Menertawakan Diri Sendiri




            Hujan di Semarangku.
Sendiri dekat jendela, meresapi belaian angin yang menjadi dingin. Kersenku masih tegak di sana, basah kuyup dan kedinginan.
Kelihatannya akhir-akhir ini aku jarang merenung, sehingga ada banyak yang terlewatkan. Aku juga mulai kesulitan menulis lagi, dan jadi kesal pada keadaan. Kenapa mudah sekali untuk menjadi galau akibat hal-hal yang tidak jelas.
Melihat keluar, ada banyak tetes-tetes air yang menggantung di dahan pohon kersen, menunggu waktu untuk jatuh. Hujan makin deras. Rasanya makin sepi. Hanya suara Bang Iwan menemani, menembangkan salah satu lagu favoritku, “Nyanyianmu”. Apakah di sana hujan? Aku tidak tahu dan kau tidak memberitahuku.
Ada genangan air di pelataran. Hujan yang jatuh membuat percikan-percikan di genangan itu. Aku rindu. Barangkali ingin pulang, mendengar suara katak saat hujan seperti ini. Atau barangkali aku rindu kau sapa.
Sebenarnya, apakah wajar jika merindukanmu? Bahkan kau sendiri pun mungkin tidak pernah tahu. Aku hanya orang asing. Begitulah. Tapi bagiku selalu menyenangkan berbicara denganmu, hingga sekarang aku sadar, barangkali itu hanya untuk sebentar saja.
Ini waktu yang tepat untuk menertawakan diri sendiri. Kau juga boleh mnertawakanku kalau kau mau. Aku memang konyol. Barangkali aku terlalu berharap hidup akan selalu seindah puisi dan novel-novel.
Huuuuft.
Saatnya kembali ke dunia nyata. Dunia tempat aku duduk sekarang, mendengarkan Axl Rose menyanyikan November Rain, di dekat jendela kamar sempit dengan hujan dan petir di luar sana, tanpamu. Ya, tanpamu.

Beringin 17, 28 november 2011: 14.30’

Comments

Popular Posts