Ketika Kau Jatuh Cinta (Lagi)


Lanjutan cerita kecil "Ketika Kau Jatuh Cinta"

Even if you don't love me tomorrow, I must love you as I do now.
Even if you don't see me tomorrow, I must love you as I do now.
Please, only look at me. Please, don’t let our hands separate...”

Ada banyak kata-kata yang tersembunyi.
Aku senang jika bisa menemukan mereka menggantung di ranting-ranting pohon, melayang jatuh bersama daun kering, mekar bersama bunga-bunga, berjalan di belakang seseorang, tertiup oleh angin, berserakan di mana-mana. Aku senang memungutinya, menjadikan mereka milikku. Atau barangkali milikmu juga.
Di sini kita biasa duduk bersama. Saling bicara tanpa kata-kata. Aku tidak yakin kau tahu bahwa aku menulis begitu banyak ketika kau bahkan hanya berpaling sejenak padaku. Tapi setidaknya aku yakin bahwa kau tahu aku senang memunguti kata-kata itu, untukmu.
Ketika datang, kau memberitahuku banyak hal yang tidak pernah kuketahui sebelumnya. Seperti mengisi penaku dengan tinta yang baru. Apalagi yang bisa lebih menyenangkan? Aku ingin kau tinggal lebih lama, mengisi penaku hingga aku bisa lebih banyak lagi mengikat kata-kata yang telah kupungut itu di atas kertas.
###
“Hujan,”kau berkata sambil menatap keluar jendela.
Tetes-tetes air merayap turun di kaca jendela yang jadi tampak berembun.
“Aku suka hujan,”sahutku.
Kau menatapku,”Tentu saja.”
Dan senyum itu adalah senyum yang begitu sering ingin kulihat.
Kau memalingkan wajah keluar jendela lagi, mengamati pohon-pohon yang basah. Kau selalu bilang bahwa kau menyukai bau hujan. Aku sendiri tidak bisa menggambarkan bau macam apa itu, tapi aku tahu hujan memang punya aromanya sendiri, yang menandakan keberadaannya.
Kau tidak perlu berkata apa-apa lagi.
Hujan kali ini terlalu indah untuk dilewatkan. Barangkali tetes-tetes airnya telah menuntaskan rindumu sekarang. Aku berpaling padamu sekali lagi. Bahkan saat memandangimu, aku masih saja merasa rindu.
###
Aku duduk di tempat biasa kita duduk bersama.
Tapi hanya sendiri kali ini.
Aku mulai bicara pada diriku sendiri. Tidakkah kita punya banyak persamaan? Kita mencintai kata-kata. Kita mencintai bunga-bunga. Karenamu begitu banyak kata-kata yang menghampiriku. Tidakkah karena itu kita bisa saling jatuh cinta?
Ah.....otakku masih terlalu bebal untuk memahami. Aku lupa apa yang kukatakan sebelumnya, bahwa harusnya semua orang jatuh cinta padamu. Akulah yang mencari-cari persamaan itu. Akulah yang mencari-cari persamaan itu karena aku jatuh cinta padamu. Tapi tidak semuanya bisa membuatmu melihatku lebih lama, tidak seperti aku yang selalu ingin melihatmu, bahkan ketika kau mulai berjalan ke arah lain...
“Ah, kau di sini ternyata,” tiba-tiba kau duduk di sampingku sambil tersenyum.
Aku terlalu terkejut untuk bisa menjawab.
Aku melihatnya sekarang. Binar itu di matamu.
Tidak.....
“Hei, aku menemukan lagu baru yang bagus.”
Kau memasangkan earphone di telingaku, dan memasangkan satu sisi ke telingamu sendiri. Kita diam beberapa lama. Kau selalu senang membagikan lagu-lagu yang kau sukai padaku. Entah karena lagu itu memang bagus atau karena kau menyukainya, aku juga akan menyukai semua lagu yang kau sukai. Mendengarkan lagu-lagu itu membuatku merasakan kehadiranmu, membuatku merasa lebih dekat padamu karena kita mendengarkan lagu yang sama.
“Bagaimana?”
Aku tidak menyadari lagu itu telah selesai dan kau sedang menatapku.
“Oh...ya, lagunya bagus...Liriknya seperti puisi.”
Kau tertawa. “Ya...artinya sangat dalam.”
Kau memutar lagi itu lagi, dan memandang ke depan sambil mengetuk-ngetukkan jarimu ke bangku yang kita duduki.
“Kau tahu, hidup penuh dengan ketukan yang harus kita pahami. Kita tidak tahu di ketukan yang mana kita akan menemukan birama kita. Suatu saat, kita perlu seseorang yang akan memberitahu,” kau menoleh dan tersenyum.
Bisakah waktu berjalan lebih lambat?
Bisakah aku membekukan waktu sekarang juga?
Bisakah,,,,kau tinggal lebih lama?
Kau tahu, aku telah menemukan biramaku.
Pada ketukanmu
###
“Kau ingat, hari ini, setahun yang lalu. Hari ketika aku merasa begitu diberkati karena telah mengenalmu. Hari ketika pertama kali kau menyapaku, membuatku merasa bahwa tidak ada yang aneh dengan bicara pada rerumputan atau tersenyum tanpa alasan. Aku tidak peduli kalaupun dunia mengacuhkanku, karena aku merasa memilikimu. Kau seperti tempat pulang yang telah lama kukenal. Tidak... Mungkin aku memang sudah segila ini. Aku tidak ingin apa-apa selain tetap seperti ini.
Melihatmu berpuisi selalu menyenangkanku, hingga kata-kata yang bertebaran di sekeliling, yang terselip di tiap butir debu, yang melayang bersama udara, semakin menghampiriku. Aku selalu hanya bisa membayangkanmu tersenyum, dengan hati sehangat matahari pagi yang meluluhkan embun di pucuk daun-daun. Terimakasih telah banyak berbagi denganku. Maukah kau berbagi lebih banyak lagi?”
Hening.
Aku hanya mendengar bunyi angin.
Tidakkah semua rumput ini telah mendengarnya?
Tidakkah langit mendengarnya dan memantulkannya kembali?
Tidakkah kau juga mendengarnya?
Sebab aku ingin mengatakannya, sekarang juga.
Tapi aku tidak mendengar jawaban apa-apa. Hanya bunyi angin yang menggesekkan daun-daun. Sebab aku berbicara pada angin. Ya, angin itu saja.
“Ah...lagi-lagi kau di sini.”
Aku menoleh pada suara itu. Kenapa? Kenapa kau selalu menemukanku? Apakah ini pertanda bahwa aku memang harus mengatakannya sekarang juga? Pada hari yang biasa ini? Pada hari ketika aku mengingat lagi sapaan pertamamu?
Ah.....senyum itu.
Hatiku tiba-tiba kebas.
Tidak, bukan karena aku melihat lagi senyum bahagiamu yang sejak dulu ingin kulihat. Bukan karena aku melihat lagi binar kunang-kunang itu di matamu. Bukan karena kesadaranku yang sudah kembali lagi. Bukan karena aku kecewa pada kata-kataku yang diterbangkan angin.
Bukan......
Tapi, karena dia yang berdiri di dekatmu sekarang.
Wajahnya seperti hujan, senyumnya seperti bunga mekar, tatapnya seteduh senja, hingga aku pun merasa tak perlu bertanya bagaimana bisa dia membuatmu jatuh cinta. Lagi.
“Ini...” kau berkata sambil mengulum senyum,”Sakura yang katamu berguguran 5 cm per detik*.”
Dia tertawa sambil menyikut lenganmu. Ah iya....aku pernah berkata padamu suatu ketika, bahwa bunga sakura berguguran dengan kecepatan 5 cm per detik. Tapi tidak...tidak akan secepat itu lajuku melupakanmu. Tidak 1 cm pun dalam ribuan detik.
“Sakura...” dia mengulurkan tangan padaku dengan senyumnya yang mekar seperti habis disiram hujan.
Semua kata-kataku terbang berceceran bersama angin, dikembalikan pada ranting-ranting pohon, daun-daun kering, bunga-bunga, berserakan lagi di mana-mana. Aku tidak tahu apakah akan bisa memungutinya lagi.
“Ah... Kau cantik sekali,” kubalas uluran tangannya sambil tersenyum tulus. Untukmu,
###
Kebumen, 4 Agustus 2012: 01.38’
*judul sebuah film anime favoritku

Comments

Popular Posts