Secangkir Kopi


Ibu,
Apakah hatiku terlalu sempit dan kecil?
Aku ingin mengadu kepadamu seperti biasanya, mengatakan apa saja tanpa takut ada yang akan menjadikannya tidak rahasia. Kau selalu bilang hatimu akan ikut sakit jika aku menangis. Ya, aku masih secengeng itu sampai sekarang.
Ibu,
Apakah anakmu ini masih terlalu kekanakan?
Kita biasa tertawa ketika berdiri di depan cermin, karena sekarang aku sudah lebih tinggi dibanding tinggimu. Kadang aku merasa kita sudah berbicara seperti dua orang perempuan dewasa. Tapi barangkali tetap saja bagimu aku masih kekanak-kanakan, memandang dunia dengan idealismeku sendiri yang kadang tidak realistis. Aku belum bisa menuruti dunia, tapi menuntut dunia menurutiku.
Ibu,
Karena waktu itu kau menangis maka aku berhenti menangis. Tapi masih bolehkah sesekali aku menangis jika rindu? Tak apa, aku akan menangis sendiri di belakangmu. Karena jika kau ikut menangis, aku tidak akan berhenti menyalahkan diriku sendiri.
Ibu,
Mereka datang dan pergi seperti musim. Apalagi yang belum kudapatkan? Hangat yang seperti senja saat bunga bermekaran. Gerimis di bulan Juni yang menderas menjadi badai. Angin yang nyata tapi tiada. Bukankah tidak seharusnya bintang jatuh kembali ke langit? Atau memang aku yang terlalu naif.
Kau tidak pernah menyalahkan, tapi kau menolak disebut memberi pembelaan.
Hanya saja satu hal yang kita akui, bahwa aku pernah sakit.
Maka bolehkah aku begini?
Katakanlah aku jahat. Atau seperti anak-anak.
Aku tahu kau tetap akan berpihak padaku.
Ibu,
Saat-saat seperti ini membuatku ingin pulang. Melewatkan pagi bersamamu dengan segelas kopi., melupakan bahwa aku menginginkan banyak hal tidak realistis di dunia ini.


Beringin 17

Comments

Popular Posts