Setangkai Kembang Pete dari Ibu


Kuberikan padamu setangkai kembang pete
Tanda cinta abadi namun kere

Aku sedang duduk manis di depan televisi ketika ibu pulang belanja dari warung dan meletakkan setangkai kembang pete di depanku. Wah.....kembang pete. Sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa dari bunga itu. Aku bahkan tidak tahu apakah warna kuningnya bisa disebut sebagai kelopak. Tapi kata “bunga” selalu identik dengan kecantikan, keindahan. Jadi tidak adil rasanya jika kembang pete tidak dimasukkan dalam definisi bunga yang cantik dan indah itu. Lagipula setiap bunga memiliki keindahannya sendiri, termasuk kembang pete ini.
Jadi kenapa bagiku bunga ini terasa istimewa?
Tentu saja karena lagu Bang Iwan yang kupetik di awal tulisan ini: Kembang Pete. “Tanda cinta abadi namun kere.” Sebuah pernyataan cinta yang tulus, jujur dan tidak bertele-tele. Apalagi kalau kita dengarkan lagunya secara keseluruhan. Sebuah lagu cinta yang sederhana, tapi seperti lagu-lagu Bang Iwan yang lain, juga berisi kritik sosial. “Buang jauh-jauh impian mulukmu, sebab kita tak boleh bikin uang palsu.”
Bagiku lagu ini sangat manis. Sejak awal, si aku lirik telah mengakui bahwa cinta mereka abadi, tapi kere. Dia tidak menjanjikan kehidupan manis yang penuh mimpi, tapi justru memperingatkan kekasihnya untuk tidak bermimpi muluk-muluk, karena mereka hidup dalam kesederhanaan. Lalu kenapa kembang pete dipilih sebagai metafora cinta yang kere itu? Barangkali karena biasanya orang akan menggunakan bunga cantik yang dibeli di toko bunga sebagai lambang cinta: scarlett carson, calla lily, dan bunga-bunga lain yang harganya mahal. Tapi kembang pete? Toko bunga mana yang menjual kembang pete? Bahkan pete sendiri masih diindentikkan dengan makanan kampung. Jadi bunganya pun bisa ditemukan dan barangkali diambil begitu saja. Si aku-lirik sendiri menyebut cinta mereka sebagai “cinta jalanan yang tegar mabuk di persimpangan dan cinta jalanan yang sombong menghadang keadaan.” Karena itulah dia memilih kembang pete untuk diberikan kepada kekasihnya sebagai lambang cinta. Tapi toh, seperti umumnya orang yang sedang jatuh cinta, si aku-lirik juga mengharapkan kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera, dengan cara mereka sendiri. Itu hanya pemikiranku awamku. Alasan sebenarnya hanya Bang Iwan sendiri yang tahu.
Sebagai seorang melankolis, aku sangat terkesan dengan lagu itu. Maka pada suatu ketika yang entah kapan, aku pernah berkata pada ibu bahwa aku ingin seseorang memberiku setangkai kembang pete. Bagiku itu sangat manis. Tapi pada kenyataannya, jangankan kembang pete, kembang rumput pun tidak ada yang memberi (hahahaha). Ibuku, sebagai ibu dari seorang yang melankolis, ternyata memiliki ingatan yang cukup baik pada semua perkataan melankolisku yang hiperbolis. Buktinya, dia memberikan kembang itu untukku. Entah di mana dia menemukan atau memungutnya. Mungkin ada tetangga kami yang memiliki pohon pete. Aku lupa.
Ah...Ibuku yang baik. Bahkan setangkai kembang pete pun mengingatkanmu pada anakmu yang suka aneh-aneh ini. Kadang aku terlalu sibuk mengharapkan hal lain yang tidak jelas juntrungannya, hal lain yang kusebut “cinta” dalam coretan-coretanku, sampai-sampai aku lupa bahwa ada cinta yang begitu nyata di depanku, cinta yang tidak perlu kuragukan, cinta yang diberikan tanpa perlu kuminta, cinta yang tulus dan selamanya: cintamu, tentu saja. Dan kembang pete itu adalah salah satu bukti kecilnya. Lambang cinta kita yang hidup dalam kesederhanaan, tapi begitu indah dan istimewa.
Sampai tadi pagi, kembang itu masih utuh di depan televisi. Aku memandanginya sambil mengingat kata-kata yang kau ucapkan sambil tertawa kemarin:
“Ini, Ibu kasih kembang pete. Kalau tidak ada yang memberimu bunga, biarlah Ibu saja yang memberikan.”
Ah...Ibu.
Itu saja cukup.
Aku tidak peduli kalaupun tidak akan ada yang memberiku bunga.
Sebab kau mencintaiku.

Kebumen, 18 Agustus 2012: 14.27’
Aku cinta kamu, Bu
you're the best

Comments

Popular Posts