Perjalanan


Bis yang dia tumpangi bergerak perlahan.
Warung-warung di tepi jalan bergerak.
Orang-orang bergerak.
Hatinya bergerak.
Pandangnya tertambat keluar jendela, pada objek apa saja yang bisa dia tangkap. Hanya sekilas, karena semua bergerak dan tidak bisa diam. Tapi dia pun tidak hendak mengamatinya semuanya lama-lama. Sebab dia sendiri tidak tahu apa yang ingin dia lihat.
Akhirnya, dia pulang juga.
Dia terbiasa tidak pulang jika tidak ada hal yang menurutnya menarik untuk dikerjakan. Kadangkala, pulang baginya hanya formalitas belaka, untuk menunjukkan bahwa dia mempunyai sebuah tempat yang disebut rumah. Ya, rumah. Meski dia tidak merasakan lagi rumah yang sebenarnya. Meski tidak masalah baginya jika dia tidak pulang sekalipun. Sebab, pulang menjadi sebuah kata yang kini terasa absurd dan hambar baginya.
Tapi tidak bagi Rin.
Dia menggumam pelan sambil menghela napas ketika mengingat nama itu. Matanya beralih pada langit yang terlihat cukup bersih. Langit musim kemarau. Terang. Tidak menjanjikan hujan.
Rin suka pada langit. Tidak, lebih dari itu. Sebenarnya Rin selalu histeris pada hal-hal yang tidak ia mengerti. Hal-hal kecil yang seringkali dia abaikan. Tidak terlalu menarik. Tapi sebuah pemakluman selalu menjadi jalan keluar bagi segala keabnormalan yang dia kenali sedikit demi sedikit itu. Meski sebuah pemakluman tidak selalu merupakan penyelesaian.
Bis melaju makin kencang.
Dia tertidur dengan pikiran-pikirannya sendiri.
Mimpinya jadi abstrak. Dia melihat banyak orang. Lalu lalang. Menjadikan mimpinya tidak punya alur yang jelas, seperti sebuah novel ruwet yang tidak selesai-selesai. Macet di tengah jalan. Kehilangan plot. Tokoh-tokohnya berjalan sendiri di luar kendalinya. Tapi tidak ada Rin. Dia tidak pernah memimpikan Rin.
Tidak seperti Rin yang memimpikannya.
“Aku takut.”
“Kenapa?”
“Karena aku memimpikanmu.”
“Lalu?”
“Aku memimpikan orang kalau aku terlalu memikirkannya di alam bawah sadarku.”
Dia jadi merasa bersalah karena tidak pernah memimpikan Rin.
Tapi siapa yang bisa memilih mimpi? Barangkali memang dia tidak memikirkan Rin seperti Rin memikirkannya.
Mendadak bis mengerem. Dia terdorong ke depan, tapi tidak sampai membenturkan kepala ke kursi di depannya. Tiba-tiba dia tidak lagi mengantuk. Matanya meneliti keluar. Pemandangan sudah berganti menjadi pepohonan. Rin pernah menyebutkan sesuatu tentang pohon-pohon. Dia lupa apa.
Sedang apa Rin sekarang?
Mungkin dia juga sedang duduk dekat jendela. Mungkin dia sedang tertidur dan memimpikannya lagi. Mungkin dia sedang bersungut-sungut sendiri tanpa alasan seperti biasanya. Mungkin dia sedang menunggunya.
Tanpa sadar dia mengeluh kecil.
Benarkah hati bisa berubah begini cepatnya? Kadangkala setelah menunggu begitu lama, kita justru takut ketika saat itu akhirnya datang. Seperti rasa penasaran pada akhir sebuah novel, tapi tidak ingin cepat-cepat tahu karena terlalu takut membayangkan akhirnya.
Dia tidak tahu apakah wajah itu telah membuatnya jatuh cinta.
Kadang-kadang dia ingat wajah itu. Sebuah kesederhanaan. Tidak berlebihan. Tanpa alasan, dia tidak berani menatap wajah itu lama-lama. Meski Rin menatapnya diam-diam ketika dia memalingkan muka.
“Pulanglah,” Rin berkata. Pada sebuah malam yang dia lupa kapan.
Dia tidak percaya pada dirinya sendiri. Kenapa sekarang? Ketika dia benar-benar sedang pulang? Rasa-rasanya dia memang tidak ingin sampai pada akhir. Seperti tiba-tiba mogok menyelesaikan novel. Tidak berminat lagi. Kehilangan alasan untuk melanjutkan.
Hanya itu yang dia pikirkan sekarang.
Sebuah pertemuan tidak lagi punya makna. Tidak lagi dia inginkan. Bukan sesuatu yang dia harapkan sekarang. Seperti perjalanan ini. Yang dia lalui tanpa kesadaran. Lalu kenapa dia pulang? Karena pulang berarti banyak bagi Rin?
Sisa perjalanan itu dia habiskan untuk meneliti kemauannya sendiri. Kadang merutuk. Kadang menyesal. Kadang membela. Ada perseteruan hebat yang dia munculkan sendiri dalam otaknya. Dengan segenap pikiran dan logika yang dia punya, dia memenangkan keraguan itu. Akhirnya.
Pun ketika dia menapakkan kaki, turun dari bis.
Keraguan itu menjadi keyakinan, lambat laun mengiringi langkahnya yang pelan, tapi lebar-lebar. Bukankah hidup memang bergerak? Alam bergerak? Benda bergerak? Molekul bergerak? Hatinya bergerak?
Karena pergerakan yang tidak bisa dia jelaskan itu, dia berubah.
Sepanjang perjalanan itu.
Dengan pikiran-pikiran yang melintas seperti pepohonan di tepi jalan.
Dia berubah.
Dia tidak akan menemui Rin.
Sebab, dia ingat wajah Rin. Bukan wajah temaram seperti tempat untuk pulang. Bukan wajah tempat dia merasa menemukan rumah.
Dia tidak akan menemui Rin.
Tidak, meski dia sudah pulang.


Semarang, 11 Agustus 2012: 06.53’
Begitu mudahnya hati manusia berubah, bahkan meski karena hal kecil sekalipun

Comments

Popular Posts