Tujuh Hari Keduabelas: Menertawakan Kekecewaan

Keadaan saya pada Sabtu sore menjelang pukul setengah empat adalah sebagai berikut.

Makan chicken bento sendirian di salah satu restoran cepat saji di Galeria Mall usai membeli sepasang sepatu. Apakah berbelanja bisa mengobati hati yang kesal? Tidak juga. Saya merasa makin kesal entah karena apa, rasanya ada yang tidak benar. Sesekali saya meneruskan membaca novel pinjaman dari perpustakaan kota yang saya bawa (kali ini adalah novel klasik Mark Twain, Petualangan Huckleberry Finn, yang bisa dibilang semacam sekuel dari Petualangan Tom Sawyer). Restoran itu memutar siaran salah satu stasiun radio terkenal dan mendadak “Jauh di Mata Dekat di Hati”-nya RAN menggema dan saya berhenti menyendok makanan. Saya memandang orang yang lalu lalang di dalam mall itu dan teringat seseorang. Sungguh, saya tidak bisa lebih kesepian lagi dibanding ini.

Sabtu ini tanggal dua puluh tiga bulan Mei. Malam-malam di Yogya mulai terasa dingin, sudah masuk musim kemarau. Dulu di Semarang rasanya tidak pernah sedingin ini. Bulan sabit Jumat malam kemarin adalah yang paling indah, ketika bulan tampak kemerahan di langit dan saya mengingat kesenangan besar sewaktu dulu saya bisa melihatnya dengan jelas dari jendela kamar saya di Beringin. Sekarang saya tidak akan melihat apapun dari jendela kamar tamu kos karena atap bangunan yang begitu padat. Saya hanya melihatnya sebentar ketika keluar membeli makan malam. Dan ajaib sekali malam itu kamu menyebutkan sesuatu tentang pergi keluar melihat bulan. Barangkali karena kamu tahu saya suka pada bulan sabit. Atau karena kamu memang setuju bahwa bulan malam itu begitu indah, lalu kamu bertanya apakah saya tidak keluar untuk melihat, seakan-akan ingin mengatakan sesuatu yang klise tentang ‘kita berada di bawah langit yang sama dan memandang bulan yang sama pula’. Tapi jarak ini begitu nyata, bukan? Bukan hanya sesuatu yang bisa diretas dengan melihat bulan (meskipun saya tentu saja senang ketika kamu menyebutkan sesuatu tentang langit malam itu).

Minggu ini saya menjadi pengawas Ujian Sekolah di SD Muhammadiyah Komplek Kolombo dari Senin sampai Rabu (jaraknya tidak sampai lima menit dari kos saya) dan di SDN Babarsari pada hari Kamis. Saya selalu kembali ke sekolah setiap harinya dan pulang seperti biasa (karena berjaga jika saja ada telfon dari dinas terkait berkas LJK yang dikirimkan).


Ada sesuatu yang saya pikirkan setiap hari dan akhir-akhir ini sesuatu itu menjadi makin nyata ada dalam otak saya, membikin saya bingung dan merasa rumit.

image from https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYLLZVx69L0LUZ0Ylonl5VAT7YReY5Ph5Efn0KYSo31AY4HRQ0EIKddSfxOQV-qSQVhJQTrZl059Hd7LG1Ajs8c9CydBLDKISZG1qszls2TEL9XTMh4oy_zsTKqrowLeluJFszCp4Lv-Q/s1600/Kata+Kata+Galau+Sedih+Kesepian.jpg
Sabtu pagi tadi saya bisa menulis beberapa baris yang biasa saya sebut puisi. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali saya menulis puisi. Saya kesal jika saya tidak punya sesuatu untuk ditulis. Tapi saya memang bukan penulis betulan, jadi kadang-kadang saya benar-benar tidak bisa menulis bahkan meski hanya sekedar selarik puisi. Saya sudah memperhatikan, dan memang benar bahwa saya lebih bisa menulis saat saya patah hati atau bimbang dibanding ketika saya sedang bahagia karena jatuh cinta. Jika hari ini saya bisa menulis lagi, haruskah saya merasa senang?

Sejak Sabtu pagi perasaan saya memang sudah tidak enak. Bisa dibilang saya punya semacam feeling yang biasanya benar. Karena itulah saya pergi jalan-jalan ke mall, berniat menghibur diri tapi ternyata tidak terlalu berhasil. Saya tengah membuka laptop di kos pada pukul lima sore kurang ketika ponsel saya berdering. Firasat saya menjadi kenyataan, saya jadi ingin menangis (dan memang sempat menangis sebentar). Saya kecewa, tapi saya tidak marah. Kemudian saya menghubungi Dewi, berkata bahwa saya ingin ikut senam massal di Gamping pada Minggu pagi (senam dalam rangka ulang tahun Sleman seperti yang sudah saya ikuti di stadion Maguwoharjo). Saya pikir lebih baik melewatkan waktu bersama orang lain agar pikiran saya teralihkan.

Usai solat maghrib saya langsung berangkat ke kos Dewi. Jalanan dari Sagan, Colombo sampai ke Tugu masih lumayan sepi karena belum waktunya orang-orang keluar untuk malam mingguan. Barulah setelah sampai jalan Godean jalanan terasa padat karena memang ukurannya tidak terlalu besar. Saya sampai di kos Dewi dan kami nonton tv sambil ngobrol ini-itu dan saling curhat seperti biasa.

Malam itu tidak terlalu dingin.

Kami bangun pukul lima kurang, ngobrol-ngobrol, mandi lalu membeli sarapan. Setelah makan kami pergi dulu ke sekolah Dewi (yang jaraknya dekat sekali dari kos) karena guru-guru dari sekolahnya janjian di sana. Lapangan Ambarketawang tempat acara berlangsung tidak terlalu jauh dari sekolah Dewi. Sudah sempat ada pemanasan sebelum akhirnya barisan bubar lagi karena menunggu kehadiran bapak bupati. Setelah kami duduk-duduk, pak bupati datang, kemudian ada acara sambutan-sambutan, barulah senam dimulai. Lumayan berkeringat juga, apalagi karena matahari sudah cukup terik. Saya memang jarang sekali berolahraga.

Setelah senam kami duduk-duduk di tepi sawah, mengobrol sambil mengikuti acara pembagian doorprize (oh ya, daerah Gamping masih memiliki banyak sawah dan pohon). Sempat ada selingan kesenian jathilan juga, yang kelihatannya sudah dimodifikasi karena ada unsur Bali-nya juga (baik dari musik maupun gerakan tarinya, dan semua penarinya perempuan). Kami kembali ke kos sekitar pukul sebelas siang. Saya sempat bermalas-malasan lagi dan menunda kepulangan (padahal punya setumpuk cucian dan setrikaan di kos).

Dewi mandi dan mencuci baju sementara saya menonton televisi sambil tiduran. Saya berencana pulang bersamaan dengan keluarnya Dewi dari kos karena dia juga ada janji. Setelah Dewi mandi dan solat, saya juga solat. Tidak berapa lama kemudian ponsel Dewi berdering. Saya sempat mendengarkan dan begitu dia selesai berbicara di telfon, saya bertanya ada apa. Dewi bilang janjinya batal dan kami tertawa bersama. ‘Kenapa kita sama-sama gagal, ya,’ katanya.

Bisa menertawakan sesuatu yang sebenarnya mengecewakan sungguh menghibur.

Demi menghibur diri itulah kami makan bersama di warung soto Monjali dekat kos Dewi, kemudian melihat-lihat baju di sebuah toko di dekat sana juga (melihat-lihat saja bisa menghibur, apalagi kalau bisa membeli).

Saya pulang pada pukul setengah tiga.

Bisa dibilang hari saya cukup bahagia.

YK, 24 Mei 2015

Comments

Popular Posts