Sepasang Mata
“makin putih engkau kini, pisau yang pernah berjaya,
mencipta liang luka di tubuhku”
~ Iswadi Pratama
Dia masih berdiam diri di sudut.
Seperti tidak punya satu mulut lagi. Atau dua tangan. Juga dua
kaki. Dan yang terpenting, satu otak untuk berpikir. Entahlah, barangkali
otaknya sudah dipetikemaskan dan dikirim ke sebuah tempat antah berantah. Atau otaknya
tetap di sana, tapi sudah beku. Seperti dimasukkan ke lemari es.
Sudah sejak kemarin aku ingin menamparnya. Atau menjambak
rambutnya. Atau memarahinya habis-habisan. Aku benar-benar muak jika dia
bertingkah seperti itu. Seperti anak kecil, atau seperti orang dewasa tapi
bodoh. Tidak punya otak. Sungguh tidak punya otak.
“Apa ini?”
Aku menatap nanar lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Coretan-coretan
seperti biasa. Dia balik menatapku dengan tatapan kosong. Tatapan yang kubenci.
Seperti aku membenci coretan-coretan itu, benda-benda yang telah membuatnya
lemah.
Tapi seperti setiap kali aku mencoba merebut kertas-kertas
itu darinya untuk kubakar atau kesobek-sobek menjadi serpihan-serpihan kecil,
dia selalu menghalangiku dengan wajah memelas. Dan aku selalu kalah. Tidak bisa
berbuat apapun kecuali menahan air yang menggenang di mataku yang panas. Dia boleh
menangis, tapi aku tidak. Karena dia gila dan aku masih waras. Aku tidak akan
membiarkan dia menjadi benar-benar gila.
Sejenak, aku menjauh. Membiarkannya menyendiri dengan
kegilaannya yang semakin menjadi-jadi. Sungguh, aku benar-benar kasihan
padanya. Dia sangat menyedihkan sampai aku akan malu kalau orang lain melihatnya
dalam keadaan seperti itu. Kadang-kadang dia menatap ke depan, tidak jelas apa
yang dia perhatikan, kemudian kepalanya menggeleng lemah dan pelan. Sebentar kemudian
dia terlihat marah. Matanya benci. Tapi ketika itupun dia masih terlihat
menyedihkan, karena aku tahu dadanya sakit sampai-sampai tangannya ia letakkan di
sana.
Aku menyerah untuk menyadarkannya.
Sekarang dia bukan dia yang kukenal biasanya. Dia bukan dia
yang senang tersenyum. Bukan dia yang senang bicara. Bukan dia yang sebenarnya.
Dia yang kemarin sudah bukan miliknya lagi.
Aku menarik napas panjang, melihat keluar pada daun-daun
kersen yang baru saja dipangkas. Halaman jadi lebih terang, membuatku bisa
melihat langit yang lebih luas dibanding kemarin. Apakah kau sedang menatap
langit? Di manakah dia kau letakkan? Aku bertanya-tanya.
Sejak awal aku selalu kalah, dan aku tahu aku tidak akan
pernah menang.
Aku kalah denganmu. Aku juga kalah dengannya. Sudah kukatakan
padanya, jatuh cinta padamu tidak akan mudah. Dia tersenyum ketika itu.
“Aku tahu,” jawabnya, ”Mencintainya tidak akan mudah. Tapi apakah
mencintai manusia pernah menjadi sesuatu yang tidak sulit?”
Dia selalu bisa menjawabku. Tapi kali ini aku tidak akan
menyerah dengan mudah.
“Hentikan bualanmu itu. Aku benci kalau kau jadi cengeng dan
tolol. Tidak seorang pun berhak mengatur kapan kau harus sedih atau bahagia. Kau
harus ingat itu. Tidakkah kau jera?”
Dia memalingkan wajah dariku sambil tersenyum samar.
“Tunggu sampai kau melihat matanya. Kau akan mengerti kenapa
aku jatuh cinta.”
Hah. Apalagi itu? Dia jatuh cinta karena sepasang mata? Bukankah
semua manusia memiliki mata yang sama? Jumlahnya dua. Berfungsi untuk melihat. Ada
retina, iris, kornea. Sebuah bola mata di dalamnya. Yang membedakan hanya
bentuk dan warnanya. Lalu apalagi yang dia racaukan sekarang? Aku tidak suka
pikiran konyolnya yang absurd dan tidak logis itu. Sepasang mata membuatnya
jatuh cinta? Hah.
Sekarang hatiku mencelos mengingat bagaimana ketika itu aku
memakinya.
Sebab ketika kau menatapnya, menatapku, pada detik itulah
aku tahu perasaannya dan perasaanku menjadi sama. Benar-benar sama tanpa
penyangkalan lagi. Dan detik selanjutnya, meski aku tahu perasaanku sama, aku
tidak berani lagi menatapmu.
Hanya saja tidak sepertinya, aku masih tetap waras, karena memang
begitulah seharusnya aku. Kalau sekarang dia semakin tidak logis, itu semua
karena dia bodoh. Benar-benar bodoh. Dan aku tidak mau mengikutinya. Aku harus
tetap ingat untuk menjadi diriku sendiri yang sekarang. Tapi melihatnya berdiam
di sudut, bahkan begitu sulit tersenyum, aku merasa akulah yang bodoh,
sebenarnya. Kudekati dia. Mataku basah.
“Yah, kau tidak bodoh. Karena kau memang diciptakan untuk
seperti ini. Akulah yang bodoh. Harusnya aku yang berpikir logis, bukannya ikut
absurd seperti ini.”
Dia tersenyum getir.
“Lihatlah,” katanya sambil menunjuk ke depan. Pantulan wajah
di kaca jendela itu menatapku. Menatapnya. Mata yang basah itu.
“Tidak ada yang bodoh. Kita hanya lupa bahwa orang yang
membuat kita jatuh cinta juga tetap memiliki kemampuan itu, kemampuan untuk
menyakiti.”
Pertikaian itu usai sudah.
Aku jatuh cinta padamu dengan kewarasan dan kegilaanku.
Tapi di sisi manakah aku kau letakkan?
Semarang, 17 September 2012: 12.52’
Comments
Post a Comment