Ketika Kau Jatuh Cinta ~3
Lanjutan cerita kecil "Ketika Kau JatuhCinta (Lagi)"
Keep
on holding me close
So I
won’t forget
Someday
even my voice won’t reach you
I
won’t even raise an umbrella in this fluttering rain,
I’m
sad like that
~kagefumi
Hujan
masih saja tertahan langit.
Aku ingin menulis, tapi entah apa. Kertas di depanku masih
kosong, ditemani secangkir kopi dan sepotong rainbow cake. Warnanya benar-benar
seperti pelangi, mengingatkanku pada pelangi sungguhan yang sudah lama sekali
sejak terakhir kali kulihat pada sebuah senja ketika aku berjalan pulang dari
kampus. Tapi hujan bahkan belum turun juga. Bagaimana aku bisa melihat pelangi
lagi?
Kupasang earphone di kedua telingaku. Lagu itu masih sering
kuputar, lagu yang liriknya seperti puisi. Sebentar mataku terpejam. Beginilah
caraku menghadirkanmu.
Jam tanganku menunjukkan pukul 15.15.
Aku menghabiskan kopi dan rainbow cake-ku. Pelan-pelan.
Menikmatinya. Mirip seperti ketika aku membaca sebuah buku, ingin cepat habis
tapi juga ingin lebih lama menikmatinya. Dan segala sesuatu tetap mesti punya
akhir juga.
Di luar masih terang. Aku melihat orang-orang yang lewat
melalui dinding kaca besar di sampingku. Tinggal beberapa suap lagi aku akan
menghabiskan rotiku ketika tiba-tiba tanpa sadar aku menarik punggungku dari
sandaran kursi.
Kamu.
Aku melihatmu berjalan di luar.
Bersama dia, tentu saja. Kau memakai jaket hitam
kesayanganmu, menggendong tas ransel hitam kesukaanmu dan berjalan dengan
caramu. Dia begitu manis, memakai baju putih dan rok bermotif bunga-bunga kecil
warna ungu sambil menenteng sebuah buku. Kau tersenyum. Dia tersenyum. Kalian
berjalan pelan-pelan seperti tidak ingin sampai di tempat tujuan. Aku lega
melihatmu tertawa. Klise sekali lah... Tapi aku tahu membebaskan adalah
keputusan yang bisa dan lebih baik untuk dipilih. Bukankah cukup memilikimu
dalam sajak-sajakku?
Aku memandangi kalian sampai menghilang di belokan. Rainbow
cake-ku masih sesuap lagi. Tapi aku mengabaikannya, berkemas dan bergegas pergi
dari tempat ini.
***
Kami berpapasan beberapa kali di kampus, tapi tidak pernah
saling bicara. Hanya sebatas bertegur sapa. Lagipula, tidak ada sesuatu yang
mengharuskanku bicara padanya. Dia juga begitu. Kami hanya saling menganggukkan
kepala, tersenyum, dan sudah. Aku mengingatnya sebagai seseorang yang pernah
kau perkenalkan. Barangkali dia juga mengingatku dengan ingatan semacam itu.
Tapi yang membedakan, barangkali dia tidak tahu bahwa aku sering memikirkannya,
atau paling tidak memperhatikannya.
Dia suka tersenyum
Wajahnya teduh, seperti sebuah rumah dengan banyak pohon
rimbun. Aku bertanya-tanya bagian mana yang paling membuatmu jatuh cinta. Tapi
sudahlah, barangkali semuanya begitu istimewa. Dari semua hal yang masih bisa
kubayangkan sambil tersenyum, ada satu hal yang tidak berani kubayangkan, tapi
tetap saja muncul dalam pikiran seperti nyamuk terjebak dalam toples kaca: kau
menulis puisi untuknya. Ya, tentu saja kau akan menulis untuknya.
Ketika duduk di bangku kayu, sendirian sambil seperti biasa
bicara pada angin, pikiran tentang hal itu benar-benar membuatku cemburu.
Dibanding hal-hal lain seperti kau lebih sering menatap matanya, bicara
padanya, berjalan dengannya atau mendengarkan lagu bersamanya, pikiran tentang
kemungkinan itu yang paling menggangguku. Sungguh mati aku cemburu.
Kadang-kadang kau datang, menemaniku duduk sebentar untuk
sekedar bercerita tentang apa yang kau lakukan sekarang, lagu baru yang kau
temukan, atau tentang rumput-rumput dan hujan. Bagian yang paling kusuka adalah
ketika kau tersenyum sambil bertanya,”Apa kabar?” Mendengar pertanyaanmu
membuatku merasa seolah-olah kabarku memang sesuatu yang pantas ditanyakan,
bahwa kau benar-benar ingin mengetahuinya.
Setidaknya terlihat begitu.
***
Ternyata waktu jadi begitu cepat ketika aku melewatkannya
untuk hal yang aku sukai.
Perpustakaan sudah sepi. Di luar juga sudah gelap. Aku
menutup buku yang sedang kubaca, mengembalikannya ke rak dan berjalan menuruni
tangga. Sampai di teras, mataku membulat.
Hujan.
Ternyata hujan. Aku tersenyum senang, memperhatikan
tetes-tetes air yang jatuh menimpa atap dan kemudian membasahi tanah. Ini
benar-benar hujan setelah sekian lama. Meskipun sekarang sudah malam dan tidak
mungkin aku melihat pelangi, hujan ini sendiri bahkan lebih indah dari pelangi
itu.
Aku menadahkan tangan keluar, membasahi jari-jari dengan air
hujan lalu tersenyum sendiri.
“Kau begitu senang.”
Aku terkejut. Seperti biasa, kau selalu muncul tiba-tiba.
Aku bahkan tidak tahu sejak kapan kau ada di teras ini. Aku menunduk malu-malu.
Kau mendekat sambil mengulum senyum.
“Hujan pertama bulan ini,” kataku pelan.
“Ya, hujan yang sudah lama dinanti.”
Kau mengulurkan tanganmu keluar, ikut menadah air hujan.
Lampu teras cukup terang untuk membuatku bisa melihat wajahmu dengan jelas.
Rasanya lama sekali. Sejak terakhir kali kita berdiri sedekat ini.
“Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku.
“Sejak tadi,” kau menoleh, ”Kau terlalu asyik membaca sampai
tidak tahu kalau hujan sudah turun.”
Ah, jadi kau bahkan berada di perpustakaan juga? Aku tersenyum
kecil sambil kembali menatap langit.
“Indah, ya? Hadiah dari langit untukku.”
Aku bisa merasakan matamu masih memandangku.
“Kau ulang tahun hari ini?”
Tanpa memandangmu aku mengangguk.
“Ya ampun... Aku bahkan tidak sadar.”
Aku memalingkan wajah padamu. Kau sudah menarik tanganmu
kembali.
“Ulang tahun tidak pernah penting bagiku. Bukan sesuatu yang
kudus yang perlu dirayakan. Bahkan aku belum pernah sekalipun meniup lilin
ulang tahun. Tapi... “ kalimatku sempat menggantung, menyisakan bunyi hujan
yang memukuli atap.
“Aku ingin juga mendapatkan ucapan selamat ulang tahun
darimu.”
Kali ini kau benar-benar menatap mataku. Mendadak udara jadi
lebih dingin. Atau memang selalu dingin kalau turun hujan?
“Selamat ulang tahun. Doaku untuk kebaikanmu, selalu.”
Aku mendengarnya seperti sebuah larik dalam puisi. Sudah
cukup. Lebih dari cukup untuk melunasi rasa iriku padanya.
Hujan masih turun. Dan aku berharap dia belum akan berhenti
sampai beberapa saat lagi.
Semarang, 2 November 2012: 00.52’
Selalu, terimakasih
untuk cerita-cerita
yang kau sendiri tidak
menyadarinya
Comments
Post a Comment