A Shoulder to Cry On
Title :
A Shoulder to Cry On
Author :
me
Cast :
Reita, me (?)
Genre :
I’m not sure
Length :
1100 words
Matahari
sudah condong ke barat ketika aku melangkah keluar dari gerbang sekolah.
Aku
berjalan pelan-pelan sambil mengamati langit yang tampak berwarna oranye. Angin
bertiup pelan, sedikit menghiburku yang sedang kelelahan.
Aku
mengusap keringat yang membasahi keningku. Klub basket sekolah benar-benar
sedang sibuk karena festival olahraga antar sekolah akan dimulai sebentar lagi.
Sebagai anggota tim inti, aku tidak boleh absen satu kali pun kalau tidak ingin
posisiku digantikan oleh pemain lain.
Aku
berjalan agak cepat sambil menikmati lebih banyak angin senja yang terasa
menyejukkan. Hal yang paling kuinginkan sekarang adalah cepat-cepat sampai di
rumah, mandi dan makan. Oka-san pasti sudah menyiapkan makan malam yang lezat
di rumah. Membayangkannya saja sudah membuat perutku semakin lapar.
Tanpa
pikir panjang aku mengambil jalan pintas menuju ke rumah. Rumahku memang tidak
terlalu jauh dari sekolah, karena itu aku memilih untuk berjalan kaki. Lagipula
berjalan kaki juga bagus untuk berolahraga. Melewati jalan ini akan membuat
perjalananku lebih cepat sekitar lima menit. Cukup lumayan mengingat perutku
yang sudah keroncongan.
Langkahku
melambat ketika sampai di tepi sungai.
Perpaduan
antara langit yang kemerahan, rumput-rumput yang bergerak tertiup angin dan
permukaan sungai yang tenang menciptakan pemandangan yang cukup indah. Semuanya
terlihat damai. Aku tidak ingat lagi sudah berapa kali aku melewati jalan ini,
tapi entah kenapa kali ini suasananya terasa lain sampai aku tidak sadar bahwa
langkahku sudah terhenti dan aku berdiri untuk mengamati segalanya lebih lama
lagi.
Tiba-tiba
napasku tercekat.
Sesuatu
yang terselip di dalam pemandangan yang sedang kuamati telah merusak segalanya.
Ya,
segalanya.
Aku
mengamati dengan lebih jelas sosok yang sedang duduk di tepi sungai itu,
seakan-akan takut kalau penglihatanku sedang bermasalah –dan aku memang
setengah berharap bahwa aku salah lihat. Tapi ternyata tidak. Sosok yang sedang
duduk menghadap ke sungai sambil memeluk lututnya itu adalah “dia.”
Ya,
itu memang “dia.”
Tidak
salah lagi. Dia memakai seragam yang sama denganku. Rambut blonde yang
berantakan dan menyeramkan itu hanya dia yang memilikinya. Dan benda aneh,
noseband atau apalah itu yang dia pakai membuatku yakin bahwa mataku memang
masih normal.
Tanpa
alasan yang pasti tubuhku bergetar. Dia duduk di sana, memeluk lututnya dan
bahunya terlihat naik turun. Dia terlihat seperti sedang.... menangis? Kalau
itu adalah orang lain, aku tidak akan seheran ini. Tapi, demi apa, dia adalah
orang yang akan membuatmu berharap untuk tidak pernah berurusan dengannya. Dia
adalah orang yang melakukan apapun yang dia inginkan dan yang tidak segan-segan
melakukan apapun agar orang lain melakukan apa yang dia inginkan.
Terkahir,
aku dengar dia mengunci seorang anak kelas sebelah di dalam gudang sekolah
semalaman. Tanpa pakaian.
Tapi
siapa yang berani melawannya?
Dia
disegani, ditakuti sekaligus dikagumi oleh sekumpulan gadis-gadis yang
menurutku perlu diperiksa kewarasannya. Sayangnya gadis-gadis semacam itu
adalah “kebanyakan” gadis di sekolahku. Saking tidak warasnya, para gadis itu
bahkan menyebutnya sebagai semacam “putra mahkota” mengingat dia adalah putra
tunggal pemilik Suzuki Group.
Sialnya,
dua tahun ini aku selalu sekelas dengannya meskipun aku tidak yakin apa dia
bahkan tahu namaku karena kami tidak pernah sekalipun saling berbicara.
Aku
mematung untuk beberapa saat. Melihatnya duduk seperti itu, sendirian,
benar-benar tampak menyedihkan. Kemudian aku mengingat semua reputasi dan
daftar kejahatannya di sekolah, sehingga akan lebih baik bagiku berusaha untuk
menghindar dari semua hal yang bisa membuatku berurusan dengannya. Aku berjalan
pelan-pelan, berusaha tidak menimbulkan suara apapun agar dia tidak menyadari
kehadiranku di sana.
Tapi
sepertinya takdir tidak berpihak padaku.
Meskipun
aku sudah berusaha untuk berhati-hati, tapi karena aku terus menerus menoleh
untuk memastikan dia tidak melihatku, aku berakhir dengan terjatuh ke tanah
sambil menjerit kecil karena kakiku tersandung sebuah batu. Entah dari mana
datangnya batu sialan itu.
Hal
berikutnya yang kusadari sebelum aku sempat bangkit untuk melarikan diri atau
apapun itu adalah bahwa dia sudah bergerak lebih cepat dan sekarang dia berdiri
sambil menatap ke arahku. Wajahku pasti terlihat sangat horor. Aku bahkan
terlalu gemetar untuk bisa berdiri lagi karena dia berjalan ke arahku.
Wajahnya
dingin, tanpa ekspresi. Sekalipun matanya memang terlihat basah, tapi tatapan
tajam yang dimilikinya membuatku merasa seperti mangsa yang sedang menunggu
detik-detik kematiannya. Benar. Dia pasti akan menghabisiku karena aku
memergokinya dalam keadaan yang tidak akan berani dibayangkan oleh siapapun.
Aku
melihat dia, orang yang paling ditakuti di sekolah, sedang menangis. Dia,
Reita, yang jelas-jelas merupakan orang paling kejam yang pernah kukenal baru
saja menangis di depanku. Dan sekarang dia berjalan ke arahku dengan tatapan
membunuhnya yang sungguh-sangat-membuat-semua-orang-ingin-bisa-menghilang-dari-bumi-ini.
Akhirnya
aku bisa berdiri sekalipun terlalu terlambat untuk mencoba melarikan diri.
“Re...
Reita-san...” aku mencoba bicara dengan bibirku yang gemetar, “Aku... aku
berjanji aku tidak akan mengatakan apa-apa. Sungguh. Aku akan menganggap aku
tidak melihat apa-apa.”
Aku
menatapnya penuh harap, tapi dia tidak menjawab, tidak menunjukkan ekspresi
apapun dan terus berjalan ke arahku.
“Aku
berjanji! Sungguh!”
Dia
semakin dekat dan tanpa sadar aku berjalan mundur, sebuah usaha perlindungan
diri yang sia-sia
Ya
Tuhan, semoga dia tidak ingat kalau aku teman sekelasnya. Tapi sekarang dia
sudah melihat wajahku dan dia pasti tidak akan melupakannya. Di atas semua
kejahatannya, dia bukan siswa yang bodoh. Dia bahkan bisa mengerjakan semua
soal Matematika tanpa repot-repot mendengarkan penjelasan sensei di kelas.
“Reita-san...
Aku...”
Kalimatku
terpotong karena tiba-tiba saja dia meraih pergelangan tanganku dan
menggenggamnya begitu kencang sampai tanganku terasa sakit. Matanya tidak lepas
sedikit pun dari mataku. Apa aku akan habis sekarang? Apa yang akan dia
lakukan? Apa dia akan menenggelamkanku di sungai?
“Kau....”
Suaranya
yang dalam terdengar mengerikan.
Sebenarnya
aku tidak sanggup lagi menatap matanya, mata basah yang terlihat sedih
sekaligus mengancam itu, tapi aku terlalu takut untuk berpaling.
Dia
mendekat satu langkah.
Hal
yang terjadi selanjutnya benar-benar tidak masuk akal. Ketika aku sadar, aku
sudah berada dalam pelukan sepasang lengan itu. Dalam mimpi yang manapun aku
tidak pernah membayangkan seorang Suzuki Akira akan memelukku seperti ini. Dia
memelukku begitu erat sampai aku tidak bisa menggerakkan wajahku yang terbenam
di dadanya. Aku tidak berani mengatakan apapun, hanya bisa diam sambil
merasakan aroma tubuhnya yang begitu dekat dengan hidungku. Apa orang ini sudah
gila?
Dia
meletakkan dagunya di bahuku.
“Reita...”
Aku
berbisik.
“Diamlah
sebentar,” katanya pelan.
Aku
tidak yakin apakah ini yang dia lakukan sebelum mulai melakukan kejahatan pada
orang-orang.
“Diamlah...”
Aku
merasakan tarikan napasnya yang berat dan panjang.
“Aku
tidak punya bahu yang bisa kupinjam untuk menangis. Pinjamkan bahumu sebentar
saja.”
Kalimat
itu seperti datang dari dalam mimpi.
Dia
memelukku makin erat.
Lagi-lagi
aku tidak berani untuk sekedar bertanya.
“Orang
tuaku akan bercerai.”
Dia
berkata pelan, lebih seperti berbisik.
Aku
tidak tahu apa yang harus kukatakan. Kali ini dia bukan Reita yang selama ini
ditakuti semua orang dan menjadi teror di sekolah. Dia bukan siapa-siapa, hanya
seorang anak 17 tahun yang sedang menangisi kesedihannya.
Tanpa
sadar tanganku meraih bahunya, mengusapnya pelan sebagai ganti dari semua
kata-kata yang tidak bisa kuucapkan.
Semarang,
18 September 2013
Comments
Post a Comment