Sebuah Mimpi Masa Kanak-Kanak
Kebumen, 2 Agustus 2012
Pagi itu Ami merajuk lagi. Setelah cukup lama
berguling-guling di kasurnya, menarik-narik selimut dan mengoceh macam-macam,
dia tidak juga mau bangun. Padahal sudah hampir setengah tujuh. Aku, yang
sedang berperan sebagai kakak baik hati, memeluknya yang sedang berbaring
memunggungiku sambil bertanya pelan-pelan kenapa dia tidak mau sekolah. Dengan
suara terbata-bata, seperti hampir menangis, dia berkata bahwa Bila—teman
sebangkunya—nakal dan terus mengganggunya di kelas, bahwa Bila selalu banyak
bicara, bahwa dia tidak suka duduk sebangku dengan Bila (tapi teman lain tidak
mau duduk sebangku dengan Ami juga), dan bahwa dia tidak suka duduk di bangku
nomor dua karena tidak bisa melihat tulisan Bu Guru di papan tulis.
Rupanya Ibuku sudah cukup kebal dengan rajukan Ami
yang ternyata masih itu-itu juga sejak dia masih di TK. Bahkan dia pernah tidak
mau sekolah karena menurutnya seorang gurunya
“nakal”. Maka dengan iringan tangis yang cukup memekakkan telinga, Ami
mandi dan memakai seragamnya. Masih sambil sesenggukan juga, dia duduk di
boncengan motor. Ibu selalu berkata, dari keempat anaknya, hanya Ami yang
sering susah berangkat sekolah dengan alasan yang macam-macam.
Sepanjang jalan menuju ke sekolah, dia tidak
menangis lagi. Mungkin juga dia sendiri tidak tahu kenapa dia menangis.
Entahlah. Pikiran anak-anak yang sederhana malah barangkali terlalu rumit untuk
dipahami oleh orang dewasa (aku? dewasa? bagian ini silakan ditafsirkan sendiri
kebenarannya).
Untung saja dia tidak memintaku mengantarkannya
sampai ke dalam kelas (secara, aku belum mandi gitu loh...). Aku mengamatinya
berjalan dari pintu gerbang menuju ke kelasnya. Dia, gadis kecil dengan seragam
merah putih, sepatu hitam agak kebesaran, menggendong tas pink bergambar Hello
Kitty, si rambut singa yang ternyata sekarang sudah kelas 1 SD dan usianya akan
genap 7 tahun bulan ini. Seorang gadis kecil lain, kelihatannya teman sekelas
Ami, berlari menghampirinya. Mereka berjalan bersama ke kelas sambil
membicarakan entah apa.
Bel berbunyi.
Aku masih duduk di atas motor dekat pintu gerbang,
mengamati semua anak yang berbaris di depan kelasnya masing-masing. Beberapa
anak yang terlambat bergegas memarkir sepedanya dan berlari ke depan kelas. Beberapa
ibu dan seorang bapak masih bertahan di depan ruang kelas 1. Aku tidak tahu apa
masih ada anak yang ditunggui di sekolah, atau mungkin mereka akan pulang
setelah anaknya masuk ke dalam kelas. Anak-anak itu lucu sekali. Mereka
terlihat masih ribut di dalam barisan. Anak yang berdiri paling depan sebelah
kiri mengangkat tangan kanannya ke atas ketika aba-aba entah apa diberikan
(mungkin lencang depan atau lencang kanan). Khas anak-anak.
Sekolah ini mengingatkanku pada banyak hal.
Gedungnya masih terlihat sama meskipun sudah banyak berubah. Sekarang banyak
pohon ketapang di halaman. Tembok kelas dicat warna pink. Sebuah perpustakaan
baru berdiri di sebelah selatan sekolah. Tapi kesan yang diberikan bangunan itu
masih sama: masa kecil yang menyenangkan. Bahkan guru kelas Ami sekarang juga
masih sama dengan guru kelas 1-ku dulu. Pak Makmur juga masih menjadi penjaga
sekolah dan masih ingat padaku. Sekarang beliau sudah mempunyai seorang anak
perempuan.
Selalu menyenangkan melihat anak-anak kecil
berbaju merah putih itu. Beberapa juga terlihat sangat lucu dengan jilbab putih
mungil yang menutupi kepalanya (suatu hari Ami juga harus memakai jilbab
seperti mereka). Mereka mengingatkanku pada banyak hal, seperti bangunan
sekolah itu. Rasanya aku lupa bahwa suatu ketika aku juga pernah “sekecil’ itu,
memakai seragam merah putih dan bersepeda ke sekolah—sekolah itu juga.
Anak-anak selalu memancarkan semacam aura yang menyenangkan, secerewet atau
semenyebalkan apapun mereka. Toh, pada akhirnya kita akan tetap berkata: ah,
mereka kan masih anak-anak—semacam pembenaran atas tingkah mereka yang kadang
menyebalkan.
Tentu saja aku memang orang yang sangat mencintai
kenangan, karena aku sangat paham bahwa manusia tidak akan bisa mengembalikan
waktu, meski hanya sedetik. Aku tidak akan bisa kembali menjadi seorang gadis
kecil yang berlarian di halaman sekolah itu: saling meledek dengan gerombolan
anak laki-laki, mengadukan hal-hal tidak penting kepada guru, bertengkar dengan
tim lawan usai main kasti tapi sekejap kemudian sudah bermain bersama lagi. Aku
tidak akan bisa mengulang semua itu.
Berada di sana pagi itu, mengamati gedung sekolah
dan anak-anak mungil yang berkeliaran di halamannya, aku merasa menemukan satu
lagi alasan kenapa aku ingin menjadi guru mereka: karena aku ingin menjadi
bagian dari kenangan masa kecil mereka yang menyenangkan. Masa di mana mereka
tidak mengenal kejahatan. Masa ketika semua hal adalah permainan dan hitam
putih. Masa di mana mereka akan mencintai dengan tulus, tanpa tendensi. Sangat
menyenangkan membayangkan melihat mereka lagi ketika mereka sudah tumbuh
dewasa, dan mereka masih mengingatku seperti aku mengingat guru-guruku
sekarang.
Ami dan teman-temannya mulai masuk ke dalam kelas.
Aku memutar motorku, kembali dengan semacam
perasaan senang yang diberikan sekolah itu dan penghuninya. Tidak seorang pun
pernah menyuruhku untuk menjadi guru. Karena merekalah aku ingin menjadi guru,
sejak pertama kali aku mengenal siapa yang disebut “guru”. Aku tidak tahu apa
aku bisa menjadi seorang guru yang baik, tapi aku akan berusaha menjadi
kenangan yang menyenangkan untuk anak-anak didikku kelak. Maka, aku tidak
pernah malu pada siapapun untuk mengatakan di mana aku kuliah sekarang. Aku
tidak pernah malu dengan impianku sendiri, yang kusimpan sejak masih mengeja
huruf di bangku Taman Kanak-Kanak. Aku tidak pernah malu karena telah sampai
pada titik yang dulu hanya berani kubayangkan—bahkan membayangkannya saja butuh
keberanian. Meskipun beberapa orang menyeringai ketika kukatakan di mana aku
belajar sekarang, aku tetap dengan bangga akan berkata pada mereka, bahwa aku
memang seorang calon guru (amiin). Aku rasa tidak ada masalah dengan itu.
Impianku telah menemukan jalannya sendiri.
Kebumen, 3 Agustus 2012: 14.49’
Comments
Post a Comment