Mengenang
Semarang, 30 Juli 2012
Barangkali surat ini tidak akan pernah sampai,
karena sebenarnya aku hanya ingin berbicara pada diriku sendiri. Aku ingin
berdiskusi dengan pohon kersen di halaman, bukit-bukit kecil di sebelah barat,
beserta batu-batu yang setia di tepi jalan.
Hari ini seperti hari yang sudah-sudah. Hanya saja
tiba-tiba berharap gerimis turun dengan rinainya yang seperti benang tipis dari
langit. Aku rindu bau tanah basah dan pucuk pohon berembun*, seperti yang
pernah diceritakan suatu ketika.
Hujan.
Memilih menjadi hujan yang menumbuhkan, bukan
angin yang menggugurkan*. Tapi membayangkan tiap tetes yang turun
jarang-jarang, lalu menderas mengaburkan kaca jendela, selalu muncul keinginan
untuk mengenang. Mengenang entah apa. Hanya saja, hujan selalu lekat dengan
kenangan.
Hari ini seperti hari yang sudah-sudah. Hanya saja
tiba-tiba ada yang sedikit ngilu. Entah kenapa atau bagaimana. Pikiran
kekanak-kanakanku memang keterlaluan. Kadang-kadang aku lupa, masa-masa memakai
baju putih abu-abu sudah tertinggal jauh di belakang. Lebih sering lagi aku
lupa, bahwa hidup tidak seperti novel-novel yang pernah kubaca. Jauh lebih
realistis dari semua itu.
Jadi apalagi yang perlu dicemaskan?
Hari ini seharusnya berlalu seperti yang
sudah-sudah.
Tapi aku mulai kesal lagi, menemukan diriku
sendiri yang tidak pernah mau diam, menyuarakan keresahan kekanak-kanakan yang
mulai mengganggu. ”Apa kau tidak bisa sabar sedikit? “, aku berkata pada
cermin. Bahkan mata itu menatapku balik, menyelidik, bertanya-tanya juga apa sebenarnya
yang kuinginkan.
Aku mulai berpikir.
Kalau saja
hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil
tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik,
maka.... tanpa ragu aku akan memilih satu detik bersamamu untuk diabadikan.
Cukup satu.
Satu detik
yang segenap keberadaannya dipersembahkan untukku, dan bukan dengan ribuan hal
lain yang menanti untuk dilirik pada detik-detik berikutnya. Betapa aku rela
membatu untuk itu.
Akan tetapi,
hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari
kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih
diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh
rahasia.#
Mungkin begitulah, maka aku tidak bisa diam, sebab
aku hanya mengikuti arus yang membawaku padamu. Arus yang penuh teka-teki dan
hal-hal yang mengejutkan.
Aku juga tidak akan bisa mengabadikan satu detik
saja yang kuinginkan. Yang bisa kulakukan adalah melemparkan diri melintasi
pikiranku sendiri, mencari-cari bayangan itu, beberapa detik ketika aku mencuri
pandang ke arahmu: kau yang sedang memandang jauh pada batas biru yang mengabur,
entah memikirkan apa atau siapa, dan mengabaikanku. Beberapa detik itu, ketika
aku berpikir: ah... hidupnya pun telah riuh tanpa perlu diisi dengan
kegelisahan-kegelisahan tak beralasan seperti yang kupikirkan kini.
Itu, yang kusebut kenangan.
Tapi aku selalu saja serakah, ingin mengenang
sebanyak yang aku bisa, tak peduli seberapa sempit dan kecil neuron-neuron
otakku yang dungu ini. Maka di atas lembar-lembar ini aku mengenang, menukil
apa yang tidak bisa kukekalkan. Dan barangkali saja, dengan ini, aku bisa
mengingatkanmu pada suatu saat ketika kau lupa.
Note:
*Dari rei, terimakasih untuk inspirasinya ^^
#Dari
“Surat yang Tak Pernah Sampai”---Dee, Filosofi Kopi
setiap kata adaalah tanggung jawab si pengucap kita berbagi kata demi sebuah ke tenangan yang bertanggung jawab dan tidak fana, buka salah ketika aksara tercipta terlalu apa adanya, tetapi pemaknaan yang terus mencari aksara yang pas untuk mewakilinya
ReplyDeleteiya rei ^^
ReplyDeleteterimakasih telah selalu mau berbagi