sajak yang seperti biasa teramat biasa untuk disebut sebagai sajak
aku
ingin menuliskan sajak yang seperti biasa teramat biasa untuk disebut sebagai
sajak, sebab semua metafora seperti sudah habis berlarian kukejar sepanjang
malam. pagi dimulai di depan televisi bersama secangkir kopi yang coba
merangkum kehangatan sehelai selimut warna biru tempat mimpimimpi bersemayam
tadi malam hingga berjatuhan hingga berjatuhan satu per satu: di lantai, di
kotak sepatu, di wastafel, di tempat sampah, di halaman, di bukubuku yang tak
pernah tersentuh tangan.
apa
yang bisa dihitung pagi ini? otak tumpulku mulai meracau lagi. barangkali,
barangkali saja, sebab rasa kenyang yang diberikan sebungkus mie instan dan
sedikit nasi semalam mulai luntur sejak pertama dipaksa membuka mata. tapi aku
ingin menghitung dengan mengabaikan aritmatika algoritma atau entah apa itu
yang disebut matematika, maka aku mulai menghitung-atau membilang, entahlah:
deretan keramik di lantai ruangan, sisa uang di dompet, hutanghutang, harihari
mundur menuju kepulangan, channel televisi, tumpukan kalengkaleng biskuit,
suratsurat serta sajak yang kutulis buatmu dan sudah, itu saja karena akan ada
terlalu banyak tanda koma.
seperti
semalam, kemarin, kemarinnya lagi sampai seratus hari, aku masih ingin
menuliskan sajak yang seperti biasa teramat biasa untuk disebut sebagai sajak.
sementara itu otakku mulai menjadi penulis skenario sekaligus sutradara bagi
adeganadegan yang bisa saja terjadi atau bisa saja tidak terjadi sama sekali.
~satu
aku bersama sebuah korek api membakar habis puluhan lembar
kertas yang akan membayang sebagai abu di kornea matamu.
~dua
mendatangimu sebagai orang setengah gila setengah waras, aku
memaki dan menampar pipimu lalu berlalu dengan limbung sebab aku lupa kenapa
aku melakukannya.
~tiga
tetap berdiam diri dan jatuh cinta berkalikali pada
sajaksajak aan mansyur yang selalu bersedia menjadi pacar baruku.
~empat
kau berkata ada yang salah dengan kita lalu lebih memilih
dia-yang berambut panjang, suka main voli dan begitu anggun kalau memakai gaun-
atau dia-seorang cinta lama yang tidak pernah pergi dan menunggu waktu untuk
kembali- atau dia yang tidak aku tahu namanya, atau lebih memilih dengan dirimu
sendiri karena aku terlalu sulit untuk dicintai, barangkali.
~lima
kau dan aku samasama lupa ingatan dan berpapasan di jalan
sebagai dua orang yang tidak pernah saling kenal.
(sudah,
itu saja sebab terlalu banyak angka untuk dihitung, lagipula tanganku mulai
gemetar karena belum sarapan)
di
antara begitu banyak skenario itu aku lebih memilih untuk tidak merasakan
apaapa dan terus menulis sajak yang seperti biasa teramat biasa untuk disebut
sebagai sajak.
semarang,
16 oktober 2012: 08.20’
Comments
Post a Comment