PLEDGE
Title : Pledge
Author : seorang galau-ers yang lagi terobsesi bikin ff
Author : seorang galau-ers yang lagi terobsesi bikin ff
Genre : romance gaje
Rated : semua boleh baca ko
Fandom : the GazettE ^,^
Disclaimer : they own themselves, I just own the storyline and the words… (Mohon gunakan perasaan untuk memahami cerita di bawah ini....*halaah)
Pairing : ismi el barca dan ruki (lah???)
Rated : semua boleh baca ko
Fandom : the GazettE ^,^
Disclaimer : they own themselves, I just own the storyline and the words… (Mohon gunakan perasaan untuk memahami cerita di bawah ini....*halaah)
Pairing : ismi el barca dan ruki (lah???)
Bukaaan,,,,,silakan cari sendiri
saja bagi yang mau ^_^
“Still
grieving
In
these tears, this morning also
I’ve
lost another word
Why
my voice could not be clearer?”
Untitled-The gazettE
Ruki’s
POV
Makuhari Messe : March 10, 2012
Setiap pagi, terbangun
di bumi yang sama, dengan langit yang sama, matahari yang sama, angin yang
sama, tubuh yang sama, tapi dengan hidup yang tak pernah sama lagi: karena
ketiadaanmu.
Aku
diam, memejamkan mata dan meresapi lagu yang kudengarkan lewat earphone. Sebisa
mungkin kuabaikan keributan dan kesibukan yang terasa mengelilingiku. Aku mau
sendiri untuk sebentar saja, beberapa menit sebelum semuanya dimulai.
Ini
lagu kesukaanmu.
Aku
ingat bagaimana kau memejamkan mata ketika mendengarkan lagu ini untuk pertama
kalinya, tujuh tahun yang lalu. Aku ingat bagaimana aku bisa terpesona
memandangimu ketika itu. Kau begitu tenang dan terlihat damai. Aku suka wajah
polosmu. Aku suka melihatnya...
Aku
juga masih ingat bagaimana tiba-tiba setetes air mengalir turun dari sudut
matamu. Aku yang masih memandangimu sampai lupa berkedip terkejut seketika. Belum
sempat aku bertanya, kau tersenyum sambil membuka matamu dan berkata,”Kau
menyanyikannya sepenuh hati, Ruki-ssi...”
Mengingatnya
seperti memutar film di otakku. Aku ingin mengingat semuanya secara detail.
Bentuk matamu. Warna rambutmu. Suaramu. Caramu berjalan. Caramu bicara. Matamu yang
menyipit ketika tertawa. Ekspresi lucumu ketika kau kesal. Tatapan lembutmu
yang meneduhkan. Semuanya. Tanpa terlewat satu pun.
Seseorang
menyentuh bahuku pelan.
Ketika
aku membuka mata, sosok dengan rambut pirang madu itu membungkuk di depanku
sehingga wajahnya menjadi begitu dekat.
“Ayo
Ru, kita harus bersiap sekarang,” katanya sambil tersenyum, lalu melangkah
bergabung dengan ketiga member lainnya.
Aku
melepas earphone. Sudah saatnya. Ini momen yang penting dan aku harus melupakan
sejenak semua pikiran-pikiran yang memenuhi otakku, karena sebentar lagi,
ketika berdiri di atas stage itu, aku bukan lagi Matsumoto Takanori, tapi Ruki,
Ruki the GazettE...
Wish you were here, ...
***
Suatu
sore: 2005
Sore
seperti ini terlalu indah untuk dilewatkan dengan duduk diam di apato. Lagipula
jarang sekali aku bisa terlepas dari rutinitas yang melelahkan lalu
berjalan-jalan bebas seperti sekarang. Dengan jaket coklat tua, topi dan
kacamata hitam yang kupakai kuharap penampilanku tidak terlalu mencolok.
Aku
menikmati angin yang bertiup pelan, yang seolah-olah bersekutu dengan langit
untuk menciptakan suasana sore yang nyaman ini. Langkah kaki membawaku ke dekat
taman yang sepi. Barangkali sekarang sudah terlalu sore untuk membawa anak-anak
bermain di sana, atau orang-orang memang sedang ingin berdiam diri di rumah.
Aku duduk di salah satu bangku panjang berwarna putih, mengamati awan-awan yang
bergerak di atas. Kapan terakhir kali aku melakukan hal ini? Biasanya aku
melewatkan sore seperti ini dengan sibuk di studio, duduk di mobil, atau tidur
karena kelelahan di apato.
“Mmmm....
Excuse me....”
Sebuah
suara mengalihkan perhatianku dari awan-awan itu. Seorang gadis berdiri di
depanku. Wajahnya terlihat sedikit bingung. Aku bisa melihat rasa cemas memancar
di kedua matanya.
“Can
you speak English?” tanyanya dengan wajah penuh harap.
“Yes...
What can I do for you?”
Kelihatan sekali dia merasa lega.
“Saya
tersesat,” katanya dengan wajah malu-malu,”Saya sedang menginap di apartemen
saudara saya. Tadi saya keluar sendiri untuk berjalan-jalan, tapi mungkin saya
sudah berjalan terlalu jauh sampai saya lupa jalan pulang ke apartemen. Saya
juga lupa membawa handphone.”
Aku
hampir tertawa melihat wajah malu-malunya dan matanya yang bergerak ke sana
kemari ketika bicara. Menurutku usia gadis ini belum lebih dari 20 tahun.
“Apa
nama apartemennya?”tanyaku.
Aku
agak terkejut ketika dia menyebutkan nama apatoku.
“Kebetulan
sekali saya juga tinggal di sana.”
Dia
tersenyum lega. Kukatakan padanya bahwa aku masih ingin duduk-duduk sebentar di
sana. Dia tidak keberatan menunggu dan kemudian duduk di sampingku.
“Nama
saya Kim Su Jin, saya orang Korea.”
“Saya...un...
Matsumoto Takanori.”
Dia
tersenyum. Ketika itulah aku menyadari bahwa tatapan matanya begitu lembut.
Dia
lalu bercerita bahwa saudaranya-yang dia sebut Yukyung unnie-sudah dua tahun
bekerja di Jepang. Ini pertama kalinya dia datang ke sini.
“Saya ingin sekali melihat bunga
sakura bermekaran,”katanya.
Aku
tertawa. “Karena sudah melihatnya sejak kecil, rasanya biasa saja bagi saya
melihat bunga-bunga itu.”
Dia
tersenyum lagi. Sepertinya sudah berkali-kali dia tersenyum.
“Saya
tidak pernah bosan mengagumi keindahan setiap bunga. Lihat saja mereka.”
Dia
menunjuk bunga-bunga yang mekar di taman itu.
“Mereka
begitu cantik, dan mereka tidak peduli siapa saja yang menikmati keindahannya.
Siapapun yang memandang, siapapun yang lewat, mereka selalu sama, memberikan
warna yang sama, keindahan yang sama, pada setiap orang.”
Dia
mengatakan kalimat-kalimat itu sambil memandang ke depan, sementara aku
memandang padanya, merasakan wangi rambutnya yang terbawa angin. Dia menoleh
seperti tahu aku sedang memperhatikannya, lalu dia tersenyum, lagi. Ketika itu
aku tidak tahu kenapa ada perasaan aneh yang tiba-tiba mengelilingi tempat
kami.
Su Jin’s POV
Aku
berjalan keluar dari lift. Dia masih berdiri di dalam, memandang padaku. Aku
membungkukkan badan dan sekali lagi mengucapkan terimakasih. Dia tersenyum. Aku
tidak bisa lepas memandang mata coklat hazelnya sampai pintu lift menutup dan
dia menghilang. Sejak dia membuka kacamata hitam yang dia pakai, aku bisa
melihat matanya yang berwarna coklat hazel dan terlihat sangat tajam itu.
Awalnya aku ragu-ragu untuk bertanya padanya di taman, melihat penampilannya
yang agak janggal bagi orang yang ingin berjalan-jalan sore-jaket, topi,
kacamata hitam, ditambah banyak anting di telinganya. Tapi ternyata dia cukup
baik.
“Ya!
Su Jin-ah!”
Aku
sudah menduga Yukyung unnie akan memarahiku.
“Apa
yang kau pikirkan? Pergi sendirian keluar tanpa membawa handphone! Aku hampir
melapor ke kantor polisi, tahu! Kau kan baru datang kemarin dan belum pernah
kuajak keluar, bagaimana kalau kau hilang? Apa yang akan kukatakan pada
eommamu?”
Baiklah.
Aku salah. Tapi aku merasa ketakutannya terlalu berlebihan.
“Mianhae,
unnie... Tadinya aku hanya ingin jalan-jalan sebentar, ternyata aku lupa jalan
pulang. Untung aku bertemu orang yang juga tinggal di apartemen ini.”
“Beruntung
sekali kau bisa kembali dengan selamat. Siapa orang baik yang sudah mau
mengajakmu pulang?”
“Mmmm.......
Dia bilang namanya Matsumoto Takanori.”
Yukyung
unnie tiba-tiba tersedak jus jeruk yang sedang dia minum.
“Mwo???!!!”
Dua
puluh detik kemudian reaksi terkejutku juga sama dengannya.
***
Aku
mengamati gambar-gambar yang tampak berjajar di layar laptop Yukyung unnie yang
kupinjam. Gambar-gambar itu muncul begitu aku menulis nama Ruki the GazettE di
kotak pencarian. Kupandang baik-baik wajah yang ada di gambar-gambar itu.
Benar, aku tidak akan lupa pada matanya. Entah kenapa aku selalu terkesan
dengan mata yang kuanggap istimewa, karena mata setiap orang berbeda-beda dan aku
percaya mata bisa menjadi cermin perasaan seseorang.
Gambar
itu banyak sekali dan aku tertarik untuk mencermatinya. Kadang dia terlihat
garang, kadang terlihat cantik, kadang terlihat misterius. Dia terlihat berbeda
dengan make up dan kostum-kostum aneh yang dia pakai. Tapi tetap saja
dia...tampan. Aku tersenyum menemukan sebuah gambar yang bagus, kelihatannya
dari semua gambar itu, ini adalah favoritku. Dia terlihat dari samping dengan
rambut merah-hitam, tersenyum sambil mengangkat seekor anjing cihuahua kecil
berbulu putih dan bertelinga coklat. Senyumnya begitu manis, dan aku berani
bersumpah bahwa yang terpancar dari matanya adalah rasa sayangnya pada anjing
lucu yang dia angkat. Entah sadar atau tidak, aku menyimpan foto itu.
***
Ruki’s POV
Ketika
pintu lift terbuka, aku melihatnya berdiri di sana. Wajahnya agak terkejut.
Dengan kikuk dia masuk ke dalam lift. Kami berdiri berdampingan dan tetap diam.
Sudah lima hari berlalu sejak dia tersesat waktu itu. Aku meliriknya sebentar.
Dia menundukkan kepala dalam-dalam. Ada apa dengan orang ini?
“Mmmm...
Matsumoto ssi, terimakasih untuk yang kemarin itu.”
Dia
memecah kekakuan di antara kami. Tapi kenapa “terimakasih” lagi?
“Bukan
masalah,” aku tersenyum.
“Jadi...
Aku harus memanggilmu Matsumoto ssi atau... Ruki...”
Dia
menatapku dengan wajah yang terlihat menahan tawa.
“Ah...,”aku mendesah. Jadi dia sudah tahu.
“Aku
tidak menyangka kau seorang vokalis. Yukyung unnie ribut menyesali kenapa
kemarin aku tidak minta tanda tangan.”
Sekarang
aku yang terbahak mendengarnya. Ketika itulah pintu lift terbuka. Sambil
melangkah keluar, aku memakai kacamata hitamku.
“Jadi
kau mau ke mana sekarang?” Aku menjajari langkahnya.
“Aku
mau ke minimarket dekat sini.”
“Kuharap
kau tidak tersesat lagi.”
Dia
menatapku dengan ekspresi yang lebih terlihat lucu dibanding kesal. Aku melihat
jarum jam di arlojiku.
“Kurasa
aku masih punya sedikit waktu,”kataku,”Belikan aku es krim sekarang.”
“What?”
Dia memandangku seakan-akan dia merasa salah dengar.
“Aku
ingin makan es krim. Daripada besok kau mengucapkan terimakasih lagi, lebih
baik upahi aku dengan es krim sekarang.” Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba
terlintas di otakku untuk meminta es krim padanya.
Su
Jin terlihat terlalu serius berpikir sebelum menjawab,”Baiklah, dengan begitu
kita impas.”
Sebuah
es krim rasa coklat kugenggam di tangan kananku. Gadis Korea itu keasyikan
menikmati es krim strowberrynya sendiri. Aku menahan senyum melihatnya makan
seperti anak kecil. Orang-orang yang keluar masuk minimarket mungkin merasa
heran melihat kami duduk di bangku di depan minimarket itu sambil makan es
krim-terlihat seperti dua anak kecil menunggu ibu mereka berbelanja.
Aku
merasa ada yang aneh ketika kami berjalan bersama ke apato. Aku harus mengambil
mobilku dulu sebelum pergi. Sesekali aku menoleh ke belakang, sampai akhirnya
aku meraih lengan Su Jin dan mengajaknya berjalan lebih cepat.
“Ada
apa Ruki ssi?” Dia bertanya bingung.
“Diamlah,
jangan menoleh ke belakang.”
Ketika
ada sebuah belokan kecil, aku mendorongnya melewati jalan sempit di antara dua
bangunan itu dan menarik tangannya untuk berlari bersamaku. Kami berlari-lari
sambil mencari jalan lain. Dia masih saja ribut bertanya apa yang terjadi
sampai akhirnya aku berhenti berlari setelah menemukan tempat aman di sebuah
gang buntu, tepatnya di samping drum-drum bekas yang berjajar. Aku menariknya
agar merunduk bersembunyi di sana.
“Ada
apa sebenarnya???” Dia tampak kesal.
“Tadi
ada wartawan.”
“Apa
kau seterkenal itu sampai dibuntuti paparazzi?” dia masih saja kesal.
“Mana
aku tahu! Mungkin saja dia juga kebetulan membeli es krim di sana.”
Tiba-tiba
Su Jin tertawa. Sekarang aku yang keheranan.
Setelah
melihat-lihat keadaan beberapa saat, kami berhasil sampai di tempat parkir
apato dengan mengendap-endap. Aku mendorong Su Jin masuk ke dalam mobil.
“Hei!
Hei! Apa yang kau lakukan?” Dia berteriak-teriak ketika aku mulai menjalankan
mobil.
“Aku
tidak mau wartawan itu sampai membuntutimu ke apato.”
Dia
terus memprotes memintaku menurunkannya di jalan. Tapi aku mengacuhkannya
hingga dia mungkin lelah dan akhirnya terdiam lalu memandangi jalanan di luar.
***
TBC
Comments
Post a Comment