berarti mencicil hutang pada bank. Dia tidak
menjawab apapun. Lasmi melepasnya dengan tatapan nanar dari balik jendela.
Hujan malah makin deras. Pak No berpikir untuk
segera pulang, kehilangan semangat untuk meneruskan berkeliling. Lagipula, dia
ingin tahu apakah Amin sudah pulang ke rumah. Amin, anak mereka semata wayang,
sekarang usianya 15 tahun, kelas 1 SMA. Kemarin sore anak itu ngamuk,
membanting piring, memukul pintu, menyumpahserapahi hidupnya yang ia bilang
sialan. Katanya dia malu datang ke sekolah naik sepeda butut. Dia mau motor,
seperti teman-temannya.
Dia dan istrinya hanya terpaku di dekat pintu.
Mata Lasmi berkaca-kaca. Dadanya sendiri sesak. Amin, anak itu, serasa baru
kemarin dia boncengkan di sepeda menonton pasar malam. Dan anak itu begitu
penurut ketika dia hanya membelikannya sebungkus arum manis. Amin, nama yang
dia pilih sendiri, kata yang diucapkan orang-orang di setiap penutup do’a.
Amin, anak yang mereka harapkan akan menjadi jawaban dari do’a-do’a. Maka ia
pun masih ingat betapa hatinya selalu buncah oleh rasa senang ketika Amin kecil
berlari-lari ke surau dengan memakai sarung dan membawa Juz Amma.
“Belum lanjut jalan, No?”
Sebuah suara menyadarkannya dari lamunan,
menggeser bayangan Amin kecil yang memakai sarung. Seorang lelaki tua duduk di
sampingnya. Sejak tadi Pak No bahkan tidak tahu masih ada orang di dalam surau,
Mbah Man, lelaki tua yang hidup seorang diri di rumah kecil dekat pohon asem.
Istrinya meninggal tahun lalu. Menurut yang dia dengar dari orang-orang, Mbah
Man tidak mau diajak anak-anaknya tinggal di luar kampung. Hidup mati di rumah
sendiri, katanya.
“Hujannya deras, Mbah. Malah saya juga lupa
membawa payung,” jawab Pak No.
Mbah Man terkekeh sambil menyulut sebatang rokok.
“Masih banyak daganganmu,” dia menunjuk ke gerobak
dengan gerakan kepalanya.
Pak No tertawa getir.
“Iya, Mbah. Barangkali orang-orang bosan makan
bakso.”
Mbah Man menghisap rokoknya lalu terbatuk-batuk
kecil. Tubuhnya sudah tinggal tulang terbungkus kulit. Tapi dia masih kuat
mencangkul di ladang, menanam singkong sendiri.
“Dingin-dingin begini justru enaknya makan bakso,”
katanya.
Pak No membenarkan dalam hati. Persis seperti
pikirannya tadi.
“Mbah mau bakso, Mbah?”
Mbah Man tertawa.
“Tidak lah... Itu kan dagangan kau. Aku tidak bawa
uang.”
“Saya temani makan, Mbah. Sungguh.”
Tanpa menunggu persetujuan Mbah Man lagi, Pak No
bangkit dan berjalan ke gerobak. Dia kembali membawa baki dengan dua mangkok
bakso, sebotol saus dan semangkuk sambal. Benar, nikmat sekali makan bakso saat
hujan. Pak No malah hampir lupa rasa baksonya sendiri. Amin bahkan tidak mau
lagi makan bakso buatannya sejak anak itu mulai berani membantah omongan bapak
dan ibunya.
Kedua lelaki itu mulai makan, menyeruput kuah
panas dari sendok. Mbah Man sesekali meniup-niup sendoknya. Hujan malam itu
makin lebat. Pak No harus bicara setengah berteriak agar Mbah Man bisa
mendengarnya. Mereka sedang membicarakan jalan kampung yang sudah butuh
perbaikan karena rusak di sana sini.
Isi mangkuk Pak No tinggal beberapa suap ketika
dia melihat sesosok bayangan berjalan di tengah hujan menuju surau. Makin
dekat, bayangan itu makin jelas. Perempuan berpayung merah, menenteng sebuah
payung hitam di tangan kirinya. Bagian bawah roknya basah. Rambutnya yang kusut
digelung tinggi-tinggi. Wajahnya yang letih terlihat tetap cantik meski
kerut-kerut di dahinya tidak bisa berdusta soal usia. Matanya makin teduh
ketika dia tersenyum.
“Bapak lupa membawa payung,” katanya.
“Duduklah dulu, Las. Suamimu baru saja
mentraktirku makan bakso,” kata Mbah Man. Lasmi tertawa kecil.
Akhirnya gerimis turun lagi.
Jalanan masih lengang, hanya Pak No dan istrinya
berjalan dengan diam sambil mendorong gerobak. Ada lubang di sana sini. Pak No
harus hati-hati mengarahkan gerobaknya. Istrinya menutup payung ketika ia
merasa gerimis tidak lagi serapat tadi.
“Enak ya, Pak, dingin-dingin begini makan bakso.
Nanti buatkan aku satu, ya. Kuahnya yang banyak.”
Pak No tersenyum sambil mengangguk. Mereka terus
berjalan ke rumah, mendorong gerobak bakso tua, mendorong kehidupan mereka.
* Setelah cukup lama menulis cerpen yang temanya itu-itu saja (=romantisme picisan), akhirnya aku bisa juga menulis cerpen dengan tema yang agak lain, walaupun masih ada kisah cintanya juga (cinta Pak No dan istrinya yang kupikir manis dan sederhana). Cerpen ini kutulis dalam waktu kurang lebih dua jam di kelas Pengembangan Kurikulum. Maaf ya, Pak, tadi saya benar-benar sedang ingin menulis :D
Kampus, 12 September 2012: 12.55’
Comments
Post a Comment