Tujuh Hari Kedelapan: Laki-Laki Paling Baik di Dunia

Ayah saya tidak sempurna, tapi dia adalah laki-laki paling baik di dunia.

Dia menyerahkan seluruh hidupnya untuk keluarga: bekerja, melindungi, mencintai. Dia tidak pernah mengeluh sekalipun saya selalu merepotkannya hingga tetek bengek kecil semacam tugas prakarya (sejak SD sampai SMA, ayah-lah yang paling repot jika saya ada tugas kesenian). Ayah saya adalah laki-laki polos berhati tulus yang tidak pernah mendendam pada siapapun. Dia adalah guru terbesar saya tentang kesederhanaan dan keikhlasan.

Sejak saya kuliah di Semarang, Ayah selalu datang menjemput jika saya pulang lewat maghrib.

Sekarang, satu-satunya motor yang ada di rumah –yang biasanya dipakai ayah untuk menjemput saya, dia serahkan untuk saya bawa ke Jogja. Sabtu malam itu dia datang menjemput saya dengan motor pinjaman. Hal pertama yang selalu ayah tanyakan saat menjemput saya, sejak dulu sampai sekarang, selalu sama: ‘mau beli minum dulu?’ atau ‘mau beli jajan dulu?’ Usia saya hampir dua puluh empat tahun, tapi bagi ayah, saya tetap seorang gadis kecil dan itu membuat saya merasa begitu dicintai.

Ayah bercerita di jalan bahwa sekarang bahunya sering terasa sakit. Saya tahu tubuh ayah tidak lagi sekuat dulu, tapi dia masih harus selalu bekerja berat dan mengingat tentang hal itu selalu membuat dada saya dihantam sesuatu. Saya ingin sekali ayah berhenti bekerja, tapi saya belum bisa melakukan apa-apa untuk membantunya. Selalu, kenyataan bahwa saya tidak ada di dekatnya untuk sekedar memijit bahunya membuat saya ingin menangis. Tapi jika saya ada di sana masih dengan merepotkannya, dalam arti saya tidak punya pekerjaan sendiri, juga akan membuat saya sedih (saya sudah merasakan ini sewaktu beberapa bulan menjadi pengangguran).

Saya terbangun pagi itu dengan suara ayah melantunkan adzan subuh dari speaker masjid. Selalu mengagumkan bagaimana dia tetap rajin pergi ke masjid sekalipun tubuhnya sakit atau lelah. Suaranya masih semerdu dulu, sebening dulu, selalu mengharukan dan membuat saya terbawa kembali ke masa kecil di mana ayah membonceng saya ke rumah kakek dengan naik sepeda.

Pada saat subuh semacam itulah, ibu seringkali datang ke kamar saya –pun pagi itu. Ibu ikut merebahkan diri dan kemudian memeluk saya. Ibu tahu saya ingin dipeluk. Memeluknya seperti itu biasanya membuat saya menangis diam-diam. Di sanalah, dalam pelukannya, segalanya terasa aman di dunia. Tapi saya tidak bisa selamanya menjadi bayi kecil, saya juga akan bertambah tua dan dewasa meskipun sekarang rasanya saya masih seperti kanak-kanak.

Mereka mencemaskan saya, saya tahu, dan sebaliknya saya juga mencemaskan mereka. Ibu selalu berusaha meyakinkan bahwa dia dan ayah baik-baik saja. Baginya, yang terpenting adalah saya dan karena itulah saya tidak diperbolehkan untuk merasa cemas.

Berat sekali meninggalkan rumah siang itu.

Ayah masih duduk di atas sajadah, baru selesai salat dhuhur ketika saya hendak berangkat. Butuh usaha besar agar saya tidak menangis saat itu juga, ketika saya berlutut di sampingnya untuk berpamitan. Saya berkata agar dia pergi ke dokter  meskipun sekarang tidak ada saya yang akan mengantarkannya ke sana. Saya mencium tangannya seperti biasa dan akhirnya melakukan itu, sesuatu yang sudah lama tidak saya lakukan: memeluk dan mencium pipinya.

Saya tidak berani menatap ke wajahnya setelah itu karena saya pasti akan meloloskan air mata. Saya cukup dekat dengan ayah, tapi saya jarang memeluknya. Terakhir kali adalah ketika saya sakit akhir tahun lalu. Ayah sangat mencintai saya, tanpa syarat, yang ia tunjukkan dengan perbuatan ataupun segala kata-kata nasihatnya.

Pukul satu siang, saya berjalan keluar dari pintu usai berpamitan pada ibu. Saya harap mata saya tidak terlihat berkaca-kaca. Ayah ikut keluar ke ruang tamu dan melihat saya berangkat. Saya tidak benar-benar menatap wajah mereka demi menahan tangis.

Siang itu saya pergi dengan berbagai macam pikiran di dalam kepala.

Saya tahu tidak seharusnya saya berandai-andai. Saya mesti banyak bersyukur dan percaya pada apa yang telah ditakdirkan.

Semoga ayah dan ibu sehat selalu.

YK, 26 April 2015
(Hari Selasa ada peringatan Hari Kartini. Saya memakai kebaya lagi, kali ini kebaya sewaan. Saya masih belum bisa berdandan dan anak-anak bahkan lebih tampak berdandan dibanding saya. Sepanjang minggu ini lebih banyak saya lewatkan dengan perasaan menunggu-nunggu kepulangan. Saya menitipkan motor di kos Dewi dan naik bus dari depan pasar Gamping, seperti bernostalgia masa kuliah dulu)




Comments

Popular Posts