Tujuh Hari Kesebelas: Long Weekend Again

Senin ini mendadak saya ditunjuk menjadi pembina upacara. Sekalipun sudah biasa berbicara di depan anak-anak, saya tetap masih grogi. Syukurlah tidak ada hal memalukan yang saya lakukan di tengah lapangan.

Rabu pagi ada acara doa bersama wali murid kelas VI karena minggu berikutnya anak-anak akan mengikuti ujian sekolah. Bagaimanapun juga saya tidak bisa ikut karena seharian itu saya mengajar kelas I yang luar biasa. Saya benar-benar tidak bisa duduk sebentar saja di atas kursi. Ada-ada saja yang mereka perbuat di dalam kelas hingga rasanya saya hampir kehabisan napas dan tenaga.

Rapat sekolah siang itu berlangsung sampai hampir pukul dua. Saya sedang solat dhuhur di mushola sekolah ketika hujan turun dengan lebatnya. Saya membawa jas hujan (yang sebenarnya sudah tidak layak pakai), tapi saya dan dua orang teman memilih untuk menunggu sampai hujan agak reda (sambil makan siang dan menonton tv). Menjelang pukul empat hujan benar-benar berhenti. Saya pulang hanya untuk mandi dan solah ashar sebelum pergi lagi untuk memberikan les. Saya sengaja berangkat lebih awal karena sudah melihat bahwa jalan Solo begitu padat. Benar saja. Saya hanya bisa merayap pelan-pelan bersama (mungkin) ratusan kendaraan lain. Masih untung tidak berhenti sama sekali. Pukul setengah lima memang jam sibuk, ditambah baru saja hujan lebat, sepertinya banyak orang yang sebelumnya memilih untuk berteduh mulai melanjutkan perjalanan. Jarak yang jika di Kebumen bisa ditempuh dalam waktu sepuluh menit saja menjadi setengah jam sore itu.

Hari Kamis libur peringatan kenaikan Isa Almasih. Saya pergi ke sebuah swalayan untuk membeli beberapa barang, kemudian mencari pinjaman kebaya di salon karena Jumat pagi saya mendapat tugas mengikuti upacara peringatan hari jadi kabupaten Sleman di kantor kecamatan Depok. Maka hari itu pun saya mencari letak kantor itu, yang ternyata tidak jauh dari perempatan Condongcatur. Hanya saja saya malas jika harus putar arah lewat ringroad, hingga akhirnya saya berhenti di pos polisi untuk bertanya jalur alternatif. Hitung-hitung mengurangi ketegangan saya tiap kali melihat orang berseragam coklat-coklat itu. Sungguh, pengalaman pernah ditilang membuat saya selalu deg-degan setiap kali melihat polisi di jalan.

Jumat pagi saya datang terlalu awal di kantor kecamatan, seperti biasa. Tidak ada satu pun orang yang saya kenal. Saya duduk-duduk dan mengobrol di serambi masjid bersama beberapa orang guru lain (yang sudah ibu-ibu hingga saya merasa sangat muda). Upacara pagi itu terasa sangat unik karena selain semua peserta dan petugas memakai pakaian adat (kebanyakan memakai lurik karena memang itulah yang disarankan), seluruh rangkaian upacara dilaksanakan dengan bahasa Jawa. Saya belum pernah melihat apalagi mengikuti upacara semacam ini, jadi rasanya cukup terkesan.

Seperti yang sudah direncanakan, siang itu Vona datang ke Yogya, sementara Tya sudah sejak malam sebelumnya menginap di kos Dewi. Saya menunggu Vona di perpustakaan kota karena rencana sebelumnya dia akan turun di halte trans Panti Rapih. Ternyata Vona salah jalur hingga dia turun entah di mana dan diantarkan temannya ke Indomaret Point. Saya menjemputnya di sana sekitar pukul dua siang.

Biasanya saya selalu nebeng Vona ke mana-mana saat di Semarang. Hari itu akhirnya saya bisa memboncengkannya. Usai kembali ke kos saya sebentar untuk berganti baju, kami berangkat ke JCM (Jogja City Mall). Dewi dan Tya sudah menunggu di sana dan keduanya sedang melakukan sesi pemotretan di halaman ketika kami sampai (lol). Sebenarnya tidak ada tujuan khusus di JCM, hanya berjalan-jalan, duduk-duduk sambil ngobrol, solat ashar, lalu kami pun keluar dan pergi ke SKE (Sindu Kusuma Edupark). Tempat itu memang tidak terlalu jauh dari JCM, hanya memakan waktu sekitar lima belas menit.

SKE adalah semacam taman bermain yang menyediakan beberapa macam wahana. Tiket masuknya 15.000 rupiah dan kita bisa deposit minimal 50.000 jika ingin menaiki wahana di dalam. Setelah melakukan deposit, kita akan mendapatkan sebuah kartu (semacam ATM? Atau kartu yang akan kita dapat sebelum masuk ke foodcourt Paragon mall) yang akan digunakan sebagai ‘tiket masuk’ menaiki wahana.


Selangkah demi selangkah sebelum sampai di pintu masuk kami sudah sibuk selfie di sana sini. Di dalam pun tidak jauh beda. Di dekat miniatur candi Prambanan, candi Borobudur, di jalanan dengan latar belakang bianglala, di mana-mana harus selfie dulu. Barulah kami memutuskan untuk menonton film 7 dimensi. Entah hanya lima menit atau sepuluh menit, tapi bagi saya cukup melelahkan karena saya terus menjerit. Keluar dari sana, kami memutuskan untuk solat maghrib lebih dulu sebelum kemudian menaiki bianglala. Bianglala di sana cukup besar dan berjalan begitu pelan. Jika ada penumpang naik, petugas hanya akan membukakan dan menutup pintu. Benda itu tidak berhenti berputar, jadi kitalah yang mesti melompat. Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya naik bianglala. Benda itu membawa sebuah nostalgia tentang novel Laskar Pelangi dan juga kenangan tentang naik bianglala bersama ayah di pantai Petanahan saat libur lebaran waktu saya kecil dulu. Bagaimanapun juga dada saya berdesir karena berada di ketinggian cukup mengerikan.

image from https://scontent.cdninstagram.com/hphotos-xpf1/t51.2885-15/s306x306/e15/891527_550205838455247_160351673_n.jpg



Usai turun dari bianglala kami keluar dan makan malam di sekitar jalan Magelang. Kemudian kami memutuskan untuk nongkrong di Tugu Jogja. Saya setuju karena kapan lagi saya bisa ke sana (selain hanya lewat) jika tidak saat itu bersama teman-teman saya. Sebenarnya kami tidak paham apa esensinya nongkrong di sana, karena perempatan Tugu itu begitu ramai (apalagi saat itu long weekend) dan bisa dibilang sebenarnya tidak ada ruang kosong yang luas di sekitar Tugu. Masih mending Tugu Muda Semarang yang memang berada di tengah-tengah persimpangan jalan besar, tapi berbentuk sebuah taman.

Alhasil kami pun bergabung dengan ‘anak-anak muda’ lain yang ada di sana, berfoto-foto sebentar kemudian hanya duduk sambil ngobrol di tengah padatnya jalan (harus setengah berteriak karena keadaan sangat bising). Kendaraan benar-benar berjubel hingga jalan arah Malioboro ditutup dan banyak mobil yang tidak tahu akhirnya kebingungan, berusaha berputar arah dan makin semrawutlah jalanan malam itu.

Macam-macam rombongan yang datang ke Tugu malam itu: ada rombongan keluarga, kelompok anak-anak muda yang sibuk selfie tanpa mempedulikan kendaraan yang lalu lalang (halah), sekumpulan bocah membawa kamera DSLR yang kelihatannya semacam klub fotografi (karena mereka membawa tripod dan sibuk memotret jalanan), rombongan mahasiswa anggota BEM Unpad yang sedang liburan (identitas diketahui dari jaketnya), hingga akhirnya datanglah beberapa ibu-ibu (atau kemudian mereka menyebut diri sebagai ‘mama eksis’) yang cukup heboh dan meminta bantuan kami untuk mengambil foto. Saya tidak bisa menahan diri untuk senyum-senyum sendiri membayangkan bahwa sepuluh tahun yang akan datang, barangkali saya dan teman-teman saya juga akan seheboh ibu-ibu itu jika sedang berkumpul. Kedatangan sesosok ‘pocong’ (yang menyewakan jasa foto bersama) membuat saya sempat memekik karena terkejut dan akhirnya kami pun pergi dari sana karena cukup ngeri sekalipun tahu bahwa makhluk itu juga manusia biasa yang memakai kostum.


image from https://c3.staticflickr.com/3/2842/8909348621_a44acd1b94_b.jpg




Malam itu berakhir dengan Vona menginap di kos saya. Saya benar-benar  mengantuk hingga sempat ketiduran beberapa kali saat mengobrol dengan Vona.

Sabtu pagi saya terbangun dengan tubuh pegal-pegal dan dada agak sesak. Entahlah, barangkali jarang berolahraga membuat saya cepat lelah. Usai bermalas-malasan, mencuci baju dan akhirnya mandi, saya dan Vona keluar untuk makan di warung langganan saya. Kami mengunjungi sebuah kos yang bahkan belum dibuka (karena baru dibangun) dalam rangka mencari kos untuk Vona. Sudahkah saya bercerita? Sama seperti Lina, Vona juga mengambil S2 di UNY. Kami sempat pergi juga ke rumah pemilik kos itu (yang ternyata pemilik toko buah di jalan Colombo), sebelum kembali lagi dan melihat-lihat seisi kos. Kami berencana pergi ke Galeria, tapi kami terlalu lelah di hari yang panas itu, hingga akhirnya memutuskan kembali ke kos saya untuk solat dhuhur dan menunggu Tya serta Dewi datang.

Mereka berdua datang sekitar pukul satu dan kami berangkat ke Kraton. Tempat itu cukup ramai, maklum hari libur. Sebenarnya saya sudah pernah juga ke sana waktu liburan bersama anak-anak Pramuka di kampus dulu, tapi tidak masalah mengunjunginya lagi. Kami berkeliling, foto-foto, keluar pukul empat kurang, solat di masjid dan terus menuju Ambarukmo Plaza. Sudah dua bulan lebih saya lewat di depannya tapi baru sore itulah saya masuk ke sana. Kami tidak punya tujuan khusus, hanya berjalan-jalan, duduk-duduk, lalu keluar mencari makan. Pikir kami cari makan yang murah saja di warung-warung tenda seberang mall, tapi ternyata kami salah pilih tempat. Justru harganya lebih mahal dibanding jika kami makan bento di restoran cepat saji di dalam mall. Sebuah pelajaran.

Tya dan Dewi menginap malam itu di kos saya karena paginya kami berencana untuk jalan-jalan di SunMor. Tips agar bisa hemat saat jalan-jalan di sana adalah: sarapan lebih dulu sebelum berangkat. Kami makan di warung biasa dan hasilnya saya benar-benar tidak jajan apapun di SunMor (karena dasarnya lagi bokek sih). Sempat ada insiden saat mencari parkir di sekitar Fakultas Perikanan UGM. Saya menghentikan motor dan tiba-tiba motor Dewi menabrak motor saya dari belakang. Ternyata motor Dewi juga tertabrak mobil dari belakang. Kami berempat deg-degan parah, gara-garanya tentu saja karena takut si pemilik mobil akan menuntut ganti rugi (saya sempat melihat bagian depan mobil itu lecet). Tapi ternyata mobil abu-abu itu jalan terus dan pengemudinya tidak turun, barangkali karena kami memang sama-sama salah. Dengan sisa-sisa deg-degan itulah kami berjalan-jalan sampai kaki saya mulai kelelahan lagi. Dan sebenarnya ada hal lain yang membuat saya agak kesal sejak malam sebelumnya, tapi mood saya tidak akan bisa memburuk dengan hadirnya teman-teman saya.

Usai solat dhuhur di kos saya, saya dan Dewi mengantarkan Vona dan Tya ke Jombor. Jalanan cukup terik dan tentu saja padat.

Seperti sebelum-sebelumnya, setelah teman-teman saya pulang, saya kembali pada kesunyian dan itu membuat saya menangis lagi. Saya berharap Lina segera masuk kuliah dan kami bisa kembali satu kos. Seperti yang sudah saya ceritakan, untuk sementara Lina akan ngekos di daerah Samirono Baru, tapi kos incaran Lina sebenarnya (dan dari ceritanya saya ikut setuju sana untuk menjadikan kos itu sebagai incaran) ada di Gang Guru, dekat dengan gedung pascasarjana UNY. Kemarin Lina sempat mengabarkan bahwa bulan depan kemungkinan ada kamar yang kosong dan dia meminta saya untuk pindah ke sana lebih dulu. Tidak masalah tanpa Lina satu dua bulan di sana. Saya berharap saya bisa berinteraksi dengan lebih baik jika ada orang-orang lain yang bisa saya temui. Saya akui saya sudah mulai terbiasa dengan kesendirian di kos dengan segala kelebihannya: bebas memutar musik keras-keras, bebas menyanyi di kamar keras-keras, bebas menggunakan kamar mandi tanpa harus mengantri, bebas pergi keluar tanpa mengajak siapapun, bebas pulang kapan saja, bebas melakukan apapun sesuka hati saya. Tapi saya juga sadar saya mulai malas mengajak bicara orang lain (terutama di dalam kos) dan ini bukan hal yang baik.

Lama-lama saya benar-benar bisa menjadi tidak acuh dan saya tidak mau itu terjadi.

YK, 17 Mei 2015



Comments

Popular Posts