Tujuh Hari Kedua: Pohon, Jalan dan Pertautan Takdir



Minggu kedua dimulai dengan sesuatu yang cukup menyenangkan: melihat sawah dan pepohonan.

Ada acara arisan di rumah salah satu rekan guru. Saya datang terlalu awal ke tempat perjanjian dan memutuskan untuk berhenti di tepi jalan dekat sekolah, tempat beberapa petak sawah terhampar seperti seekor semut di antara kerumunan gajah. Saya diam di sana selama hampir sepuluh menit, menyadari betapa senangnya dada saya hanya karena melihat rumpun-rumpun padi dan beberapa ekor capung yang beterbangan di atasnya. Saya merasa dekat dengan sesuatu sekalipun tempat itu tentu saja berbeda. Sebuah komplek perumahan tampak di ujung sawah sementara sesekali pesawat terbang melintas rendah sampai saya bisa membaca nama maskapainya di badan benda itu.

Saya merasa makin takjub ketika kami akhirnya pergi bersama ke daerah Kaliurang melewati perempatan Condong Catur. Ada lebih banyak sawah. Ada lebih banyak tanah kosong. Ada lebih banyak pepohonan (bahkan ada pohon kelapa!). Saya tahu mungkin kedengarannya memang aneh, tapi melihat sawah dan pepohonan setelah seminggu hanya melihat bangunan-bangunan rapat menjadi semacam sesuatu yang ajaib buat saya. Perasaan itu memberikan kesenangan yang membuat saya akhirnya keluar kos dan berputar-putar di sekitar jalan Colombo. Niat utama saya adalah mencari toko buku dan saya sempat salah jalan beberapa kali.

Toko buku yang saya cari berada di dekat sebuah perempatan. Ada dinding kaca di sana, tapi tak bisa dibandingkan dengan dinding kaca toko buku jalan Pemuda, Semarang. Sejauh ini dinding kaca toko buku di dekat Tugu Muda itu adalah yang terbaik. Saya berkeliling sendirian dan membaca-baca buku yang sudah tidak disegel (beginilah hobi saya di toko buku sementara belum ada dana cukup untuk berbelanja). Sore itu berakhir baik setelah saya sempat salah jalan ketika pulang (saya malah sampai di Tugu Yogya).

Tentang keadaan di tempat kerja –bagaimana suasana lingkungan dan karakter siswa-siswa saya, sepertinya belum perlu saya ceritakan. Saya hanya bisa berkata bahwa saya sudah mulai terbiasa dengan jalan berangkat-pulang dan sudah tidak tersesat lagi di daerah komplek tempat saya ngekos. Saya selalu berangkat pagi-pagi (kadang pukul 06.00, maksimal pukul 06.15) karena saya lebih suka jika suasana jalan masih lumayan sepi. Kadang-kadang jika mendung, lampu jalan bahkan masih menyala ketika saya berangkat. Saya memotong jalan lewat SMA De Brito untuk menghindari pasar Demangan. Ketika pulang barulah saya harus melewati jalan itu dan setiap lampu merah membuat saya tahu betapa padatnya jalanan Yogya. Jarak yang bisa ditempuh dalam lima menit di kota kecil saya bisa menjadi lima belas menit atau lebih.

Saya mulai lebih sering makan karena ada teman yang mengajak saya makan –baik teman kerja maupun teman kos. Saya terbiasa dengan makanan a la anak kos di Semarang dan hampir tidak ada yang sama di sini.

Akhir pekan ditutup dengan lebih menyenangkan karena sahabat saya, Dewi, datang dari Gamping untuk menginap. Kami keluar Sabtu sore tanpa tujuan yang jelas, hanya ingin berputar-putar di sekitar Tugu Yogya. Kenyataan bahwa Malioboro tidak terlalu jauh dari tempat itu membuat saya cukup terkejut. Malam Minggu yang cerah dan ramai kami lewatkan di jalan itu bersama ribuan orang yang lain. Kami makan seporsi bakwan kawi di pinggir jalan sembari mengamati manusia dan kendaraan yang lewat, lampu jalanan yang mulai menyala dan juga warna langit.

Pertanyaan muncul kemudian ketika kami belum tahu jalan pulang (jalan searah di kota ini membuat kami tahu bahwa jalan datang dan jalan pulang tidak selalu sama). Mengandalkan GPS di ponsel Dewi, kami pun mengambil jalan ke arah Taman Pintar, berbelok di sebuah hotel dan berbelok lagi beberapa kali . Setelah sempat berputar dua kali di Kotabaru (saya baru tahu jalan di sana membentuk semacam lingkaran), akhirnya kami berhasil sampai di kos dan tertawa-tawa bersama.

Minggu pagi menjadi lebih menggelikan lagi ketika jalan satu-satunya yang kami tahu menuju Malioboro (lewat Tugu Yogya) ternyata ditutup karena car free day. Kami pun berputar-putar sambil terbahak sepanjang jalan. Beginilah kira-kira rute yang kami lewati: Sagan – bundaran UGM – perempatan perpustakaan kota – belok kiri karena arah ke Tugu Yogya ditutup – putar arah kembali ke perempatan – saya malah ambil belok kanan yang membuat kami kembali ke arah bundaran UGM – putar arah kembali ke perempatan – belok kiri lagi entah ke mana – harus belok kiri lagi karena jalan searah, ternyata sampai di Kotabaru (SMP Kridosono) –  malah belok kanan lurus yang membuat kami kembali ke Kotabaru – akhirnya ambil kiri – kampus UKDW – perempatan Galeria – saya ambil lurus lewat Sagan, kembali ke jalan Colombo menuju pasar Demangan lalu belok kanan (saya pikir saya pernah melihat papan arah ke Tugu Yogya di situ) – Dewi curiga kalau jalan itu mengarah ke perempatan Galeria dan ternyata benar (kami tertawa keras sekali sepanjang jalan) – dari perempatan itu kami ambil lurus – sampai lagi di Kotabaru, ambil kanan lalu coba-coba belok kiri dan sampailah kami di Malioboro.

Betapa ajaibnya jalan searah yang berkelok macam badan ular ini! Sejak dulu kemampuan saya dalam mengenali arah dan ruang memang sangat buruk, jadi mungkin pelan-pelan saja baru saya bisa paham jalan-jalan di kota ini. Begitu banyaknya jalan searah dan pos polisi membuat perjalanan jadi cukup menegangkan buat seorang pemula macam saya.

Pukul 10 lebih kami sarapan lontong pecel di depan Pasar Beringharjo sebelum kemudian kami masuk ke pasar untuk tujuan sebenarnya hari itu: mencari kebaya lurik yang akan saya pakai tanggal 20 nanti dalam rangka ulang tahun Yogya. Ternyata memang banyak yang mencari kebaya lurik ataupun surjan untuk acara itu. Saya lega usai berhasil mendapatkan sebuah kebaya lurik warna hijau. Kami berjalan-jalan lagi di sepanjang Malioboro, masuk mall hanya untuk membeli es krim, sholat di masjid dan duduk-duduk di depan keraton sampai hari agak sore sambil makan bakso tusuk.

Saya bisa mengatakan bahwa minggu ini berakhir dengan cukup baik. Rasanya menyenangkan dan saya tahu bahwa teman adalah salah satu hal paling penting yang saya butuhkan. Bersama seorang teman, saya bisa menertawakan kekonyolan tersesat di jalanan kota. Sambil bercanda, saya katakan pada teman saya itu bahwa mencari jalan di kota ini seperti mencari jodoh –berputar-putar dan membingungkan. Setelah saya pikir-pikir lagi, seperti kehidupan adalah perumpamaan yang lebih tepat. Kadangkala kita terbawa arus karena memang tidak paham arah dan tujuan. Kadangkala kita dihadapkan pada beberapa pilihan di persimpangan. Kadangkala usai memilih satu jalan, kita tidak bisa lagi berputar arah. Seringkali kesabaran kita diuji ketika menemui lampu merah dan mesti berdesakan dengan kendaraan lain. Seringkali kita akan menemukan kejutan-kejutan seperti ketika menemukan jalan pintas menuju suatu tempat. Jalanan kota yang saling silang dan membelit ini mirip dengan pertautan takdir manusia, bukan?

Ah. Lagi-lagi saya berlebihan. Anggap saja hanya sedang ingin mengisi waktu luang.

YK, 15 Maret 2015




Comments

Post a Comment

Popular Posts