Gadis Kecil yang Senang Dipeluk
Senin pagi, 20 Agustus 2012
Aku sedang makan ketika gadis kecil berkerudung
itu berseru sambil menghampiriku. Dia mencium tanganku, kemudian, tidak seperti
biasanya, dia mengalungkan tangannya di leherku dan mencium pipiku. Aku masih
melongo sementara dia melesat ke ruang tamu menemui ibuku. Sesaat kemudian, dia
sudah melesat lagi keluar. Aku menemukan ibuku menangis di ruang tamu. Gadis
kecil itu juga mencium pipinya. Dan ibuku yang memang gampang menangis—aku
bahkan mendapatkan sifat ini darinya—menjadi benar-benar menangis karena ciuman
itu.
Malam harinya, gadis kecil yang selalu ceria dan
banyak omong itu terlihat lelah dan menekuk-nekuk mukanya. Seharian ini dia
ikut rombongan keluarga besar kami ke Jogja, menjenguk adik Ibuku yang tidak
pulang mudik. Bolak-balik Kebumen-Jogja dalam satu hari pasti melelahkan
untuknya. Tapi tidak untuk adiknya, seorang gadis yang lebih kecil dan sama
cerianya. Begitu melihatku, dia minta dipangku. Lalu dia minta digendong, minta
ditemani keluar sambil menarik-narik tanganku. Matanya yang lebar mengerjap
lucu. Dia cantik sekali.
Aku menggendongnya keluar, melihat bulan sabit
yang manis dan bintang-bintang. Aku iseng bertanya berapa bintang yang ada di
langit. Dan dia benar-benar menghitung sampai lima puluh, lalu menyerah, dan
minta kembali ke dalam karena di luar cukup dingin.
Dia lalu berjalan dan berlompatan kesana kemari
sementara kakaknya semakin menekuk muka. Ibuku mengajaknya berbaring sambil
memijiti kepalanya yang mungkin pusing. Gadis kecil itu memeluk ibuku. Dan aku
tidak bisa untuk tidak menangis diam-diam melihatnya.
Namanya Wiji Anggraeni, kelas 5 SD. Usianya 11
tahun.
Adiknya, Novita Yulianti. Usianya lima tahun.
Dan mereka berdua sama-sama senang dipeluk.
Meskipun rumah kami berjauhan, dan aku jarang
bertemu mereka, tapi mereka tidak lupa padaku. Pada ibuku. Pada kakak perempuan
ibuku. Pada adik perempuan ibuku. Dan mereka senang dipeluk oleh kami semua.
eni yang selalu ceria |
Sampai sekarang aku masih ingin menangis melihat
mereka berdua. Ami dan Nafis tidak bisa dipisahkan sejam saja dari ibu mereka.
Tapi Ita dan Eni harus melewatkan masa kanak-kanak mereka tanpa bisa makan lagi
masakan ibu, tanpa bisa disuapi lagi, dimarahi atau dipeluk lagi.
Bagaimanapun juga, mereka adalah anak-anak. Dan
sudah sewajarnya anak-anak selalu merasa bahagia. Aku masih ingat, lebaran
tahun lalu, aku berkata pada Eni bahwa bajunya bagus.
“Siapa yang membelikan?” tanyaku.
“Almarhum,” gadis kecil itu menjawab tanpa merubah
ekspresi mukanya.
Akulah yang ingin menangis ketika itu, bukan dia
yang telah kuingatkan pada Ibunya.
Mereka, gadis-gadis kecil yang sungguh sangat
kuat.
Ketika dia memeluk Ibuku sambil memejamkan mata,
meskipun dia diam dan tidak mengucapkan apa-apa, aku tahu saat itu dia ingin
sekali ibunya sendiri yang memeluknya.
Kebumen, 25 Agustus 2012: 11.39’
Comments
Post a Comment