Tujuh Hari Pertama: Kenangan yang Menyelamatkan
Ibu saya adalah orang yang sangat mudah terharu. Jika
melihat sesuatu yang menyentuh, ibu akan dengan mudahnya meneteskan air mata.
Ibu menangis ketika anak tetangga kami menikah. Ibu menangis ketika
mendengarkan cerita sedih seorang tetangga yang lain. Ibu menangis ketika
melihat seorang anak saudara yang ibunya sudah meninggal. Ibu menangis ketika
saya pulang dan bercerita tentang acara yang diadakan sekolah untuk melepas
saya pergi keluar kota. Ibu terharu karena anaknya dipertemukan dengan
orang-orang yang begitu baik.
Tapi ibu tidak menangis mengantar saya pergi.
Ibu justru menghardik ketika saya menangis malam itu
dengan kepala rebah di pangkuannya. Saya tidak tahu mana yang membuat saya
menangis: lelah sehabis perjalanan keluar kota dan mengurus beberapa hal, sedih
karena tidak bisa lagi membantu ibu mencuci baju, tidak bisa memijit punggung
bapak, tidak bisa memarahi adik-adik saya lagi, atau karena takut dan cemas
menghadapi semua yang menunggu di depan. Ibu berkata dengan tegas bahwa semua
akan baik-baik saja dan saya tidak perlu menangis.
Ibu tetap tidak menangis ketika pagi itu tiba.
Barang-barang saya sudah dikemas sedemikian rupa –ibu pula
yang melakukannya. Koper. Tas. Kasur. Lemari dan tetek bengek lain tertata di
ruang tamu. Saya menahan diri untuk tidak menangis lagi. Bahkan orang tua saya
memberikan satu-satunya sepeda motor di rumah untuk saya bawa. Tidak ada
keraguan sedikit pun di wajah ibu ketika ibu berkata bahwa bapak dan semuanya
akan baik-baik saja tanpa motor itu.
Ibu juga tidak menangis ketika saya justru menangis begitu
sampai di tempat yang baru itu.
Saya begitu cengeng. Lemah. Manja, barangkali. Padahal
usia saya sudah hampir 24 tahun, tapi saya masih terlalu pengecut untuk
menghadapi semuanya dengan pikiran tenang. Ibu selalu mengerti tanpa saya harus
mengatakannya. Malam itu ibu menemani saya tidur di sana. Saya memeluk ibu,
menyadari benar betapa tenangnya hati saya hanya dengan melakukannya.
Langit sore mendung ketika saya mengantar ibu dan adik
saya ke terminal.
Kami berjalan keluar komplek tempat tinggal saya yang
baru. Kemudian ibu mengajak saya makan. Saya menolak dan tiba-tiba ibu
menangis.
Akhirnya ibu benar-benar menangis.
Sambil tetap berjalan menatap ke depan dan menggandeng
tangan saya, air mata ibu terjatuh satu per satu. Saya membuat ibu menangis
karena ibu tahu saya belum makan sejak pagi dan saya tidak makan juga di tempat
kerja. Saya membuat ibu menangis karena ibu tahu saya sangat pemilih soal
makanan dan hari itu saya belum makan sama sekali.
Saya menggenggam tangan ibu, berkata bahwa saya akan
baik-baik saja.
Saat itu saya tahu bahwa sekalipun saya dilingkupi
kecemasan dan ketakutan, ibu pun diselimuti hal serupa –bahkan barangkali lebih
besar dibanding yang saya punya. Ibu tidak mau menunjukkannya karena tidak
ingin saya lebih kalut lagi.
Betapa bodohnya saya yang sudah membuat ibu cemas dan
menangis. Harusnya ibu melihat bahwa saya bisa percaya diri mengatasi semuanya,
tapi saya masih kerdil seperti biasanya.
Kami makan di terminal sebelum akhirnya saya memandangi
sosok ibu yang menghilang ke dalam bus. Saya hampir menangis lagi.
Tujuh hari berlalu seperti selamanya.
Banyak hal yang terasa bagaikan paradoks.
Keluar dari kamar, saya akan menyusuri jalanan dengan
bangunan padat tanpa celah di kanan kiri. Jalan-jalan ini membuat saya tersesat
beberapa kali. Keluar dari jalan kecil ini saya akan melintasi jalan besar
dengan lebih banyak lagi bangunan besar di kanan kiri. Kendaraan begitu padat
seperti sekawanan laron, mengalir tanpa henti. Semuanya ramai. Tidak ada yang
sepi. Hiruk pikuk di mana-mana.
Paradoks itu saya temukan begitu usai menempuh perjalanan pulang.
Saya masih sering terbangun tengah malam, merasa asing.
Saya tidak bisa melihat keluar jendela. Saya tidak bisa menemukan apapun selain
sebuah jalan kecil dan deretan bangunan yang bahkan lebih rapat dibanding
jejeran pohon kelapa di halaman rumah kami. Saya tidak bisa melihat langit
senja. Saya tidak mendengar apapun selain suara orang bercakap-cakap, deru
mesin motor, tetesan air kran kamar mandi, dan gonggongan anjing. Saya merasa
masih terkurung di dalam kotak, tidak punya siapapun yang bisa diajak bicara
sambil bertatap muka. Saya merasa sepi di tengah keramaian. Saya bahkan tidak
punya selera makan. Selama tujuh hari ini, baru lima kali saya makan.
Desa kami yang kecil, pinggiran, sepi, terasa lebih ramai
buat saya. Saya sudah rindu melihat sawah. Pepohonan. Tanah. Sungai. Langit.
Saya masih saja menangis dan merasa bodoh karena masih menangis.
Mengingat bapak dan ibu dengan segala perjuangan yang
mereka lakukan untuk mengantarkan saya di sini membuat saya tidak boleh dan
tidak akan menyerah.
Baru tujuh hari.
Waktu akan membuat saya terbiasa dan berdamai dengan
segalanya.
Benar. Kenangan
indah menyelamatkan seseorang. Saya mengantongi kenangan tentang kehangatan
rumah dan cinta bapak ibu dalam dada saya. Kenangan tentang itulah yang akan
membuat saya bertahan menghadapi apapun di tanah rantau ini.
YK, 7 Maret 2015:
19.10’
aku juga menangis ketika aku membacanya Is. teringat awal kuliah, aku seperti itu. bahkan di dalam bis pun, aku menangis. haha, aku anak mama banget ya. Tapi sekarang, aku lupa bagaimana menangis dalam kehangatan dekapan Ibuku, Is, ada sesuatu.
ReplyDelete7 hari pertama kemarin aku juga nangis tiap hari ri.. hehe....
ReplyDeletesesuatu? "sesuatu" milikku adalah jarak kebumen-jogja. heuheu
aku juga nangis bacanya mbk, betapa beratnya, memang berat,
ReplyDeletepercayalah semua akan baik-baik saja mbk :)
jarak akan terasa dekat ketika kita mempertemukannya dalam doa,
bapak ibu sedang mendoakan agar mbk ismi kuat disana,
buktikan kalau mbk ismi kuat :)
makasih mar, :')
ReplyDeletememang kenangan begitu menyelamatkan... aku akan ada di sini karena dan untuk mereka...
duhh marakke nangis... tanggung jawab lahh
ReplyDelete*sodorin tisu*
Deleteselembar 1000 ye...