Di Punggung Bukit


Kamis, 23 Agustus 2012

Jalan setapak itu terletak di antara Balai Desa dan sebuah rumah.
Jika kita berbelok ke sana, hanya ada pepohonan di samping kanan kiri jalan. Tidak sampai 100 meter, jalan setapak itu berubah menanjak. Kami memilih berjalan kaki dari sana.
Suasana selalu menjadi lain di sini.
Masih sama. Seperti 3 tahun lalu, ketika pertama kali aku datang mengantarkanmu.
Matahari musim kemarau sama seperti kemarin, tidak pernah redup. Ada bunga rumput berwarna oranye di pinggir jalan. Sunyi dan damai. Aku selalu menghayati setiap langkahku ketika berjalan mendaki ke atas sambil memperhatikan warna hijau di sekitar jalan. Ada banyak pohon jati di`sebelah kiri. Daunnya yang lebar, kering dan coklat berserakan menutupi tanah.
Kita tidak akan mendengar apa-apa selain bunyi angin menerobos daun-daun dan desah nafas kita sendiri. Berdiri si sana, kita bisa melihat deretan bukit, atau pegunungan. Entahlah. Yang jelas, bagiku, warna hijau selalu mendamaikan.

Maka di sanalah kau.
Ah,,,,aku memang jahat. Sudah lama sekali aku tidak menemuimu. Dan bahkan sekarang aku lupa membawa bunga. Terakhir kali datang, aku bercerita padamu bahwa aku akan ujian. Sekarang, lihatlah, mereka bilang aku sudah menjadi seorang mahasiswa. Aku akan menjadi guru seperti yang dulu kukatakan kepadamu. Aku berada dalam jalanku menuju mimpi yang dulu pernah kau hidupkan.
Aku selalu tidak bisa berkata banyak jika sudah ada di dekatmu. Tapi kau tentu tahu, ada sebuah tempat dalam otakku yang selalu menyimpanmu. Di sana aku menata potongan-potongan ingatan tentang waktu yang pernah jadi milik kita. Di sana aku menghidupkanmu untukku sendiri. Tidak peduli kapan atau di mana, kau bisa saja tiba-tiba datang dan membuatku merasa kosong. Bahkan lewat jendela kamarku di tempat yang jaraknya ratusan kilometer dari tempatmu berada, aku bisa tiba-tiba melihatmu berdiri menungguku di bawah pohon kersen. Seperti dulu kau selalu menungguku di depan kelas.
Aku melihat bunga-bunga kering di atas batu-batu putih. Kau ingat? Di depan kelasmu ada pohon bougenville yang bunganya berwarna oranye. Aku suka sekali pohon itu. Kita biasa duduk di depannya waktu jam istirahat. Sekarang ada beberapa hal yang berubah, ada beberapa hal yang masih sama. Misalnya, aku masih saja bodoh. Masih suka melamun dan menulis di kelas. Aku bertemu dengan banyak orang. Beberapa orang datang dan pergi. Tapi tidak ada yang sepertimu, tentu saja. Hanya saja,--haruskah kukatakan ini—seseorang memiliki mata yang hampir mirip dengan punyamu. Mata yang mengingatkanku pada bulan sabit. Sama-sama membuatku jatuh cinta dengan cara yang berbeda.
Aku tidak bisa bercerita banyak karena sesuatu mencekat kerongkonganku.
Tadi aku sudah melihat kucingmu. Aku tidak tahu apakah itu kucing yang sama dengan seekor yang dulu kau gendong dan kau ciumi. Rumahmu masih hangat, dan akan selalu hangat dengan bunga soka warna merah jambu di halaman. Sejak pertama kali melihatnya hampir empat tahun yang lalu, aku selalu berharap rumah itu akan jadi rumahku.
Aku sudah tidak bisa bercerita banyak lagi.
Aku akan menemui ayah dan ibumu, juga adikmu yang cantik, lalu pulang. Dan semoga aku masih bisa datang lagi. Sambil membawa bunga.
Dingin. Aku menciummu. Namamu yang tertulis di atas batu.
TITIS ANDHIKA PURISA
23-05-1992
01-02-2009
Kami selalu merindukanmu.

Kebumen, 23 agustus 2012:20.18’

Comments

Popular Posts