Tujuh Hari Ketiga: Dua Kata Ajaib
Minggu ketiga dimulai.
Hari-hari saya berjalan dengan rutinitas yang masih sama:
bangun tidur – mandi – berangkat ke tempat kerja – pulang – mencuci baju –
kadang-kadang makan. Hari Rabu siang menjadi sedikit berbeda karena saya
ditugasi kepala sekolah mewakili beliau ke sebuah acara sosialisasi yang
diadakan di sekolah lain. Selasa sore saya mencari jalan ke sekolah itu
(berbekal peta yang digambar oleh seorang rekan kerja). Beruntung tempat yang
dimaksud dekat dengan kos saya (daerah kampus UGM arah ke RS Sardjito), jadi
kali ini tidak ada agenda tersesat atau salah jalan.
Hari itu saya sudah membulatkan tekad untuk mengunjungi
keponakan saya di Timuran (Pojok Beteng Wetan), maka begitu acara usai sekitar
pukul 13.30, saya kembali sebentar ke kos dan kemudian berangkat ke Jokteng.
Satu-satunya jalan yang saya tahu (berbekal pengalaman sebelumnya dan pengalaman
naik bus trans Jogja) adalah lewat Malioboro – Jokteng Kulon. Saya tahu saya
malah berputar-putar, tapi saya sedang tidak ingin mengambil risiko salah jalan
dan harus pulang kesorean ke Samirono. Tidak lucu kalau malam-malam saya malah
tersesat sendirian di jalanan kota.
Beruntung sore itu cuaca cerah –malah bisa dikatakan cukup
panas. Saya ‘terbakar’ sepanjang perjalanan, ditambah jantung deg-degan tiap
melihat pos polisi dan mata harus awas di setiap lampu lalu lintas karena saya
harus menggunakan ingatan dan juga feeling
dalam memutuskan ke mana saya harus berbelok. Sekitar pukul 3 kurang saya
berhasil sampai dengan selamat di Timuran, menemui dua keponakan saya yang
hanya saya bawakan oleh-oleh nasi dan fried
chicken dari rumah makan fast food (maklum
belum gajian).
Pukul 16.00 saya kembali ke kos, mengambil jalur lewat jalan
Taman Siswa yang sebelumnya sudah pernah saya lalui bersama seorang teman.
Kembali lagi –mengandalkan ingatan dan feeling,
akhirnya saya berhasil sampai di Samirono tanpa tersesat. Sebuah
pencapaian!
Sabtu minggu ini dicetak dengan warna merah di atas kalender
(hari raya Nyepi). Hal itu berarti hanya satu hal buat saya: pulang kampung!
Betapa dua kata sederhana itu mampu membawa letupan-letupan kebahagiaan dalam
dada saya yang serasa mau meledak.
Dewi berencana mengunjungi Kebumen bersama dengan kepulangan
saya. Seingat saya tidak seorang teman pun dari Temanggung yang pernah naik
kereta api (seingat saya lho ya), jadi kami berencana naik kereta Prameks
dengan tujuan akhir stasiun Kutoarjo. Hari Kamis sore –usai pergi mencetak RPP
di jalan Solo, saya berputar-putar mencari stasiun Lempuyangan. Saya tahu letak
stasiun itu dekat dengan fly over yang
sudah pernah saya lewati, tapi dengan bodohnya saya malah lurus saja dari
bundaran UGM dan berakhir di Tugu Jogja. Dari sana saya kembali ke Kotabaru dan
berhasil sampai di fly over. Sekali
lagi saya malah salah belok sehingga berakhir di jalan Lobangan. Begitu saya
putar arah dan mengambil belokan yang satunya, sampailah saya di stasiun itu.
Saya menitipkan motor di pinggir jalan dan berjalan masuk ke
stasiun –mencari loket untuk kereta lokal, melihat-lihat jadwal kereta dan
gerbang masuk. Saya sudah membayangkan Dewi pasti senang sekali melihat rel dan
menginjakkan kaki di atas gerbong. Dengan senyum di bibir karena memikirkan
perjalanan esok hari, saya memutari Kotabaru sekali lagi untuk memastikan bahwa
saya sudah hafal jalan menuju stasiun.
Jumat pagi menjadi sedikit lain di tempat kerja karena kami
harus memakai kebaya (untuk perempuan) dan surjan (untuk laki-laki) dalam
rangka hari ulang tahun Yogyakarta. Saya baru tahu bahwa pakaian laki-laki
lebih ribet dibanding kebaya perempuan. Para pak guru datang dengan memakai
kaos dan celana, kemudian ramai-ramai berganti pakaian di ruang guru. Jarit untuk bawahan harus diwiru lebih
dulu, kemudian dipakaikan kawus (semacam
stagen kalau perempuan) dan sabuk.
Sebuah keris pun diselipkan di belakang punggung. Ditambah blangkon dan selop,
lengkaplah kostum hari itu. Saya sendiri memilih rok yang sudah jadi karena
tidak bisa memakai jarit. Itu pun
saya pakai di kamar mandi sekolah karena bentuknya tidak memungkinkan saya
menaiki motor.
Saya sempat masuk ke salah satu kelas karena ada guru yang
mendampingi siswa mengikuti lomba paduan suara. Sekalipun tidak memakai high heels, model rok itu saja sudah
cukup membuat langkah saya begitu lambat. Jarak kantor ke kelas yang sebenarnya
dekat saja rasanya jadi lebih jauh gara-gara kaki saya yang tidak bisa
melangkah lebar.
Sekitar pukul 11.00 saya pulang ke kos dan tidak sabar
menunggu keberangkatan menuju kepulangan.
Hujan sempat turun setelah mendung menggelayut sejak pagi.
Saya sempat cemas, tapi beruntung langit hanya menyisakan gerimis ketika pada
pukul 13.00 saya dan Dewi pergi ke Lempuyangan. Tempat sepeda motor inap di
seberang jalan stasiun penuh sesak, begitu pun stasiunnya. Maklum ada long weekend. Kami pun bersyukur karena
tiket untuk kereta Prameks hari itu masih tersisa.
Beberapa saat setelah kami duduk-duduk sambil makan cemilan,
seorang teman saya dari Kebumen (mba Indah) yang mengajar di daerah Mlati
menelfon dan minta tolong dibelikan tiket. Saya pun mengantri sekali lagi dan
beruntung karena masih mendapatkan tiket itu (beberapa saat kemudian dipasang
pengumuman bahwa tiket sudah habis). Sekitar pukul 14.00 mba Indah memberi
kabar bahwa dia sudah sampai di stasiun. Saya pun memberitahu posisi saya
sambil berkali-kali melihat pintu masuk, tapi mba Indah tidak muncul juga. Dia
kemudian menelfon dan bertanya saya ada di stasiun mana. Begitu saya menjawab
‘Lempuyangan,’ mba Indah berkata ‘loh, saya di Tugu.’ Kami pun menertawakan
kebodohan kami yang lupa bahwa ada dua stasiun di Yogya. Tapi ternyata tiket
Prameks di stasiun Tugu juga sudah habis, jadi mba Indah pun menyusul kami ke
Lempuyangan.
Sekitar pukul 15.00 kami bertiga masuk melewati gerbang
pemeriksaan karena mushola untuk sholat ashar ada di dalam. Sambil menunggu
kereta datang (pukul 15.34 di jadwal) kami pun memanfaatkan waktu untuk
berfoto-foto. Untuk ketiga kalinya dalam hidup, saya pun naik kereta ketika
sekitar pukul 15.45 kereta Prameks datang dari arah Solo. Kereta cukup penuh
dan kami mendapat tempat duduk ketika sampai di stasiun Tugu.
Perjalanan satu jam dengan kereta terasa singkat karena
tidak ada lampu merah, tidak ada pemberhentian selain di stasiun, dan tidak ada
salip menyalip dengan kendaraan lain. Saya duduk bersama sebuah keluarga kecil
dengan seorang anak perempuan berusia sekitar 6 atau 7 bulan. Seperti biasa
setiap kali melihat bayi atau anak-anak, pandangan saya sulit terlepas sehingga
sepanjang perjalanan lebih banyak saya habiskan untuk memperhatikan tingkah
bayi perempuan lucu itu.
Pukul 5 kurang kami sampai di Kutoarjo. Sebuah bus jurusan
Purwokerto yang penuh sesak sudah menunggu di perempatan. Kami berdiri sampai
di Kebumen, tapi kali ini saya tidak ingin menangis karena ada Dewi yang
menemani saya dan juga karena hati saya lebih banyak diliputi rasa senang.
Langit cukup cerah begitu kami sampai di rumah sekitar pukul
19.00.
Saya benar-benar pulang! Saya berada di rumah dan bisa
memeluk ibu menjadi hal yang begitu membahagiakan.
Sabtu pagi saya terbangun dengan suara bapak yang
melantunkan adzan subuh dari masjid. Betapa saya rindu hal itu. Juga suara
kokok ayam dan kicau burung. Bunyi gemerisik daun-daun. Pemandangan matahari
terbit dari ujung-ujung pohon kelapa.
Saya mengajak dewi bersepeda ke pasar Gamblok yang
sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi karena sudah jarang bersepeda malah saya
yang agak kelelahan. Di sana kami membeli jajanan pasar lalu bersepeda lagi ke
arah Klirong dan duduk-duduk di pintu air saluran irigasi sambil makan dan
memandang sawah yang tengah dipanen. Pulang ke rumah kami pun mandi, sarapan
nasi pecel buatan ibu dan bersepeda lagi. Kali ini saya ajak Dewi melewati
jalan aspal baru di samping Balai Desa, belok ke desa Gebangsari, terus ke arah
jalan raya Klirong dan akhirnya kami berhenti di SMA saya. Saya cukup terkejut
melihat begitu banyak perubahan di sekolah saya itu ketika kami berjalan
mengitari seluruh isi sekolah. Sebuah perasaan rindu datang ketika saya
menyadari bahwa masa-masa sekolah saya sudah lama lewat.
Kami pulang sekitar pukul 13.00 dan bersiap menuju ke pantai
Suwuk. Mendung hitam terlihat di sebelah utara ketika kami berangkat pukul
14.00. Beruntung hanya gerimis kecil yang turun ketika kami sudah
berjalan-jalan di pantai. Setelah itu langit kembali cerah. Kami berjalan di
pasir dan bebatuan dekat sungai sebelum akhirnya duduk di salah satu warung dan
makan mendoan hangat.
Setelah sholat ashar di mushola, kami melanjutkan perjalanan
menuju alun-alun Kebumen. Rencana kami untuk mampir di warung soto Petanahan
harus kami tunda karena perut sudah terasa penuh. Saya mengambil rute lewat
jalan Daendels karena saya ingin menunjukkan jalan lain pada Dewi. Hari
menjelang sore dan jalanan sepi, lebih banyak berupa ladang di kanan kiri
jalan. Saya katakan pada Dewi bahwa saya juga baru sadar bahwa jalan itu
terlihat seperti jalan yang tak punya ujung (saya tidak akan berani melewatinya
usai maghrib). Hujan sempat turun ketika sampai di Tambak Progaten dan kami pun
berteduh di sebuah sekolah.
Hampir pukul 18.30 ketika kami sholat di Masjid Agung. Kami
berjalan mengitari alun-alun mencari penjual wedang ronde. Sisa waktu lebih
banyak kami habiskan untuk mengobrol (dengan bahan pembicaraan yang tidak
habis-habis) sampai akhirnya hujan kembali turun dan kami berteduh di masjid
agung. Di sana kami malah asyik sendiri mengamati replika masjid sampai kami
menahan tawa karena hampir menempelkan wajah di bingkai kaca.
Begitu hujan reda, kami pun pulang dan mendapati bahwa jalan
di daerah Soka lama dan seterusnya masih kering. Sepertinya hujan memang
mengikuti kami sehingga begitu kami sampai di Pasar Dorowati, hujan turun
begitu deras. Sekalipun memakai mantol, hampir sekujur tubuh kami basah kuyup.
Motor saya berjalan pelan-pelan dan saya berusaha melihat jalanan di tengah
derasnya air yang turun. Kami tertawa setiap kali motor saya terperosok ke
lubang yang dipenuhi air.
Seperti dugaan saya, bapak dan ibu sudah menunggu dengan
cemas di rumah. Betapa memiliki orang yang menunggu kepulanganmu adalah hal
yang sangat membahagiakan.
Ibu membuatkan nasi goreng untuk kami dan kami makan
terlebih dulu sebelum tidur.
Pagi hari ketika suara adzan bapak kembali membangunkan
saya, saya menghampiri kamar ibu dan berbaring sambil memeluknya. Saya menangis
diam-diam tidak tahu kenapa. Saya kembali mencatat baik-baik dalam hati bahwa
sesulit apapun keadaan yang menunggu, saya tidak boleh dan tidak akan menyerah
karena ibu selalu percaya dan mendoakan saya.
Agenda saya dan Dewi pagi itu hanya pergi ke warung soto
Petanahan. Kami sarapan di rumah sekitar pukul 08.00 dan berangkat ke Petanahan
pukul 09.00. Soto Petanahan tetap menjadi favorit saya di antara beberapa jenis
soto yang pernah saya cicipi. Pulang ke rumah, bapak sudah memetikkan beberapa
buah kelapa muda.
Saya ingin sekali bisa memperlambat laju waktu, tapi waktu
bukanlah manusia yang bisa dipakaikan jarit
atau high heels sehingga lajunya
bisa diperlambat. Saya harus kembali ke Yogya bagaimanapun juga. Seperti biasa
saya mencium tangan dan pipi ibu di depan pintu, tapi kali ini ibu memeluk saya
begitu erat dan terlihat seperti akan menangis.
Bus datang sekitar pukul 14.00 dan seperti dugaan saya, bus
itu penuh sesak sehingga kami harus berdiri sampai Kutoarjo. Hujan sempat turun
sepanjang Purworejo. Saya dan Dewi cukup kelelahan sehingga kami lebih banyak
tertidur sepanjang jalan. Pukul 16.45 kami sampai di Giwangan, sholat ashar dan
akhirnya naik bus trans menuju stasiun untuk mengambil motor. Kami turun di
halte Hayam Wuruk dan naik becak menuju stasiun, sama-sama menahan kasihan
ketika merasakan kayuhan becak yang berat dan lambat (barangkali karena kami
berdua memang cukup berat).
Kami sempat makan mi rebus di daerah stasiun sebelum
akhirnya mengambil motor di tempat penitipan dan harus berpisah jalan di
perempatan toko buku. Dewi menuju Gamping, saya menuju Samirono.
Kesepian kembali menyergap di dalam kamar saya yang kecil.
Setidaknya saya sudah benar-benar pulang setelah tiga minggu
yang amat panjang ini. Setidaknya saya sudah melihat bapak, ibu dan adik-adik
saya. Setidaknya saya sudah melihat sawah, sungai dan pepohonan di halaman.
Saya menemukan beberapa bungkus makanan kecil (favorit saya)
yang diselipkan ibu di dalam tas. Isi tas saya ibu pulalah yang menata, karena
bagi ibu tatanan saya memang tidak pernah rapi. Ibu berkata bahwa dia sempat
menangis minggu kemarin ketika teringat saya dan saya mencatat lagi bahwa saya
harus hidup dengan baik di sini agar ibu tidak perlu khawatir.
Pulang dan rumah.
Dua kata yang sederhana tapi begitu ajaib. Sebenarnya bukan
pohon, sawah, sungai, kicau burung, atau langit luas itu yang membuat saya rindu, tapi karena tempat itu adalah rumah, karena rumah adalah sebuah tempat pulang di mana di sana ada orang-orang
yang menunggu kita datang.
YK, 22 Maret 2015
Comments
Post a Comment