Sebuah Permainan


Sejak kecil kita biasa duduk bersama melihat senja di taman komplek perumahan kita. Kubilang langit senja seperti arum manis. Kau bilang langit itu seperti darah. Mana mungkin warna seindah itu mirip dengan darah? Tapi aku tidak takut dengan darah, karena aku ingin menjadi dokter. Kau lalu bilang kau mau jadi tentara, tentara angkatan udara agar bisa melihat kota kita dari atas langit saat terjun payung dari pesawat tempur.
Waktu berlalu secepat kereta yang melintas di jalan pulang yang kulewati dari sekolah menengah dulu. Kau tahu? Aku telah memakai seragam putih, menjadi seorang dokter di sebuah rumah bersalin. Bagiku melihat kehadiran malaikat-malaikat kecil di dunia ini adalah sebuah keajaiban. Senyum seorang perempuan ketika menggendong bayinya untuk pertama kali adalah senyum bidadari, senyum paling indah yang bisa kurasakan.
Apa kabar kau sekarang? Sejak kau pindah ke luar kota pada usia 12 tahun, aku tidak pernah melihat atau mendengar kabar tentangmu lagi. Apa kau masih suka naik gunung? Apa kau sudah menjadi seorang tentara? Bagaimana kota kita kelihatannya dari atas langit?
            Sore ini senja tiba-tiba semerah darah, aku mengakuinya sambil menghentikan langkah di taman komplek perumahan kita. Di sana dulu kita biasa duduk berdua, sampai usia kita 12 tahun, kelas 1 SMP. Kau masih ingat? Suatu hari kita pulang kemalaman dari sekolah karena kehujanan. Tiba-tiba kau menghentikan sepedamu di taman ini sambil memandang langit.
“Kenapa?” tanyaku.
      “Lihat, besok akan ada bintang kejora.”
Aku tertawa. Lagakmu seperti ahli astronomi saja.
“Sungguh,” kau menatapku serius,”Bintang kejora itu seperti matamu.”
Aku mengayuh sepedaku sambil menyembunyikan muka yang memerah karena malu.
Esoknya kau mengembalikan buku catatanku untuk menyalin pekerjaan rumah matematika yang kau bilang membuat sakit kepala. Kau mengulurkan buku itu sambil menunduk lalu pergi begitu saja. Baru tiga hari kemudian, aku menemukan selembar kertas di dalam buku itu.
“Aku akan membuatkan rumah kardus di taman kita kalau kau datang menemuiku sore ini di sana”
Ketika itu kau sudah pindah keluar kota.
Aku menarik napas dalam-dalam sambil memperhatikan langit. Seperti sebuah tv rusak, otakku hanya memutar satu saluran saja sore ini: kenangan tentang kita.
“Kau masih mau kubuatkan rumah kardus?”
Aku menoleh seperti robot. Kau masih ingat tentang racauanku tentang rumah kardus yang dulu kuinginkan untuk boneka barbieku. Mataku mengabur sampai tidak bisa lagi bicara untuk sekedar memakimu atau bertanya ke mana saja kau selama ini.
“Matamu masih seperti kejora. Aku kehilangannya selama bertahun-tahun ini.”
“Kenapa kau kembali?”
Kau tersenyum, senyum yang kuimpikan selama ini.
“Aku ingin menjadi tua renta bersamamu. Karena itu takdir membawaku ke sini.”
Tanpa sadar air mata menjadi hangat saat ini.
Kau tersenyum lagi sambil meraih tanganku dan berbisik, “Maukah kubelikan kau sepatu kaca? Sebagai hadiah pernikahan kita?”


            Tulisan di atas adalah hasil main-mainku malam ini bersama teman sekos, terinspirasi dari tulisan Aan Mansyur di sini. Temanku menyebutkan 10 frase dan aku harus membuat tulisan menggunakan frase-frase itu (perhatikan frase yang kucetak tebal). Hanya saja, jika Aan Mansyur menyelesaikan permainannya dalam waktu 10 menit, aku meminta waktu 20 menit. Maklum, amatiran. Aku memasang stopwatch dan mulai mengetik. Rasanya cepat sekali. Jadi maklum saja kalau hasilnya agak maksa ~,~. Yang jelas aku senang sekali bisa menyelesaikan permainan ini meskipun waktu yang kuperlukan melebihi target, 21.05 menit.

Comments

Popular Posts