Senin ini mendadak saya ditunjuk menjadi pembina upacara. Sekalipun
sudah biasa berbicara di depan anak-anak, saya tetap masih grogi. Syukurlah tidak
ada hal memalukan yang saya lakukan di tengah lapangan.
Rabu pagi ada acara doa bersama wali murid kelas VI karena
minggu berikutnya anak-anak akan mengikuti ujian sekolah. Bagaimanapun juga
saya tidak bisa ikut karena seharian itu saya mengajar kelas I yang luar biasa.
Saya benar-benar tidak bisa duduk sebentar saja di atas kursi. Ada-ada saja
yang mereka perbuat di dalam kelas hingga rasanya saya hampir kehabisan napas
dan tenaga.
Rapat sekolah siang itu berlangsung sampai hampir pukul dua.
Saya sedang solat dhuhur di mushola sekolah ketika hujan turun dengan lebatnya.
Saya membawa jas hujan (yang sebenarnya sudah tidak layak pakai), tapi saya dan
dua orang teman memilih untuk menunggu sampai hujan agak reda (sambil makan
siang dan menonton tv). Menjelang pukul empat hujan benar-benar berhenti. Saya
pulang hanya untuk mandi dan solah ashar sebelum pergi lagi untuk memberikan
les. Saya sengaja berangkat lebih awal karena sudah melihat bahwa jalan Solo
begitu padat. Benar saja. Saya hanya bisa merayap pelan-pelan bersama (mungkin)
ratusan kendaraan lain. Masih untung tidak berhenti sama sekali. Pukul setengah
lima memang jam sibuk, ditambah baru saja hujan lebat, sepertinya banyak orang
yang sebelumnya memilih untuk berteduh mulai melanjutkan perjalanan. Jarak yang
jika di Kebumen bisa ditempuh dalam waktu sepuluh menit saja menjadi setengah
jam sore itu.
Hari Kamis libur peringatan kenaikan Isa Almasih. Saya pergi
ke sebuah swalayan untuk membeli beberapa barang, kemudian mencari pinjaman
kebaya di salon karena Jumat pagi saya mendapat tugas mengikuti upacara peringatan
hari jadi kabupaten Sleman di kantor kecamatan Depok. Maka hari itu pun saya
mencari letak kantor itu, yang ternyata tidak jauh dari perempatan
Condongcatur. Hanya saja saya malas jika harus putar arah lewat ringroad,
hingga akhirnya saya berhenti di pos polisi untuk bertanya jalur alternatif.
Hitung-hitung mengurangi ketegangan saya tiap kali melihat orang berseragam
coklat-coklat itu. Sungguh, pengalaman pernah ditilang membuat saya selalu
deg-degan setiap kali melihat polisi di jalan.
Jumat pagi saya datang terlalu awal di kantor kecamatan,
seperti biasa. Tidak ada satu pun orang yang saya kenal. Saya duduk-duduk dan
mengobrol di serambi masjid bersama beberapa orang guru lain (yang sudah
ibu-ibu hingga saya merasa sangat muda). Upacara pagi itu terasa sangat unik
karena selain semua peserta dan petugas memakai pakaian adat (kebanyakan
memakai lurik karena memang itulah yang disarankan), seluruh rangkaian upacara
dilaksanakan dengan bahasa Jawa. Saya belum pernah melihat apalagi mengikuti
upacara semacam ini, jadi rasanya cukup terkesan.
Seperti yang sudah direncanakan, siang itu Vona datang ke
Yogya, sementara Tya sudah sejak malam sebelumnya menginap di kos Dewi. Saya
menunggu Vona di perpustakaan kota karena rencana sebelumnya dia akan turun di
halte trans Panti Rapih. Ternyata Vona salah jalur hingga dia turun entah di
mana dan diantarkan temannya ke Indomaret Point. Saya menjemputnya di sana
sekitar pukul dua siang.
Biasanya saya selalu nebeng Vona ke mana-mana saat di
Semarang. Hari itu akhirnya saya bisa memboncengkannya. Usai kembali ke kos
saya sebentar untuk berganti baju, kami berangkat ke JCM (Jogja City Mall). Dewi
dan Tya sudah menunggu di sana dan keduanya sedang melakukan sesi pemotretan di
halaman ketika kami sampai (lol). Sebenarnya tidak ada tujuan khusus di JCM,
hanya berjalan-jalan, duduk-duduk sambil ngobrol, solat ashar, lalu kami pun
keluar dan pergi ke SKE (Sindu Kusuma Edupark). Tempat itu memang tidak terlalu
jauh dari JCM, hanya memakan waktu sekitar lima belas menit.
SKE adalah semacam taman bermain yang menyediakan beberapa
macam wahana. Tiket masuknya 15.000 rupiah dan kita bisa deposit minimal 50.000
jika ingin menaiki wahana di dalam. Setelah melakukan deposit, kita akan
mendapatkan sebuah kartu (semacam ATM? Atau kartu yang akan kita dapat sebelum
masuk ke foodcourt Paragon mall) yang akan digunakan sebagai ‘tiket
masuk’ menaiki wahana.
Selangkah demi selangkah sebelum sampai di pintu masuk kami
sudah sibuk selfie di sana sini. Di
dalam pun tidak jauh beda. Di dekat miniatur candi Prambanan, candi Borobudur,
di jalanan dengan latar belakang bianglala, di mana-mana harus selfie dulu. Barulah kami memutuskan
untuk menonton film 7 dimensi. Entah hanya lima menit atau sepuluh menit, tapi
bagi saya cukup melelahkan karena saya terus menjerit. Keluar dari sana, kami
memutuskan untuk solat maghrib lebih dulu sebelum kemudian menaiki bianglala.
Bianglala di sana cukup besar dan berjalan begitu pelan. Jika ada penumpang
naik, petugas hanya akan membukakan dan menutup pintu. Benda itu tidak berhenti
berputar, jadi kitalah yang mesti melompat. Saya tidak ingat kapan terakhir
kali saya naik bianglala. Benda itu membawa sebuah nostalgia tentang novel
Laskar Pelangi dan juga kenangan tentang naik bianglala bersama ayah di pantai
Petanahan saat libur lebaran waktu saya kecil dulu. Bagaimanapun juga dada saya
berdesir karena berada di ketinggian cukup mengerikan.
|
image from https://scontent.cdninstagram.com/hphotos-xpf1/t51.2885-15/s306x306/e15/891527_550205838455247_160351673_n.jpg
Usai turun dari bianglala kami keluar dan makan malam di
sekitar jalan Magelang. Kemudian kami memutuskan untuk nongkrong di Tugu Jogja.
Saya setuju karena kapan lagi saya bisa ke sana (selain hanya lewat) jika tidak
saat itu bersama teman-teman saya. Sebenarnya kami tidak paham apa esensinya
nongkrong di sana, karena perempatan Tugu itu begitu ramai (apalagi saat itu long weekend) dan bisa dibilang
sebenarnya tidak ada ruang kosong yang luas di sekitar Tugu. Masih mending Tugu
Muda Semarang yang memang berada di tengah-tengah persimpangan jalan besar,
tapi berbentuk sebuah taman.
Alhasil kami pun bergabung dengan ‘anak-anak muda’ lain yang
ada di sana, berfoto-foto sebentar kemudian hanya duduk sambil ngobrol di
tengah padatnya jalan (harus setengah berteriak karena keadaan sangat bising).
Kendaraan benar-benar berjubel hingga jalan arah Malioboro ditutup dan banyak
mobil yang tidak tahu akhirnya kebingungan, berusaha berputar arah dan makin
semrawutlah jalanan malam itu.
Macam-macam rombongan yang datang ke Tugu malam itu: ada
rombongan keluarga, kelompok anak-anak muda yang sibuk selfie tanpa mempedulikan kendaraan yang lalu lalang (halah),
sekumpulan bocah membawa kamera DSLR yang kelihatannya semacam klub fotografi
(karena mereka membawa tripod dan sibuk memotret jalanan), rombongan mahasiswa
anggota BEM Unpad yang sedang liburan (identitas diketahui dari jaketnya),
hingga akhirnya datanglah beberapa ibu-ibu (atau kemudian mereka menyebut diri
sebagai ‘mama eksis’) yang cukup heboh dan meminta bantuan kami untuk mengambil
foto. Saya tidak bisa menahan diri untuk senyum-senyum sendiri membayangkan
bahwa sepuluh tahun yang akan datang, barangkali saya dan teman-teman saya juga
akan seheboh ibu-ibu itu jika sedang berkumpul. Kedatangan sesosok ‘pocong’
(yang menyewakan jasa foto bersama) membuat saya sempat memekik karena terkejut
dan akhirnya kami pun pergi dari sana karena cukup ngeri sekalipun tahu bahwa
makhluk itu juga manusia biasa yang memakai kostum.
|
|
image from https://c3.staticflickr.com/3/2842/8909348621_a44acd1b94_b.jpg
Malam itu berakhir dengan Vona menginap di kos saya. Saya
benar-benar mengantuk hingga sempat
ketiduran beberapa kali saat mengobrol dengan Vona.
Sabtu pagi saya terbangun dengan tubuh pegal-pegal dan dada
agak sesak. Entahlah, barangkali jarang berolahraga membuat saya cepat lelah.
Usai bermalas-malasan, mencuci baju dan akhirnya mandi, saya dan Vona keluar
untuk makan di warung langganan saya. Kami mengunjungi sebuah kos yang bahkan
belum dibuka (karena baru dibangun) dalam rangka mencari kos untuk Vona.
Sudahkah saya bercerita? Sama seperti Lina, Vona juga mengambil S2 di UNY. Kami
sempat pergi juga ke rumah pemilik kos itu (yang ternyata pemilik toko buah di
jalan Colombo), sebelum kembali lagi dan melihat-lihat seisi kos. Kami
berencana pergi ke Galeria, tapi kami terlalu lelah di hari yang panas itu,
hingga akhirnya memutuskan kembali ke kos saya untuk solat dhuhur dan menunggu
Tya serta Dewi datang.
Mereka berdua datang sekitar pukul satu dan kami berangkat
ke Kraton. Tempat itu cukup ramai, maklum hari libur. Sebenarnya saya sudah
pernah juga ke sana waktu liburan bersama anak-anak Pramuka di kampus dulu,
tapi tidak masalah mengunjunginya lagi. Kami berkeliling, foto-foto, keluar
pukul empat kurang, solat di masjid dan terus menuju Ambarukmo Plaza. Sudah dua
bulan lebih saya lewat di depannya tapi baru sore itulah saya masuk ke sana.
Kami tidak punya tujuan khusus, hanya berjalan-jalan, duduk-duduk, lalu keluar
mencari makan. Pikir kami cari makan yang murah saja di warung-warung tenda
seberang mall, tapi ternyata kami salah pilih tempat. Justru harganya lebih
mahal dibanding jika kami makan bento di restoran cepat saji di dalam mall.
Sebuah pelajaran.
Tya dan Dewi menginap malam itu di kos saya karena paginya
kami berencana untuk jalan-jalan di SunMor. Tips agar bisa hemat saat
jalan-jalan di sana adalah: sarapan lebih dulu sebelum berangkat. Kami makan di
warung biasa dan hasilnya saya benar-benar tidak jajan apapun di SunMor (karena
dasarnya lagi bokek sih). Sempat ada insiden saat mencari parkir di sekitar
Fakultas Perikanan UGM. Saya menghentikan motor dan tiba-tiba motor Dewi
menabrak motor saya dari belakang. Ternyata motor Dewi juga tertabrak mobil
dari belakang. Kami berempat deg-degan parah, gara-garanya tentu saja karena
takut si pemilik mobil akan menuntut ganti rugi (saya sempat melihat bagian
depan mobil itu lecet). Tapi ternyata mobil abu-abu itu jalan terus dan
pengemudinya tidak turun, barangkali karena kami memang sama-sama salah. Dengan
sisa-sisa deg-degan itulah kami berjalan-jalan sampai kaki saya mulai kelelahan
lagi. Dan sebenarnya ada hal lain yang membuat saya agak kesal sejak malam
sebelumnya, tapi mood saya tidak akan
bisa memburuk dengan hadirnya teman-teman saya.
Usai solat dhuhur di kos saya, saya dan Dewi mengantarkan
Vona dan Tya ke Jombor. Jalanan cukup terik dan tentu saja padat.
Seperti sebelum-sebelumnya, setelah teman-teman saya pulang,
saya kembali pada kesunyian dan itu membuat saya menangis lagi. Saya berharap
Lina segera masuk kuliah dan kami bisa kembali satu kos. Seperti yang sudah
saya ceritakan, untuk sementara Lina akan ngekos di daerah Samirono Baru, tapi
kos incaran Lina sebenarnya (dan dari ceritanya saya ikut setuju sana untuk
menjadikan kos itu sebagai incaran) ada di Gang Guru, dekat dengan gedung
pascasarjana UNY. Kemarin Lina sempat mengabarkan bahwa bulan depan kemungkinan
ada kamar yang kosong dan dia meminta saya untuk pindah ke sana lebih dulu.
Tidak masalah tanpa Lina satu dua bulan di sana. Saya berharap saya bisa
berinteraksi dengan lebih baik jika ada orang-orang lain yang bisa saya temui.
Saya akui saya sudah mulai terbiasa dengan kesendirian di kos dengan segala
kelebihannya: bebas memutar musik keras-keras, bebas menyanyi di kamar
keras-keras, bebas menggunakan kamar mandi tanpa harus mengantri, bebas pergi
keluar tanpa mengajak siapapun, bebas pulang kapan saja, bebas melakukan apapun
sesuka hati saya. Tapi saya juga sadar saya mulai malas mengajak bicara orang
lain (terutama di dalam kos) dan ini bukan hal yang baik.
Lama-lama saya benar-benar bisa menjadi tidak acuh dan saya
tidak mau itu terjadi.
YK, 17 Mei 2015
|
Comments
Post a Comment