Aku Akan Jatuh Cinta Padamu


Hari ini sudah kuputuskan. Aku akan mencintaimu. Ya. Aku memutuskan untuk jatuh cinta padamu.
Tiba-tiba saja aku merasa bahwa cinta juga bisa memberiku pilihan. Dia datang dengan sendirinya seperti seorang tamu yang telah lama mengetuk-ngetuk pintu. Tinggal terserah padaku, akan mengizinkannya masuk atau membiarkannya menunggu sampai bosan. Sekarang aku telah menemukan kunci untuk membuka pintu itu, menyapanya sambil tersenyum ramah dan mengajaknya masuk untuk merasakan kehangatan bersama-sama.
Entah apa yang membuat mataku berubah saat ini. Rumput-rumput kecil yang tumbuh tidak beraturan di samping rumah tiba-tiba terlihat berseni dan artistik. Bahkan aku tersenyum manis pada kucing adikku-seekor kucing berbulu hitam putih yang suka berisik- yang setiap hari kutendangi seperti bola. Mendadak kucing kecil itu terlihat lucu dan menggemaskan, mengeong manja sambil berguling-guling. Dia berlari lincah kesana kemari, terlihat menjengkelkan tapi aku tahu sebenarnya dia hanya mencari perhatian. Persis seperti tingkahmu.
Tidak pernah ada perkenalan di antara kita. Begitu saja aku tahu namamu dan kau tahu namaku. Awalnya aku tidak pernah memperhatikanmu, bahkan sekedar menyapa pun tidak pernah. Hanya jika kita terlanjur berpapasan dan aku menatapmu saat kau menatapku, baru aku akan menarik sedikit sudut bibirku untuk memberimu sebuah senyum kecil. Lalu kau akan membalasnya dengan senyuman lebar, menurutku terlalu berlebihan, malah. Saat itu aku tidak mengerti mengapa wajahmu lalu terlihat malu dan memerah.
Selama ini kehadiranmu bagiku tidak pernah lebih berarti dibanding kehadiran orang-orang lain. Hanya saja aku mulai merasa aneh karena ada sepasang mata yang selalu mengawasiku di kelas. Aku tahu itu kamu, tapi saat aku balik memandang, kau langsung sibuk mengerjakan sesuatu yang lain. Awalnya hal itu kuanggap biasa saja, tapi ibarat secuil daging yang tersangkut di gigi, walaupun kecil, lama-lama pasti terasa mengganggu juga. Apalagi kau sering mengajakku bicara untuk sesuatu yang tidak penting, dan bahkan rasanya ke mana ku pergi kau pun ada di sana.
Sekarang aku tersenyum kecil mengingat itu semua. Betapa lucunya kalau dipikir. Seorang gadis mengikutiku dan selalu memandangiku diam-diam, tapi aku tidak mengerti apa maksudnya. Sampai seorang kawan akhirnya mengatakan bahwa kau menyukaiku. Wajar juga. Tapi aku belum pernah begitu tertarik pada gadis manapun selama ini, termasuk padamu. Kalaupun pernah, memang hanya sebatas tertarik saja. Aku hanya akan memandanginya diam-diam dan melipat rapi rasa kagumku di dalam hati. Tidak pernah kutunjukkan dalam bentuk apapun, karena aku bukan orang yang mudah mengekspresikan perasaan.
Entah gara-gara siapa atau apa, kabar burung tentang perasaanmu padaku menyebar di antara teman-teman kita. Aku bertanya-tanya apakah kau sendiri yang mengaku pada orang-orang. karena kau hanya tersenyum-senyum kecil dan bertingkah seperti biasanya: memandangiku diam-diam dan mencari-cari alasan agar bisa bicara denganku. Sementara aku tetap memasang tampang acuh dan mulai memiliki keinginan untuk menghindarimu. Jika kita satu kelas, aku akan duduk di belakang agar kau tidak bisa memandangiku lagi. Bila aku akan melewati suatu tempat di mana aku berdiri di sana, asalkan ada jalan lain, aku akan memilih jalan itu.
Hari ini aku punya ide bagus. Sambil bersiul pelan aku menuju ke kamar mandi. Kurasakan benar-benar setiap tetes air yang jatuh di kulitku. Aku memejamkan mata. Sepertinya cinta telah merasuki setiap pori-pori di tubuhku, mengisi rongga dadaku dengan semacam perasaan senang yang entah apa sebabnya. Mungkin karena aku telah memutuskan untuk jatuh cinta kepadamu. Cinta yang selama ini dengan sabar menantiku membuka pintu akhirnya bisa masuk dan menyebarkan sensasinya di setiap jengkal tubuhku.
Keputusan ini mungkin tidak akan pernah kuambil jika kita tidak bertemu di lorong kampus yang sepi sore itu.
Tidak seperti biasanya, aku tidak menarik bibirku untuk memberimu seulas senyum. Kau pun tidak seperti biasanya. Matamu tampak terkejut, seolah tidak berharap bertemu denganku di sana. Kita berdiri berhadapan selama-mungkin-lima detik. Selama itulah aku benar-benar untuk pertama kalinya memperhatikan wajahmu. Menurut seleraku kau tidak terlalu cantik. Tubuhmu ramping dan cukup tinggi, hampir sama denganku. Wajahmu terlihat tirus dengan rambut yang kau ikat tinggi di belakang. Hidungmu lumayan mancung. Sedangkan matamu seperti sebuah buku yang dengan mudah bisa dibaca. Saat itu kau pasti sedang gelisah.
Kakiku baru akan kuangkat saat kau menahannya dengan menyebut namaku.
“Enggar,,,”
Baru kusadari suaramu lumayan lembut juga. Aku tidak menjawab, hanya mengangkat kedua alisku tanda bertanya. Kau pun gusar dan berusaha mencari keberanian untuk menatap mataku.
“Aku minta maaf,” katamu lirih. Lagi-lagi aku memasang tampang bertanya.
“Selama ini mungkin aku sudah membuatmu merasa tidak nyaman. Maafkan aku.”
Aku belum beranjak karena kau kelihatannya masih akan bicara.
“Tentang apa yang dikatakan teman-teman...,” saat itu kau manarik napas dalam-dalam, seakan mengumpulkan keberanian dari udara yang kau hirup. Kelihatannya berhasil karena sorot matamu berubah. Kau menatapku lurus-lurus.
“Itu benar. Iya. Aku menyukaimu.”
Kau terlihat sangat lega, sementara aku tidak bergerak, kaku seperti pohon di sekitar lorong itu. Belum pernah ada gadis yang mengatakan hal semacam itu padaku, dan aku juga belum pernah mengatakannya pada gadis manapun. Rasanya aneh. Sedikit terkejut meski aku sudah tahu sejak lama.
Awalnya wajahmu terlihat berharap ada sesuatu yang keluar dari mulutku. Tapi harapan itu pelan-pelan sirna karena bibirku tetap terkatup rapat. Akhirnya kau tersenyum. Kali ini tidak berlebihan. Kau tampak manis.
“Sekali lagi maaf.”
Kau berjalan melewatiku, meninggalkanku yang masih limbung. Ini sama sekali baru bagiku dan aku tidak tahu cara menghadapinya. Entah dorongan dari mana, tiba-tiba aku memutar badan.
“Kenapa?” tanyaku cukup keras karena kau sudah cukup jauh. Kau pun berbalik menghadapku.
“Karena cinta tidak membiarkan kita memilih.”
Kau kembali berjalan dengan langkah ringan, seperti sudah membuang suatu beban. Kepalamu tegak. Saat itulah aku berpikir kau pasti gadis yang selalu ingin jujur pada orang lain.
Karena kejadian sore itu aku mulai memperhatikanmu. Kau orang yang hangat. Nudah menempatkan diri di antara orang lain. Setelah hal itu menjadi semakin sering kulakukan, aku mulai menyukai caramu tertawa, caramu bicara, dan ekspresi wajahmu saat membaca buku. Ya, aku paling suka memperhatikanmu membaca buku. Seakan kau pergi ke dunia lain yang membuatmu tiba-tiba tertawa, mengulum senyum atau bahkan menangis.
Akhirnya sudah kuputuskan: aku akan mencintaimu. Bukan, yang benar, aku sudah mencintaimu. Aku bahkan merindukan tatapan sembunyi-sembunyimu yang tidak pernah kau berikan sejak sore itu. Sekarang rindu itu malah mengantarku berdiri di depan pagar rumahmu di suatu sore yang akan membuat orang-orang ingin keluar rumah, untuk sekedar berjalan-jalan  atau membeli roti bakar.
Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Maka saat kau keluar dari dalam rumahmu, aku telah bersiap mengatakannya. Wajahmu tidak terkejut, tapi lebih kepada ekspresi heran karena melihat suatu keganjilan,seperti misalnya melihat sepasang sepatu di atas meja makan. Aku mencoba tersenyum.
“Enggar?”
“Niken...” aku balas memanggilmu.
Kata-kata telah berdesakan di tenggorokanku. Mungkin lebih baik aku minta maaf lebih dulu, karena sore itu aku tidak berkata apa-apa selain kata tanya tolol: “kenapa”. Tapi kata-kata itu urung keluar karena seorang lelaki lebih dulu keluar dari dalam rumah dan berdiri di sampingmu sambil bertanya, “Siapa, Ken?”
“Oh, iya...” Lalu kau mengajaknya berjalan ke arahku.
“Ini Enggar, teman kuliahku. Enggar, ini Bumi,” katamu, “Pacarku.”
Kau tersenyum. Tidak mengejekku. Tapi senyum bahagia, aku tahu itu. Bumi menjabar erat tanganku.
“Oya...kok kamu bisa di sini, Nggar?” tanyamu.
“Kebetulan lewat saja. Aku pamit dulu, ya. Senang berkenalan denganmu. Lain kali mungkin kita bisa ngobrol.”
Kau dan dia tersenyum. Aku berjalan pergi sambil tersenyum juga. Kupandang langit yang mulai jingga. Benar juga, aku jadi ingin makan roti bakar. Aku sama sekali tidak menyesal telah memutuskan untuk mencintaimu. Aku pun tidak menyesal kau sudah memilih orang lain. Yang aku sesali hanya karena aku belum sempat mengatakan padamu tentang keputusanku. Karena itulah aku menulis ini. Kuharap suatu hari kau sempat membacanya.
Jika tidak, aku minta tolong pada kalian agar memberitahukan padanya aku telah menulis ini. Namanya Niken. Mungkin menurut kalian dia tidak begitu cantik. Tapi bila kalian perhatikan baik-baik, kalian akan tahu bahwa dia gadis yang manis. Kesan pertama yang akan kau dapat saat melihatnya adalah bahwa dia gadis baik-baik yang juga pemalu. Sebenarnya kesan pertama bisa saja menipumu, karena dia tidak sepemalu yang kau kira sebelumnya. Jadi tolong, jika kau bertemu dengannya di manapun atau kapan pun, sampaikan padanya, bahwa aku, Enggar, telah jatuh cinta.

Kebumen, 4 Maret 2010: 18.50’
cerita yang kutulis zaman kelas xii sma,
tanpa editan sama sekali
barangkali masih kekanak-kanakan

Comments

Popular Posts