Tujuh Hari Kesembilan: Akhir Bulan, Awal Baru
Entah ada apa dengan saya minggu ini. Banyak kesalahan yang
salah lakukan di tempat kerja, mulai dari kesalahan-kesalahan kecil hingga yang
besar –semuanya melibatkan kecerobohan. Saya tidak tahu apakah otak saya
menumpul pelan-pelan atau memang saya kurang berkonsentrasi hingga menghitung
enam puluh dibagi tiga puluh pun hasilnya menjadi tiga. Benar-benar payah.
Barangkali tanpa sadar saya sedang kepikiran sesuatu hingga rasanya seperti
melayang-layang.
Hujan masih sering turun di sore hari. Jika mendung mulai
datang saat masih di sekolah, saya hanya memikirkan soal jemuran di kos –semoga
ada penghuni lain yang sudi menyelamatkan.
Teman SMA saya, Umi, datang menginap pada Selasa malam. Dulu
dia kuliah di Pendidikan Sosiologi UNY, jadi jelas dia lebih paham soal seluk
beluk Jogja dibanding saya. Kami mengobrol banyak hal sampai malam. Paginya dia
mengikuti tes di UNY untuk menjadi staf pengajar di sebuah SMA di Bontang. Tes
itu selesai sore hari sehingga dia menemani saya kembali malam itu. Siang hari
esoknya, dia berniat pulang tapi hujan turun begitu deras. Saya sendiri sempat
kehujanan dari sekolah dan saya berkata padanya untuk pulang besoknya saja. Dia
setuju dan saya senang karena ada teman ngobrol lagi malam itu.
Hujan reda setelah maghrib dan kami keluar untuk makan di
lesehan lembah UGM. Saya sudah pernah lewat di sana, tapi belum pernah mampir
untuk makan. Kami pulang sekitar pukul delapan lebih. Saat kami mengobrol di
kamar saya dan jam sudah menunjukkan pukul sepuluh, barulah kepikiran oleh kami
kenapa tadi kami tidak mampir dulu di suatu tempat untuk ngopi. Umi tahu banyak
tempat nongkrong di sini. Betapa bodohnya saya tidak kepikiran hal itu.
Jumat pagi libur hari buruh. Umi pulang pukul enam dan saya
berkata padanya bahwa malam berikutnya saya hanya bisa bercakap-cakap dengan
dinding. Saya membereskan cucian sebelum pergi ke alun-alun kidul bersama Dewi
(kami janjian di dekat tugu Jogja). Alun-alun cukup ramai pagi itu. Saya sempat
heran karena ternyata luasnya tidak sampai sebesar lapangan Simpang Lima. Saya
dan Dewi sarapan soto lentho di sana dan langsung melanjutkan perjalanan ke
Taman Sari. Sebenarnya saya dan Dewi sama-sama sudah pernah ke Taman Sari (saya
datang bersama teman-teman dari organisasi Pramuka saat kuliah dulu), tapi
karena lokasinya dekat dengan alun-alun kidul jadi sekalian saja kami mampir ke
sana.
Kami duduk-duduk agak lama di dekat jendela dalam bangunan
dekat pintu keluar (yang ada tangga putar dan sumber airnya itu, saya tidak
tahu nama bangunannya) dan ada kejadian lucu. Di luar jendela itu ada sebuah
rumah dan jalan buntu. Tiba-tiba ada sepasang bule yang lewat di sana dan kami
reflek berkata “wrong way wrong way”. Ternyata
si bule cowok mendengar kami dan dia malah berhenti untuk bertanya pada kami
dari balik jendela. Saya dan Dewi saling berpandangan dengan bingung, saat itu
juga menyadari bahwa bahasa Inggris kami jelek sekali (kalau ada Niza pasti dia
bisa cas-cis-cus menjelaskan). Alhasil bule itu malah menggunakan bahasa
isyarat yang kira-kira artinya ‘apakah kami harus jalan memutar?’ sementara
saya dan Dewi mengatakan beberapa kata random yang kami sendiri tidak paham
(saya ingin fokus bertanya apakah dia ingin masuk atau ingin mencari jalan
keluar, sementara Dewi fokus ingin mengatakan bahwa mereka harus berjalan ke
bawah, hingga akhirnya kami juga menggunakan bahasa isyarat –menunjukkan tangan
ke arah bawah). Begitu dua bule itu berlalu, kami ngakak sejadi-jadinya.
Bosan duduk di sana, kami berjalan keluar dan duduk di
sebuah bangku depan toko, dekat jalan keluar. Kami duduk cukup lama, menikmati
angin dan mengomentari orang-orang yang lewat. Setelah kami perhatikan,
ternyata banyak pengunjung yang masuk lewat pintu keluar, entah karena mereka
tidak paham atau memang sengaja agar tidak membayar tiket masuk (beberapa
sepertinya benar-benar tidak paham karena ada pengunjung yang akhirnya keluar
lagi dan berkata ‘kok cuma lorong-lorong, mana tempat pemandiannya?’). Sangat
disayangkan karena tidak ada petugas jaga di pintu keluar, atau setidaknya
papan petunjuk arah pintu masuk atau papan larangan masuk lewat jalur itu.
Tentu saja ada kerugian yang cukup karena saya melihat ada banyak sekali
pengunjung yang justru masuk lewat pintu keluar. Tahu begitu saya juga ikut
masuk lewat sana saja. Tapi saya dan
Dewi adalah pengunjung yang taat aturan sehingga kami masuk lewat jalan
kebenaran. Tiketnya terjangkau kok, hanya lima ribu rupiah.
Pukul dua kami mulai kelaparan dan sesi mengomentari
penampilan para pengunjung Taman Sari pun harus disudahi. Kami memutuskan untuk
makan di sebuah cafe di Kotabaru (sumpah sok gaya banget padahal uang saya pas-pasan). Dewi sudah pernah makan di
sana dan tempatnya memang lumayan nyaman. Kami memilih tempat duduk di sofa
panjang di bagian dalam (ada kursi indoor
dan outdoor). Saya kembali sok
gaya dengan memesan kopi yang namanya saja baru saya lihat (tanpa tanya-tanya
sama waiter-nya pula). Ternyata kopi
itu hanya segelas super kecil, macam gelas sake, dan rasanya, beuh, apakah itu kopi atau cobaan kehidupan?
Pahitnya minta ampun. Alhasil saya hanya ketawa-ketawa sambil merecoki vanilla milkshake milik Dewi.
Tempat itu sepertinya asyik untuk nongkrong walaupun
sendirian. Saya berpikir untuk datang lagi kapan-kapan, bawa netbook untuk memanfaatkan wifi, pesan
secangkir kopi dan duduk sendirian di sana main internet sampai berjam-jam.
Kami pulang menjelang pukul setengah lima dan saya kembali
bertemu dengan kesunyian.
Hari Sabtu begitu kekabu. Langit gelap sejak pagi dan kami
batal melaksanakan upacara peringatan hari pendidikan nasional karena hujan
keburu turun. Beruntung hujan reda di siang hari meskipun langit juga tidak
cerah sama sekali. Saya pergi ke perpustakaan kota pukul setengah empat,
berniat balas dendam main internet karena wifi sekolah trouble sejak tiga hari yang lalu. Saya duduk di shelter dekat tempat parkir, terjebak di
tengah-tengah dua pasang mahasiswa. Sebelah kanan: sedang pacaran dengan
buku-buku kuliah di atas meja dan laptop yang memutar salah satu reality show Korea favorit saya. Sebelah
kiri: sepertinya mahasiswa jurusan sastra, mungkin pacaran juga, tapi mereka
lebih fokus pada diskusi tentang novel dan komentar si cowok tentang tulisan
yang dia baca di layar laptop (mungkin tulisan karya si cewek, judulnya –saya
sempat curi lihat, Melisa). Mendadak pak satpam datang dan menegur pasangan
yang duduk di sebelah kanan karena mereka dianggap terlalu mesra di depan umum.
Saya ngakak dalam hati.
Jalanan di luar ramai. Maklum malam Minggu. Berada di
keramaian itu adalah upaya saya agar tidak kembali dijajah kesunyian di dalam
kos. Sayangnya saya harus sebal karena koneksi internet saya putus-putus
(padahal cowok SMA sebelah saya, yang datang nyempil menjelang maghrib,
lancar-lancar saja tuh sinyalnya). Usai maghrib saya menyerah dengan sinyal dan
memilih untuk masuk ke dalam, mencari-cari buku untuk dipinjam. Saya mengambil
sebuah buku Ayu Utami dan bertahan di sana sampai pukul setengah delapan lebih.
Kembali. Rasanya hampa ketika bergabung dengan keramaian di
jalan raya.
Saya berputar-putar di daerah sekitar kos, mencari makan.
Sejak siang tadi saya baru sadar banyak warung yang tutup, mungkin pemiliknya
pulang kampung atau ingin ikut liburan mumpung long weekend. Setelah berputar satu kali, saya memutuskan makan si
sebuah warung baru dekat pintu gerbang masuk. Saya makan di sana, sudah
terbiasa dengan ide makan sendirian di warung sekalipun saya seorang perempuan.
Saya tidak harus peduli. Saya menunggu cukup lama untuk sepiring nasi goreng,
tapi saya tidak keberatan karena justru saya bisa lebih lama berada di sana, di
antara manusia.
Keadaan saya saat bangun tidur di Minggu pagi yang ternyata
masih mendung juga kira-kira seperti ini: kelaparan (padahal malamnya sudah
makan), teringat mimpi yang cukup buruk, duit pas-pasan (bahkan bisa dibilang
sudah tidak punya uang karena ada hutang yang belum terbayar), punya jemuran
yang belum kering, setumpuk cucian yang malah belum dijemur, cucian yang ada di
laundry, tidak punya pulsa, kesepian
(hampir setiap kali mata saya masih melek saya harus menyalakan netbook untuk memutar musik), dan agak
takut.
Sebenarnya saya hampir
tidak pernah merasa takut sejak datang ke tempat ini. Takut yang saya
maksud adalah takut pada sejenis hal-hal yang tidak terlihat. Tempat ini memang
kelihatannya agak tua. Lampu-lampu di lorong semuanya adalah lampu kecil bernyala
redup kekuningan. Ada total enam kamar di lorong ini dan hanya tiga yang
berpenghuni (dan dalam keseharian hanya sayalah yang paling banyak menghuni).
Kehidupan saya seperti terpisah dari penghuni di lantai atas, jadi bisa
dikatakan bahwa saya memang lebih sering tinggal sendirian.
Awal mula rasa takut ini adalah begini.
Sewaktu Umi datang malam itu, ada seorang penghuni kos yang
sedang duduk bersama pacarnya di ruang tamu. Otomatis kami berjalan melewati
mereka. Beberapa waktu setelah saya dan Umi ngobrol ke sana kemari, dia
bertanya siapa anak kecil yang ada di ruang tamu tadi. Saya bilang itu anak kos
ini (karena teman kos yang sedang duduk itu memang badannya lebih kecil
dibanding saya). Umi bilang ‘masa, bukan itu, anak kecil’ dan saya bingung. Anak
kecil yang mana memangnya? Di kos saya tidak pernah ada anak kecil berkeliaran,
tapi Umi bilang dia melihat ada tiga orang di ruang tamu: teman kos saya,
pacarnya dan seorang bocah perempuan yang juga duduk di kursi, dekat dengan
pacar teman saya itu. Umi bilang mungkin umurnya sekitar dua tahun dan dia
pikir bocah itu anak bapak kos saya. Saya mulai merinding dan saya bertanya
‘anak itu sedang melihat ke mana’. Umi bilang ‘anak itu melihat ke arah saya’.
Saya beneran merinding jadinya. Umi sangat yakin dengan keberadaan anak itu dan
bahkan dia berniat untuk bertanya pada pacar teman kos saya ketika malam
berikutnya mereka duduk lagi di ruang tamu (tentu saja mereka juga tidak akan
melihat ada anak semacam itu). Sekarang, berada di kos sendirian dengan sudut-sudut
gelap dekat dapur dan kesunyian di segala tempat, saya jadi sering merinding
dan mempercepat langkah.
Cukup dengan cerita seram.
Ternyata langit berubah cerah dan saya optimis cucian saya akan
kering sempurna hari itu. Saya keluar kos sekitar pukul sembilan, sarapan di
warung dan kemudian kembali berkeliling di jalanan kota tanpa tujuan pasti (ada
sih beberapa tujuan yang agak jelas, seperti mencari sekolah tempat saya akan
menjadi pengawas US). Untuk pertama kalinya saya melewati jalan layang Janti
(masih gagal paham di mana arah ring road kalau dari sana), kemudian
berputar-putar di daerah Babarsari (menemukan Universitas Atmadjaya dan sekolah
yang saya cari), kembali ke Janti dan mencoba arah ke SMA Angkasa, balik arah
dan belok kanan di UIN Kalijaga. Dari sana saya lurus terus, entah lewat jalan
apa hingga akhirnya saya sampai di dekat jalan Mataram.
Pemberhentian favorit saya tentu saja tidak lain dan tidak
bukan adalah perpustakaan kota.
image from http://perpustakaan.jogjakota.go.id/files/317114-c1ff59ec20bc70b3d2e8c3f0388bddd6jpg.jpg |
Kali ini saya duduk di gazebo, masih dibuat
kesal oleh sinyal yang putus-putus. Tapi tempat semacam perpustakaan itu selalu
memberikan hiburan tersendiri buat saya: mengamati orang-orang (kebanyakan
mahasiswa), melihat-lihat buku, memperhatikan jalanan, melihat-lihat mas-mas
penjaga perpus. Saya sudah menyelesaikan novel Ayu Utami dan setelah bosan
dengan sinyal yang putus-nyambung macam orang pacaran, saya melanjutkan membaca
novel teenlit yang entah kenapa akan
selalu membuat saya merasa lebih muda.
Saya pulang pukul dua siang karena langit agak memburam dan
saya mesti kembali ke kos demi misi penting: menyelamatkan jemuran.
April telah berakhir. Selamat datang, Mei. Semoga semuanya
secerah langit pagi di minggu pertama ini.
YK, 3 Mei 2015
Comments
Post a Comment