Namaku Pantai
Aku cantik. Setidaknya aku merasa cantik dengan segala
yang ada padaku: pasir putih, batu-batu karang hitam, pohon-pohon ketapang dan
cemara laut, burung-burung yang melintas di atasku, perahu-perahu nelayan, ombak-ombak,
samudra yang garang tapi menenangkan, dan tentu saja bukit-bukit hijau yang
melingkupiku. Aku cantik. Karena itulah dia menyukaiku.
Aku masih ingat terakhir kali dia datang. Empat
puluh enam hari yang lalu, pada suatu pagi yang agak mendung, ketika angin
belum mau bertiup kencang dan air laut belum meninggi untuk menenggelamkan
batu-batu karangku. Dia tidak sendirian ketika itu. Entah siapa lagi yang
bersamanya, aku tidak peduli. Yang terpenting bagiku adalah aku bisa melihatnya
lagi.
Tak tahukah kau rasanya ketika dia menginjakkan
kakinya di atas butir-butir pasirku? Rasanya aku mau jadi lautan pasir seluas
kakinya melangkah, ke mana saja. Dengan wajahnya yang selalu dihiasi senyuman
lebar, dia memandang jauh ke laut, kepada batas kabur antara air dan kaki
langit. Aku sangat menyukai wajahnya ketika dia menatap dengan cara itu. Entah
dengan cara bagaimana, aku tahu bahwa dia pun mencintaiku.
Kadang-kadang dia berjalan di atas batu-batu
karangku yang licin dan tersebar tidak beraturan. Dia berjingkat-jingkat di
antara batu-batu itu. Mereka terlalu licin untuk alas kakinya, sehingga dia
akan bertelanjang kaki sambil sesekali berjalan di air, membiarkan kaki dan
ujung celananya basah terkena air laut. Dan ah...senyumnya selalu membuatku
bahagia. Aku menginginkan ombak menyapanya dengan lembut. Aku menginginkan
angin membelainya dengan halus.
Aku selalu ingin semua tampak indah baginya.
Jika itu pagi, aku mau matahari muncul dengan
anggun tanpa mendung sedikit pun. Aku mau dia melihat matahari terbit dengan
kekaguman yang tidak akan didapatkannya di tempat manapun juga. Ketika dia
duduk di atas bukit kecil dengan rumput-rumput yang masih basah dan memandang
pada langit, aku ingin melihat wajahnya yang teduh dan tenang, meskipun wajah
itu tetap tidak bisa menyembunyikan kesedihan. Jika itu senja, aku ingin dia
melihat langit menjadi lukisan yang begitu menakjubkan ketika matahari
menyiratkan cahayanya yang penghabisan. Air laut akan menjadi merah keemasan. Alam
begitu hikmat melepas matahari ke balik lautan, menundukkan pelepah-pelepah
pohon kelapa dan menggetarkan hati siapa saja yang memandangnya. Aku tahu dia
suka senja. Seperti dia menyukai pantai. Menyukaiku.
Pagi itu aku agak mendung. Aku takut dia akan
kecewa karena tidak bisa melihat matahari muncul dengan sempurna di atas
bukit-bukit sebelah barat. Tapi senyumnya mengembang ketika langit mulai bersih
dan dia bisa melihat matahari muncul dari punggung awan. Dia berlari-lari kecil
di atas bukit, menuju sebuah tempat datar berumput yang menjadi tempat
favoritnya untuk duduk. Di sanalah dia. Mengamati langit dengan pikiran entah
apa yang tidak terbaca. Aku tidak perlu tahu lebih banyak lagi. Cukup tahu
bahwa dia ada di sana. Di dekatku.
Aku sudah lupa kapan pertama kali dia datang.
Sudah bertahun-tahun yang lalu. Awalnya kukira dia sama saja dengan orang-orang
lain yang datang padaku, mengagumi laut, bermain air, berjalan di pasir, pulang
lalu kapan-kapan datang lagi sekali dua kali atau tidak pernah datang lagi sama
sekali. Mereka juga menatapku dengan
kagum, mengakui kecantikanku. Tapi dia berbeda. Dia menatapku dengan tatapan
yang berbeda. Sekali, aku tidak memperhatikannya. Dua kali, tiga kali, dia
mulai membuatku tertarik. Ada sesuatu padanya yang membuatku merasa sebuah
ikatan telah menalikan dia padaku. Atau menalikan aku kepadanya.
Dia begitu kurus. Dengan jari-jarinya yang panjang
dia menyentuh pasir dan batu-batu karangku. Tatapannya berbinar tetapi redup, seperti
senja yang temaram. Kau tidak akan tahu apa yang ada di sana karena mungkin kau
akan tenggelam sebelum sampai di seberang. Senyumnya ringan, tapi kadang aku
merasakan kegetirannya. Ya, mungkin aku sok tahu. Tapi aku memang merasa tahu.
Kadang dia datang sendiri. Kadang bersama orang
lain yang tidak selalu sama. Dia selalu tersenyum bersama dengan orang-orang itu.
Mereka membicarakan banyak hal ketika berjalan di atas pasirku, ketika
berjingkat-jingkat di antara batu karang, ketika duduk di atas rerumputan. Tapi
aku melihatnya, melihat sesuatu yang dia simpan di balik wajahnya yang teduh,
di antaranya senyumannya yang lebar. Sebuah kesedihan. Atau barangkali
kekosongan. Mungkin juga perasaan hampa. Atau sebuah luka. Aku tidak tahu
pasti, tapi dia menyimpan sesuatu. Sebab ia pernah menangis di sini, di atas
bukit-bukitku, pada suatu hari yang sepi hingga angin pun seolah mati. Dan dia
menangis. Aku melihatnya menangis. Untuk pertama kalinya. Aku tidak tahu kenapa
dia menangis, tapi pasir-pasirku serasa ikut basah dan menggigil. Aku
membelainya dengan ombak-ombak yang lembut, dengan langit yang teduh dan
ketenangan yang diberikan oleh semua daun dan rumput yang aku punya. Alam punya
cara sendiri untuk menghiburnya. Dan aku tahu ia merasakan itu.
Pagi itu, empat puluh enam hari yang lalu, dia
pulang tanpa menangis. Aku senang dia tidak menangis, meski tawanya yang getir
itu masih terasa. Aku tahu dia akan datang lagi, melunasi rindu pada pasir,
bukit, karang dan lautku. Dia pasti datang lagi. Dan kuharap dia tidak akan
menangis.
Namaku Pantai.
Dan aku mencintainya.
Semarang, 9 Agustus 2012: 22.00’
Comments
Post a Comment