Teratai di Suatu Sore
Wanita itu
berjalan dengan langkah panjang-panjang. Dia ingin segera sampai di rumah.
Sesekali dia memandang resah ke arah barat, di mana matahari mulai condong dan
membuat langit berwarna oranye. Tapi dia terlalu terburu-buru untuk bisa
menikmati keindahan warna langit ketika itu.
Beberapa
gumaman tidak jelas keluar dari mulutnya, ketika kakinya terasa agak sakit
sehingga dia harus berhenti sebentar. Pada saat-saat seperti itu sebenarnya dia
benci memakai sepatu berhak tinggi. Dan sore itu, dia lebih kesal lagi karena
harus berjalan kaki ke rumah, setelah mobilnya terjebak macet di dekat
perempatan yang sebenarnya sudah tidak begitu jauh dari komplek perumahan yang
dia tinggali. Karena tidak sabar dia memilih untuk berjalan kaki, meninggalkan
mobilnya bersama sopir. Tubuhnya sudah terasa begitu lengket oleh keringat, dan
dia ingin cepat-cepat mandi lalu istirahat sebentar sebelum mulai mengerjakan
tugas-tugas kantor yang menumpuk.
Tiba-tiba
sebuah bola plastik berwarna merah menggelinding dan berhenti di dekat kakinya.
Dia memungut bola itu. Seorang anak laki-laki berumur sekitar lima tahun
berlari-lari lalu berhenti di dekatnya. Wajahnya tampak malu-malu. Dia melihat
anak itu sambil tersenyum. Anak itu sangat manis, bermata bulat dengan bola
mata hitam pekat yang berkedip-kedip lucu. Sepertinya anak itu ingin mengatakan
sesuatu, tapi dia hanya diam sambil tersenyum-senyum kecil dan menyembunyikan
kedua tangannya yang mungil di balik punggungnya.
”Ini bola
ade ya?” tanyanya pada anak itu.
Anak itu
mengangguk-angguk kecil sambil menatap dengan polos. Dia mengulurkan bola itu.
“Makasih,
tante,” kata anak itu malu-malu. Kemudian dia berlari lagi sambil beberapa kali
menoleh padanya. Dia tersenyum. Anak itu berkumpul dengan beberapa anak lain
dan mereka mulai berlari-lari mengejar bola. Dia terkejut ketika menyadari kini
dia berada di dekat taman kecil yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Sudah
berapa lama dia tidak datang ke taman itu?
Untuk beberapa saat dia tertegun di sana,
berdiri dengan pandangan mengawang. Sebuah perasaan ganjil muncul tiba-tiba.
Dia pernah berada di tempat itu, pada sore yang sama, hanya saja dengan
perasaan yang berbeda. Entah sadar entah tidak, dia berjalan masuk ke taman,
melewati anak-anak yang sedang bermain bola, beberapa wanita yang mungkin ibu
mereka, dan duduk di bangku putih panjang persis di tengah taman itu.
Benar, senja
yang sama seperti senja-senja lain yang pernah dia lewati di tempat itu.
Bunga-bunga di sana juga tidak jauh berbeda. Kolam kecil di pinggir taman itu
juga masih ada seperti dulu. Ah, sudah lama sekali sejak terakhir kali dia
datang. Bahkan rasa-rasanya dia lupa akan keberadaan taman itu. Atau memang
sebenarnya dia ingin melupakannya...
Dia
mendongak pada langit. Suara teriakan dan tawa riang anak-anak terdengar jelas
di telinganya. Angin yang lewat di sela-sela rambutnya tiba-tiba saja membawa
sebuah suara yang terdengar samar-samar.
“Lihat,
mereka lucu sekali.”
“Benar,” dia
mendengar suaranya sendiri menyahut.
“Kelak aku
ingin punya anak-anak yang mungil dan lucu seperti mereka.”
“Apa kita
akan punya taman di rumah? Mereka bisa bermain di sana.”
“Tentu saja,
taman yang besar, luas, dan penuh dengan bunga.”
Lalu dia
mengingat sebuah senyuman yang tampak setelah kalimat itu terngiang di
telinganya. Sebuah senyum yang manis, sangat manis dan magis. Sebab senyum itu
pernah membuatnya percaya bahwa suatu hari dia benar-benar akan punya sebuah
taman yang luas di rumah, di mana dia bisa melihat anak-anak kecil yang lucu
itu bermain di antara bunga-bunga.
Dia masih
mengamati langit. Senja seperti ini membuat langit terlihat begitu indah,
dengan warna oranye, biru dan kadang-kadang ada juga warna merah jambu.
Menurutnya, memandang langit senja selalu membuatnya berkhayal dan mengingat
masa lalu yang telah tertinggal jauh di belakang. Seperti yang dilakukannya
sekarang.
Dia
tersenyum getir. Pandangannya beralih kepada kolam kecil di pinggir taman. Dia
bisa melihat beberapa bunga teratai yang sedang mekar di sana.
“Kau lihat
teratai itu?”
Dia melihat
dirinya sendiri duduk di rerumputan tidak jauh dari kolam, memakai sweater
merah marun. Ketika itu wajahnya terlihat begitu senang, dengan senyum yang
seakan tidak putus-putus.
“Kau akan
menjadi seperti teratai itu.”
Dia
membulatkan mata tanda tidak mengerti. Kenapa seperti teratai? Pikirnya. Sosok
yang duduk di sampingnya tersenyum, masih dengan senyumnya yang magis. Semburat
matahari menerangi tempat mereka berdua duduk, membuatnya merasa sosok itu
seperti berkilauan disiram cahaya matahari yang redup dan hangat.
“Teratai
biasa tumbuh di lumpur. Tapi tidak peduli di manapun tumbuh, bunganya selalu
sama indahnya, kan?”
Dia
mengangguk.
“Suatu hari
orang-orang akan melihat betapa indah dan hebatnya dirimu, meskipun sekarang
mereka masih mengabaikanmu.”
Ketika itu
dia bukan siapa-siapa.
Tapi
lihatlah sekarang, bukankah dia sudah menjadi teratai yang tumbuh di kolam
indah dan dikagumi oleh banyak orang? Dia mendapatkan posisi penting di
perusahaan, sebuah tempat yang berhasil diraihnya setelah perjuangan panjang
yang melelahkan. Ada masanya ketika orang-orang mengabaikan, meremehkan, dan
memandang padanya dengan memicingkan sebelah mata. Tapi dia telah menunjukkan
siapa dia dan apa saja yang bisa dia lakukan. Bukankah harusnya dia merasa
senang? Gembira? Puas? Bukan kosong seperti sekarang.
Ada nyeri
yang terasa di dadanya.
Dia menunduk
dan mencoba untuk tidak mengeluarkan air mata. Selama ini orang-orang berkata,
“Apa lagi yang belum kau dapatkan?” Dia selalu tersenyum dan menjadi sosok
perempuan hebat seperti yang orang-orang kagumi. Tapi dia tetaplah seorang
perempuan. Perempuan yang bisa saja menangis tiba-tiba. Seperti sekarang.
Seperti saat itu.
Dia lelah
bertanya. Dia lelah berpikir. Dia lelah memohon. Yang bisa dilakukannya ketika
itu adalah diam dan menatap rerumputan.
“Kita tidak
perlu menyalahkan apa-apa. Ada kalanya kita merasa hati kita sudah terlalu
sempit untuk menampung isi yang masuk ke dalamnya.”
Dia masih
diam, bahkan ketika dia merasa ada yang menggenggam jari-jarinya yang mulai
dingin. Dan bergetar.
“Aku tidak
perlu selalu memandang teratai itu untuk merasa bahagia. Mendengarnya tumbuh
dan mekar, di manapun juga, sudah cukup untuk membuatku senang.”
Perlahan-lahan
genggaman tangan yang hangat itu merenggang, lalu menghilang. Jari-jarinya
masih dingin, makin dingin dan sendirian.
“Kau terlalu
sibuk sekarang, sibuk dengan duniamu dan semua ambisimu. Aku tidak bisa lagi
mengikutimu.”
Tangannya
mendekat ke wajah, mengusap sudut matanya yang mulai basah. Pandangannya
kembali tertumbuk pada anak-anak yang sedang berlarian mengejar bola. Mereka
tertawa-tawa senang, sesekali terjatuh lalu bangkit lagi dengan cepat. Dia
masih ingat bahwa dia juga ingin memiliki anak-anak seperti itu di rumahnya.
Dia juga masih ingat dia ingin membuat sebuah taman yang luas, dengan sebuah kolam
berisi bunga teratai. Tapi dia lupa dengan siapa dia ingin memiliki semua itu.
Senja mulai
beranjak. Ibu anak-anak itu mendekat, menggandeng mereka pulang, walaupun
sebagian masih ingin tinggal. Dia memandangi anak-anak itu sampai mereka
menghilang. Mungkin saja sekarang kau
juga sudah punya anak-anak yang lucu seperti mereka. Anak-anak yang akan
bermain bersamamu di taman. Dia tersenyum pahit, lalu bangkit dan mulai
berjalan meninggalkan taman itu, meninggalkan ingatan-ingatan yang tidak
seharusnya membuat dia merasakan kegetiran.
Aku masih berharap kau bisa melihat wajahku
dan mengingat, bahwa bagiku, semua ini belum berakhir.
###
Beringin
17, 9 Maret 2012: 15.24’
Sebuah cerita yang terinspirasi dari catatan
seorang teman dan “Someone Like You”-nya Adele (perpaduan yang aneh,
sebenarnya)
Comments
Post a Comment