Seperti Anak-Anak
“Ketika
melihat anak kecil, kadang aku berpikir, betapa menyenangkannya menjadi seperti
mereka.”
Bagiku,
semua anak kecil, di manapun juga, seperti apapun wujudnya, apapun warna
kulitnya, mereka tetaplah makhluk yang menakjubkan. Seorang bayi yang bahkan
belum bisa mengatakan apa-apa dan belum mengerti jika diajak bercanda pun
selalu terlihat mempesona. Ketika dia mengerjapkan mata, menggerakkan tangannya
yang mungil, menguap, menendang-nendang udara, semua itu sangat menyenangkan
untuk dilihat. Ketika mereka sudah sedikit lebih besar, mereka mulai bertingkah
lucu dan menggemaskan. Kadang aku pun menganggap mereka bisa menjadi
menyebalkan, tetapi anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka adalah makhluk yang
tidak bisa dibenci.
Aku
senang memperhatikan anak kecil di manapun juga mereka kutemui. Menurutku,
mereka memang diciptakan untuk membuat orang lain jatuh cinta. Melihat anak
kecil dengan pipi bulat dan baju yang sangat lucu di dalam bis, di mall atau
saat jalan-jalan, kau pasti tidak akan tahan untuk berkata, atau sekedar
berpikir, bahwa mereka sangat lucu dan manis. Kadang sulit dipercaya, bahwa
makhluk kecil itu pun akan menjadi dewasa, menjadi manusia yang bisa berpikir
sendiri, memutuskan sendiri, bahkan bisa juga membangkang pada orang lain.
Rumah
kami berhadapan dengan rumah Nafis. Tidak ada satu hari pun yang terlewat
baginya untuk tidak bermain bersama Ami, dan hampir tidak ada satu hari pun
yang terlewat tanpa pertengkaran mereka. Kadang mereka berebut mainan atau
barang-barang kecil. Bahkan selembar daun pun bisa menjadi begitu berharga bagi
mereka dan menjadi sumber keributan. Jika sudah begitu, mereka akan saling berteriak,
memukul, menjambak, dan kadang menggigit. Meskipun Nafis lebih kecil, tapi
karena dia anak laki-laki, dia lebih sering menang dibanding Ami. Jika aku
berusaha melerai mereka, dia akan mengalihkan pukulannya padaku sambil menangis
dan berteriak-teriak mengatakan bahwa aku nakal. Tapi itu tidak akan lama. Tidak
sampai satu hari, bahkan kadang tidak sampai satu jam, mereka sudah
tertawa-tawa lagi sambil berlarian ke sana kemari. Sangat lucu menyaksikan
mereka saling mengulurkan tangan sambil mengatakan maaf, meskipun adakalanya
salah satu dari mereka masih marah dan tidak mau secepat itu berjabat tangan.
Usia
Ami lebih tua satu tahun. Karena Nafis memanggilnya kakak, maka dia sudah mulai
bisa memposisikan dirinya sebagai seorang kakak. Kadang tingkah mereka sangat
lucu ketika sedang bermain bersama. Ami sangat senang berperan sebagai seorang
guru, dan Nafis menjadi muridnya. Kadang Nafis berperan sebagai seorang bayi
dan dia menjadi ibunya. Saking seringnya mereka bermain bersama, mereka sering
menginginkan barang-barang yang sama. Jika Nafis membeli pensil warna, sebisa
meungkin kami memebelikan Ami pensil warna yang sama. Jika Ami membeli jajan,
maka Nafis akan meminta jajan yang sama. Sangat lucu ketika kemudian Nafis
meminta dipakaikan jilbab kepada ibunya ketika mereka akan pergi ke masjid. Kami
pun berkata bahwa dia adalah anak laki-laki, jadi dia harus memakai peci, bukan
jilbab.
Kadang
aku membayangkan seperti apa mereka ketika besar nanti. Apakah mereka ingat
bahwa mereka sering bermain bersama? Apakah mereka masih akan bermain bersama? Bagaimanapun
juga, melihat mereka selalu menyenangkan. Aku pernah bertanya pada Ami, apa
yang sedang dia pikirkan? Dan dia tidak menjawab karena tidak mengerti. Banyak hal
yang ingin kutiru dari mereka. Alangkah senangnya jika aku tidak pernah mendendam.
Alangkah senangnya jika aku tidak akan mengingat-ingat lagi apa yang pernah
orang lain lakukan padaku. Alangkah senangnya jika aku bisa dengan mudah
melupakan dan memaafkan. Seperti anak-anak itu.
Beringin 17, 5 Juni 2012: 13.25’
Comments
Post a Comment