Cinta pada Pandangan Pertama
Kalau benar ada cinta pada pandangan pertama, aku pasti
sudah mengalaminya malam itu.
Saat aku datang, dia sudah duduk dengan manis di dalam
kelas. Aku ingat sekali, dia memakai kaos putih berlambang klub arema Malang
dan celana pendek. Kulitnya putih, tingginya hampir setinggi bahuku, dan
wajahnya memberikan aku harapan bahwa dia anak yang benar-benar manis. Dia
tersenyum malu-malu ketika kutanyakan namanya.
“Frano,” jawabnya sambil meraih tanganku dan dengan ragu-ragu
dia tempelkan di pipinya.
Aih...
dia memang manis sekali ( ื▿ ืʃƪ)
Kemudian dua monster kecilku datang: Rama dan Alen.
·
Kalau sedang duduk diam,
Alen akan terlihat seperti anak manis dengan kulit putih dan wajah tampan. Tapi
hati-hati, kalau dia sudah mulai bergerak, sulit untuk menghentikannya. Dia
sangat bossy, (pertama kali kami bertemu dia menyebut diri sebagai raja),
cerewet, susah diatur tapi sebenarnya cukup pintar. Dia bilang cita-citanya
menjadi pemain bola, pemain favoritnya sudah berganti-ganti dari Messi menjadi
Kun Aguero.
·
Rama bertubuh kecil dan
hitam manis. Kadang-kadang karena tingkah dan omongannya seperti anak yang
lebih tua, aku lupa kalau dia masih kelas 2. Seperti Alen dia juga hobi
bergerak dan berteriak-teriak. Tapi bedanya, kalau dia sudah punya niat untuk
belajar, dia akan diam menghadapi buku dan memintaku untuk menjelaskan apa yang
tidak dia mengerti.
“Halo bro....” adalah kalimat pertama yang Alen ucapkan pada
Frano. Ternyata mereka satu sekolah meskipun beda kelas. Segera, dua monster
kecil itu berlarian ke sana kemari sambil meneriakkan beberapa kata tidak
jelas, sementara Frano mulai membuka buku matematika dan aku memintanya
mengerjakan soal tentang membaca jam. Jadi inti kegiatan mereka malam itu bisa
diceritakan sebagai berikut:
Frano :
mengerjakan soal matematika
Alen + Rama : keluar
kelas, pura-pura ambil minum
Frano :
masih mengerjakan soal matematika
Alen + Rama : rebutan
buku bahasa Inggris
Frano :
menanyakan soal yang belum dia pahami
Alen + Rama :
sok-sok’an bisa materi itu, tapi tidak bisa menggambarkan pukul 09.30
Akhirnya mereka mau menulis bersama-sama, materi bahasa
Inggris tentang nama-nama hari. Hebatnya, Frano hafal hampir semua hari dengan
tulisannya sekaligus. Aku segera tahu
dia anak yang cukup pandai. Dengan tingginya yang hampir sebahuku, aku jadi
lupa dia masih kelas 2 SD. Jelas sekali dia anak yang lembut dan penurut.
Beberapa kali saat Rama atau Alen berteriak, dia secara refleks mengelus
dadanya: kaget. Kasihan sekali.... Sepertinya dia tidak terbiasa mendengar
orang bicara keras-keras -___-
Malam itu monster kecil 1 (baca: Alen) tiba-tiba minta
bermain matematika. Awalnya aku tidak paham, tapi setelah Rama memberi contoh,
akhirnya aku mengerti juga. Jadi permainannya begini: mereka bertiga menulis
soal matematika pada kertas kecil, masing-masing kertas berisi 3 soal. Kertas
itu kemudian digulung-gulung. Kami bermain “tebak nama” dengan jari, atau
anak-anak menyebutnya main “ABC”. Malam
itu kami bermain nama-nama hewan. Siapa yang tidak bisa menebak nama hewan
dengan huruf awalan yang ditentukan harus mengerjakan soal dalam gulungan
kertas (kecuali aku, tentunya, kan aku gurunya. Hehehe~)
Ternyata, bukan hanya anak-anak yang belajar dari kita, tapi
kita juga belajar dari mereka.
Malam itu berakhir dengan bahagia.
Lagipula aku sudah menemukan hiburanku: Frano yang manis.
Di antara mereka bertiga, setidaknya Frano-lah yang paling
anak-anak. Dia mengatakan hal-hal yang sewajarnya dikatakan anak-anak. Aku suka
melihatnya tertawa, bicara atau caranya berbisik di telingaku ketika dia ingin
mengatakan sesuatu yang menrutnya rahasia. Awalnya dia masih malu-malu dan
setengah berbisik ketika bertanya padaku,”Ini gimana, Bu?” Tapi lama-lama dia
juga banyak bicara dan menanggapi Rama atau Alen.
Aku tahu sebagai seorang yang berperan sebagai guru di kelas
itu, tidak seharusnya aku lebih menyukai seorang anak dibanding yang lainnya.
Tapi tidak bisa dipungkiri favoritku adalah Frano.
Ya,
aku jatuh cinta pada pandangan pertamaku padanya ♥♥♥♥
Comments
Post a Comment