Kakek dan Aku
Aku masih punya kenangan itu.
Seorang anak perempuan kelas 4 SD duduk di becak bersama
kakeknya, memperhatikan bangunan-bangunan di tepi jalan. Yang dia ingat adalah
mereka melewati pagar panjang yang kusam di sebelah kiri, kemudian becak itu
berhenti di gerbang sebuah kantor yang dia tidak tahu apa namanya. Kakek
menggandeng tangannya masuk melintasi kantor yang menurutnya besar itu, sampai
ke belakang, kemudian mereka masuk dan duduk di ruangan yang cukup kecil.
Mata kecilnya selalu suka mengamat-amati apapun yang ada.
Hampir semua yang ada di sana adalah laki-laki dan perempuan tua seumur
kakeknya, bahkan ada yang lebih tua. Ada yang datang naik mobil, ada yang
berjalan kaki. Kadang-kadang kakek mengenali beberapa di antara mereka dan
kemudian mereka berbincang-bincang. Yang gadis kecil itu tahu, setelah kakeknya
mendapat giliran untuk maju ke meja besar di ruangan itu dan menjumpai petugas
yang duduk di sana, kakek kembali dengan membawa sejumlah uang. Maka, itu
artinya ia akan mendapatkan jajan.
Mereka lalu naik becak lagi. Kali ini dia tahu tempat
tujuannya: pasar. Ada dua makanan wajib yang dibeli kakek: roti ketapang dan
ikan tongkol. Dia suka pasar. Itu artinya kakek akan mengajaknya makan, kadang
sate, kadang nasi rames. Dan dia sangat tahu kakek tidak akan menolak apapun
yang dia minta. Tapi sekecil itu dia sudah tahu dia tidak boleh jajan
banyak-banyak. Sebab ibu akan memarahinya begitu sampai di rumah kalau dia
minta banyak jajan.
Dia selalu merasa menjadi cucu kesayangan. Barangkali karena
rumahnya persis di depan rumah kakek, jadi kakek selalu memberinya jajan.
Ketika menjemputnya pulang sekolah pun, kakek akan menawarinya untuk membeli
jajan. Sewaktu masih kecil, dia sangat senang jika kakek membanggakannya pada
orang-orang. Sebab dia sudah bisa membaca sebelum masuk TK. Jika mereka naik
angkot, kakek akan memintanya membaca tulisan-tulisan yang ada di plang-plang
pinggir jalan. Dia bisa. Dan kakek sangat senang.
Kakeklah yang mengajarinya membaca dan menulis dengan kapur
di lantai teras rumah kakek. Sampai dewasa pun, dia tidak ingat bagaimana cara
kakek mangajari anak kecil usia 4 atau 5 tahun itu membaca sampai benar-benar
bisa. Yang dia ingat, dia suka sekali pada kapur dan lantai yang menjadi papan
tulisnya. Tidak seorang pun marah meskipun dia memenuhi lantai dengan
coretan-coretannya.
Kakek seorang perokok. Tubuhnya kurus. Rambutnya beruban. Kakek
suka merokok sambil duduk di teras dan minum kopi. Barangkali karena itulah dia
suka kopi. Waktu kecil dia suka minta kopi dari gelas kakek. Yang dia ingat,
kakek memang sudah setua itu. Hanya saja, sewaktu dia kecil, kakek masih sehat
dan pergi ke mana-mana naik sepedanya sendiri. Kadang-kadang dia ikut ke sawah.
Bermain di pematang dan memunguti bunga turi atau kenikir. Dia ingat sekali
kakek menyuruhnya menanam bibit pohon kelapa di samping rumah. Ketika itu kakek
menyuruhnya mengucapkan semacam do’a yang entah apa.
Kadang-kadang kakek marah-marah. Tapi tidak seorang pun
berani padanya. Mereka semua menyayangi kakek. Dia juga. Meskipun dia sering malas
kalau disuruh memijati punggung dan kaki kakek.
Dia kelas 1 SMP sewaktu sakit kakek mulai agak parah.
Tubuhnya makin kurus dan hanya berbaring saja di kamar. Kadang-kadang dia
menangis kalau mengintip kakek berbaring di ranjang dengan napas yang sudah
payah dan berat. Dia memijat kaki kakek yang terasa tinggal tulangnya saja.
Dan suatu siang, ketika dia pergi ke warung membeli pecel,
sampai di rumah kakek sudah tidak ada lagi. Kakek tidur dan tidak bangun lagi.
Dia tidak ingat bagaimana dia menangis. Dia sudah tidak punya nenek ketika itu.
Dan dia juga tidak punya kakek. Dia menyesal sekali kenapa sering malas memijat
punggung kakek. Dia ingin sekali kakek melihatnya tumbuh besar. Dia ingin
sekali kakek bisa membanggakannya bukan hanya karena dia sudah bisa membaca dan
menulis. Tapi Dia menginginkan kakek di sisiNya.
Sekarang dia sudah menjadi lebih besar dan sedikit lebih
dewasa. Aku melihatnya ketika bercermin. Sekarang aku merasakan kerinduannya
pada kakek ketika kami melihat rumah kakek lewat jendela rumah. Dulu kakekku
sering duduk di teras rumah itu. Aku merindukannya. Bahkan aku belum sempat
berterimakasih padanya karena telah mengajariku membaca.
Kebumen, 25 Agustus 2012: 12.23’
Comments
Post a Comment