Anak-Anak Manis


Malam ini terjadi semacam “keajaiban” yang benar-benar menyenangkan.
Pukul 14.30 aku sampai di Semarang dan hujan turun tepat ketika aku melewati pintu kos. Entah bagaimana listrik padam, aku tertidur sampai listrik menyala lagi dan baru mandi ketika adzan magrib terdengar. Hujan tinggal gerimis ketika aku keluar menuju anak-anakku (yang dengan jahatnya setengah kuharapkan tidak berangkat karena aku sedang mengantuk dan kurang bersemangat). Tapi ternyata mereka bertiga sudah menunggu di depan pintu. Rama memakai jaket merah, Alen memakai kaos spiderman (dia memamerkan luka di kakinya yang terkena knalpot motor) dan Frano memakai baju koko warna coklat yang unyu sekali (sebenarnya pakai baju apapun dia sekalu unyu :D).
Kalau Frano tidak berlarian dan mau belajar bukan hal yang mengejutkan lagi. Yang benar-benar ajaib adalah Rama dan Alen sama sekali tidak berlarian, tidak membantah, tidak keluar kelas, tidak berteriak-teriak dan mau belajar. Mereka bahkan menulis semua materi yang kuberikan (meskipun tentu saja diselingi sesi bercerita | Alen: Bu, kemarin ayah tetangganya mbahku meninggal, terus dia nginep di rumah mbah waktu aku nginep di sana, terus dia ngingau manggil-manggil ayahnya.) Aku tidak tahu angin apa yang sedang menyejukkan hati kedua monster kecilku itu. Mungkin karena cuaca Semarang sedang tidak panas sehingga mereka tidak “gatal” ingin berloncatan. Mungkin juga karena kaki Alen sakit, jadi dia tidak ingin banyak bergerak. Apapun itu, aku senang sekali melihat mereka bertiga.
Aku menggambarkan tangga satuan panjang, mereka menyalin dengan tekun (meski tetap diselingi bercerita). Beberapa kali diberi contoh, mereka akhirnya mengerti konsep “turun satu berarti dikali 10.” Pada dasarnya mereka memang cukup mudah diajari sesuatu kalau mereka sedang konsentrasi. Keributan kecil mulai terjadi ketika setelah mengerjakan soal di papan tulis, Alen menggambar wajah abstrak yang dia namakan “Frano” (rambut keriting, wajah penyok, gigi besar-besar). Frano yang sebenarnya jarang marah mulai mencoba memukul Alen. Setelah aku berhasil menghapus gambar itu, Alen dan Rama meneruskan menggambar di buku tulis mereka sambil cekikikan sementara Frano mengerjakan soal di papan tulis. Akhirnya demi mengendalikan suasana kukatakan pada mereka: “Ya sudah, gambar wajah bu guru saja.”
“Beneran, Bu?”
“Pakai jilbab, Bu?”
“Jelek nggak papa ya, Bu.”
Selama beberapa saat, kubiarkan mereka menggambar. Frano yang awalnya mengggambar di papan tulis ikut juga menggambar di buku. Sesekali mereka melihat padaku meskipun tentu saja gambar mereka tidak ada mirip-miripnya sama sekali dengan wajahku. Gambar Alen yang pertama kali selesai. Sumpah. Abstrak banget. Dia menggambar sesosok manusia dengan rambut dikuncir dua, gigi besar-besar dan secara keseluruhan terlihat menyeramkan. Yang menandakan bahwa gambar itu “aku” adalah dua tahi lalat yang digambarnya di atas alis dan di dekat mata. Gambar Rama lebih manis. Wajahnya wajar dengan rambut panjang yang diikat di pinggir. Dia menulis nama “ismi” di baju gambar itu (mungkin karena melihat gambar Rama, akhirnya Alen menggambar lagi dan gambar keduanya lebih wajar, lalu dia meminta gambar pertamanya karena katanya gambar itu jelek). Gambar Frano lebih manis lagi. Dia menggambar aku memakai jilbab dengan bunga di kepala, kemudian dia menggambar dirinya sendiri. Latar belakang gambar itu adalah gunung dengan matahari terbit, awan, kupu-kupu dan padang rumput. Dia menulis “bu ismi” di atas gambar “aku” dan “frano” di atas gambar anak laki-laki. Rama membuat gambar satu lagi: seorang anak laki-laki berpakaian compang camping yang dia namai dirinya sendiri (dia bilang anak itu habis berkelahi). Aku meminta gambar-gambar mereka karena bagiku itu manis sekali, aku bahkan hampir terharu karena tidak seorang pun sebelumnya pernah menggambarku. Mereka bertiga memaksaku menilai dan mengatakan gambar siapa yang paling bagus. Tapi kukatakan bahwa semuanya bagus dan dapat nilai 80. Setelah selesai menggambar, mereka mau mengerjakan soal matematika dan Alen dengan serius bahkan mau mengajari Rama yang belum selesai mengerjakan soal-soal itu. Selanjutnya kami belajar bahasa Inggris.
 Malam ini keajaiban itu benar-benar menyenangkan, menjadi penghibur yang tidak terbeli rasanya. Aku merasakan mereka benar-benar anak-anak ketika mendengarkan Alen bercerita dengan polos; ketika memegangi Rama yang naik ke jendela; ketika Frano memelukku. Mereka memang anak-anak. Usia mereka 8 tahun. Dan aku mencintai mereka.
Semarang, 18 November 2012: 23.52’ 

Comments

Popular Posts