Bulan Sabit
I love those eyes,
More than all eyes i’ve ever seen...
Jika ada yang bertanya padaku: apakah bulan
purnama lebih indah dari bulan sabit ataukah bulan sabit yang lebih indah
dibanding purnama? Jujur, aku tidak bisa menjawabnya. Purnama tentu saja indah.
Dan bulan sabit juga selalu memiliki keindahan yang tidak biasa, keindahan yang
mengingatkan entah pada apa. Sesuatu yang melankolis, mungkin.
Dari jendela kamarku di Semarang, aku biasa
melihat bulan sabit muncul dari langit sebelah barat, seolah-olah keluar dari
Bukit Beringin, sebuah bukit kecil di sebelah barat. Senja seperti itu adalah
saat-saat yang kusukai. Duduk dekat jendela, mencari-cari bulan sabit yang
kadang terlihat lewat sela-sela daun kersen pinggir jalan.
Ketika di rumah, bulan sabit itu akan muncul dari
pucuk-pucuk pohon kelapa. Langit di sini terlihat lebih lapang, sehingga aku senang
berdiri di luar sambil mendongakkan wajah ke atas, berkata pada diriku sendiri:
betapa kecilnya aku.
Apakah menyukai bulan sabit juga bisa menjadi
sebuah kesalahan di mata orang lain, seperti aku menyukai kopi dan sepak bola?
Apakah menyukai kata-kata juga bisa menjadi sebuah keanehan di mata orang lain
yang membuatku sulit dimengerti? Barangkali sebenarnya orang lain tidak perlu
mengerti, mereka hanya perlu menerima bahwa aku memang seperti ini. Seperti
aku. Bukan seperti orang lain.
Sekarang, aku mau bulan sabit yang bukan di
langit.
Bisakah ini menjadi sebuah kesalahan pada akhirnya?
Tidak ada yang perlu dipedulikan, karena aku
normal, dengan caraku sendiri. Bukankah begitu?
Aku berhak memikirkan apapun yang kuinginkan, aku berhak menyukai
apapun, aku berhak menuliskan apapun, aku berhak memiliki duniaku sendiri,
tempat aku menjadi aku dengan semua yang aku inginkan.
Masa bodoh dengan dunia yang tidak mengerti, aku
juga tidak akan memahami.
Beringin 17, 29 Juni 2012: 21.00’
Comments
Post a Comment