Perempuan 5 - Seorang Ibu


Barangkali usia perempuan itu sekitar 30 tahunan. Tubuhnya kecil, tidak terlalu tinggi, wajahnya tirus dengan rambut agak ikal. Warung kecilnya yang sederhana terletak di perempatan jalan yang hampir selalu ramai, tidak jauh dari kampusku.

Aku mampir ke warungnya siang itu, duduk di salah satu dari dua bangku panjang di depan meja. Ada beberapa menu pilihan: tahu gimbal, lontong pecel, gado-gado atau petis kangkung. Aku memutuskan membungkus seporsi lontong pecel untuk dimakan di kos. Perutku lapar usai pulang kuliah di hari yang panas itu.

Seperti biasa –sambil mengulek bumbu kacang di atas cobek batu, perempuan itu akan bercerita atau bertanya tentang beberapa hal. Dia memang selalu senang mengajak bicara para pembelinya –tentang apa saja.

“Anakku yang kedua ini masih kecil, Mba,” katanya. Aku memperhatikan gerakan tangannya yang cepat dan bertenaga. Nanti malam lengannya pasti akan pegal usai seharian mengulek bumbu kacang. “Waktu hamil anak yang nomor dua itu, saya sempat berpikir untuk menggugurkannya.”

Aku terhenyak. Wajah perempuan itu menerawang. Hidup di kota besar memang bukan sesuatu yang bisa dikatakan mudah. Sekalipun begitu dia tidak pernah terlihat letih.

Sekejap kemudian dia kembali menatapku sembari menyunggingkan senyum.

“Tapi saya tidak bisa melakukannya,” dia berujar, “sebab saya seorang ibu.”

Saya turut tersenyum, mendadak teringat ibu saya di rumah.

Rasanya seperti ingin menangis.

YK, 11 Maret 2015: 14.40’


Kisah ini benar-benar saya alami sewaktu masih kuliah di semarang. Saya sungguh heran saya tidak tahu nama ibu itu sekalipun saya sering berkunjung ke warungnya. Ah, saya memang bodoh.

Comments

Popular Posts