Segelas Kopi Tanpa Gula
Malam ini, aku mendapatkan sebungkus kopi Toraja dari
seorang teman baik hati setelah beberapa hari aku mengemis-ngemis padanya J.
Sebungkus yang kumaksud di sini adalah sebungkus plastik bening berisi beberapa
sendok kopi. Itu sudah lebih dari cukup. Sebagai seorang yang mengaku menyukai
kopi tapi tidak pernah minum kopi selain kopi hitam dan kopi instan, aku sangat
excited ketika melihat bungkus kopi
Toraja itu. Maka jadilah aku menyebut-nyebut soal meminta sesendok kopi setiap
kali bertemu dengannya. Sungguh memang tidak tahu malu.
Dan akhirnya... dia memberikannya juga.
Aku bertanya padanya berapa sendok gula yang harus
kumasukkan untuk segelas kopi itu.
“Aku tidak pakai gula,” jawabnya.
Sebelum aku sempat bertanya lagi, dia berkata,”Buat apa
diberi gula? Mencampurkan pahit dengan manis, dua hal yang benar-benar kontras.”
Aku jadi berpikir, seperti apa rasanya segelas kopi tanpa
gula?
Pahit, tentu saja. Seperti rasa aslinya. Maka aku memasukkan
satu setengah sendok gula untuk menjadikannya manis, meski rasa pahitnya masih
terasa.
Mungkin seperti itulah aku, kita.
Selalu berusaha menutupi kepahitan dengan sesuatu yang
terlihat lebih manis, lebih nyaman untuk dipandang, atau dirasakan. Tapi bukankah
kopi menjadi nikmat karena pahitnya? Jika terlalu manis pun aku malah tidak
akan menyukainya.
Segelas kopi tanpa gula.
Jika hanya itu yang bisa kutemukan untuk diminum, tidak akan
ada salahnya. Toh, dia memang pahit dan akan tetap menyisakan rasa pahit
seberapa banyak pun aku menambahkan gula. Tidak ada yang perlu ditutupi atau
disembunyikan. Pahit yang seperti cemburu atau iri itu. Bagaimanapun juga harus
ditelan.
Beringin 17, 20 September 2012: 19.28
terimakasih untuk arif dan desty yang baik hati :)
terimakasih untuk arif dan desty yang baik hati :)
Comments
Post a Comment