Tujuh Hari Keempat: Salah Satu Hal Terbaik dari Hal-Hal Baik

image from http://swaragamafm.com/new/wp-content/uploads/2015/02/sunmor.jpg
Saya pikir tidak ada yang terlalu istimewa minggu ini, tapi akhir pekan berhasil memberikan hal-hal menyenangkan.

Setiap hari selalu dimulai dengan sebuah kecemasan pada hal-hal yang belum jelas. Apa yang akan terjadi hari ini? Apa yang akan saya hadapi hari ini? Apakah saya akan melakukan segala sesuatunya dengan baik? Atau saya akan mengacaukan beberapa hal? Setiap tatapan membuat saya waspada, kadang bahkan curiga –atau malah sedikit takut. Barangkali kepercayaan diri saya yang kerdil memang menyusut beberapa persen dan saya butuh beberapa hal untuk memperbaikinya.

Saya hanya bisa percaya pada diri saya sendiri, pada Tuhan dan pada orang-orang baik yang diberikan-Nya di sekitar saya.

Ibu menelpon beberapa malam kemarin dan kami menghabiskan waktu hampir dua jam untuk mengobrol. Selalu menjadi hal yang menyedihkan buat saya jika mendengar kaki ayah sakit atau punggung ibu pegal dan saya tidak ada di sana untuk sekedar memijat mereka atau membantu melakukan beberapa pekerjaan kecil di rumah. Selagi ibu  bercerita saya selalu menangis diam-diam tanpa suara agar ibu tidak mendengarnya.

Ibu selesai menelpon pukul setengah sembilan malam, hujan turun dan saya pun batal keluar untuk mencari makan. Hari itu saya tidak makan lagi. Barangkali kalau saya menimbang berat badan sekarang, bobot saya sudah turun barang satu kilo. Saya tidak pernah sarapan karena bagi saya yang paling penting adalah berangkat pagi untuk menghindari kepadatan jalan. Saya malas makan di tempat kerja –rasanya canggung kalau makan sendirian, masih saja. Kadang-kadang saya membeli makan saat pulang kerja, satu kali untuk seharian itu. Kebiasaan buruk, memang. Saya harus memaksa diri untuk menghentikannya.

Kamis pagi anak-anak belajar di rumah lebih awal dan kami mengikuti seminar matematika di kampus Universitas Sanata Dharma. Saya menemukan beberapa hal baru tentang orang-orang di sekitar dan itu cukup membuat lega. Acara berakhir sekitar pukul setengah empat dan hujan turun seperti biasanya.

Seperti tiga minggu sebelumnya, saya masih belum berminat untuk bercerita banyak tentang anak-anak atau tempat kerja. Ada sesuatu yang entah kenapa membuatnya sulit untuk dituliskan. Saya harus tetap percaya bahwa anak-anak tetaplah anak-anak seperti apapun wujud dan lingkungan mereka. Anak-anak, makhluk yang sejak dulu membuat saya selalu jatuh cinta. Anak-anak yang ini seharusnya juga.

Ada seorang gadis kecil bernama Vira yang membuat saya tersentuh untuk pertama kalinya di tempat itu.

Hari Sabtu kemarin guru kelas 3B sakit dan saya menggantikan beliau di kelasnya. Vira sempat bertengkar dengan teman sebangkunya dan menangis serta murung sepanjang hari itu. Saya bahkan tidak berhasil membujuknya makan (padahal perutnya sakit), pergi ke UKS, tidak berhasil membujuknya melakukan apapun. Dia hanya diam dan malah hampir menangis lagi setiap kali dibujuk.

Pukul sepuluh pelajaran usai. Anak-anak mengikuti kegiatan Pramuka bersama pembina dan saya kembali gagal membujuk Vira agar tidak usah ikut Pramuka jika perutnya masih sakit. Saya hanya berhasil membujuknya agar pindah barisan ke tempat yang lebih teduh sebelum akhirnya saya pergi ke kantor.

Saya tengah mengurus suatu berkas ketika mendengar ada siswa yang mencari saya. Seorang guru pun memanggil saya dan entah kenapa saya merasa cemas. Bahkan anak-anak pun bisa membuat saya takut bahwa hari itu saya telah melakukan sesuatu yang salah.

Vira berdiri di depan pintu bersama seorang temannya.

“Ada apa, Vira?” tanya saya.

Nggak papa, Bu,” jawabnya. “Cuma mau salim.”

Kegiatan Pramuka sudah selesai dan mereka mencari saya ke kantor untuk berjabat tangan dan berpamitan.

Saya tidak bisa menggambarkan perasaan saya yang memang sering hiperbolis.

Sungguh sangat sederhana, tapi di tempat ini hal kecil itu berarti banyak buat saya.

Rasa senang itu saya bawa sampai pulang ke kos. Sesuai rencana, siang itu saya pergi ke kos Dewi di daerah Gamping untuk menginap di sana. Saya belum tahu jalan, tapi rutenya cukup mudah sehingga saya tidak tersesat. Hujan turun agak deras di daerah Godean dan saya bersyukur karena memakai sandal jepit dan sudah membawa jas hujan. Dengan jumlah lampu merah sekitar delapan atau sembilan, jarak Samirono-Gamping (daerah Patukan) bisa ditempuh sekitar setengah jam. Berarti sebenarnya jarak kos kami memang dekat saja.

Saya kembali terpesona seperti ketika saya pergi ke daerah Kaliurang. Bahkan Gamping terasa lebih ‘ndesani’ dengan banyaknya pohon pisang, sawah, suara jangkrik dan kicauan burung. Sekalipun begitu ketika kami berjalan-jalan malam itu (di sekitar jalan dekat kantor kecamatan Gamping), daerah itu tetap ramai dan banyak toko serta warung makan. Saya berkata pada Dewi bahwa menurut saya, untuk sementara ini Gamping adalah tempat paling ideal jika ingin membangun rumah.

Kami memutuskan untuk makan mi ayam dan tidak kecewa karena rasanya enak. Hujan sudah tinggal gerimis ketika usai makan kami memutuskan untuk masuk ke sebuah toko pakaian dan cukup senang hanya dengan melihat ini-itu dan berencana membeli ini-itu jika sudah punya cukup anggaran. Ternyata ada stationery juga di toko itu dan saya membeli beberapa alat tulis seperti penghapus dan penggaris karena sejak dulu saya memang tidak telaten memiliki alat-alat tulis semacam itu hingga sering kerepotan sendiri.

Minggu pagi sangat cerah dan pukul tujuh kami berangkat ke Sunmor (Sunday Morning) di sekitar kampus UGM-UNY. Dewi janjian dengan teman SMA-nya di sana dan saya juga penasaran seperti apa sebenarnya Sunmor yang juga pernah disebutkan beberapa teman saya itu.

Kami sempat berhenti di sekitar gedung kampus pascasarjana UGM (karena tidak tahu jalan) dan malah terpana mengawasi sekawanan burung yang hinggap di pohon-pohon besar. Kampus kami dulu juga hijau, tapi kali ini kami berada di tengah kota dan kehijauan itu rasanya jadi lebih memukau.

Ternyata Sunmor adalah semacam pasar pagi yang hanya ada hari minggu dari pukul 06.00 sampai pukul 11.00. Kami menyusuri sepanjang jalan (yang seperti tak ada ujungnya) dan girang melihat ini-itu (yang belum bisa terbeli). Sungguh senang melihat semua barang yang seolah-olah ada di sana, mulai dari macam-macam menu sarapan (gudeg, lontong sayur, nasi liwet, soto kudus, nasi uduk dll), jajanan (jajanan korea, takoyaki, donat bakar, sosis panggang, cimol, bakso tusuk, tahu gejrot, jadah tempe, otak-otak bakar, leker, es potong, es krim goreng, es pisang hijau, jananan pasar, jamur crispy, kebab, roti maryam, dll), pakaian, handuk, bantal, tirai jendela, sepatu, jilbab, aksesoris, kotak kado, tas, dan masih banyak lagi (bahkan ada stand barang-barang anime dan saya hampir hilang kendali melihat poster Kurono no Basuke dan RiRen –Rivaille-Eren dari Shingeki no Kyojin). Hari makin siang, udara makin panas dan di beberapa bagian kami harus benar-benar berdesakan macam di Malioboro dan lorong-lorong pasar Beringharjo. Kami berhenti melihat ini-itu dan saya berakhir hanya dengan membeli sebungkus cimol dan segelas es teh. Otak saya agak tersendat menyusun skala prioritas dan saya sadar harus bisa menahan diri dari apa-apa yang sekiranya belum terlalu penting.

(Sunmor. Tunggulah. Suatu hari saya dan Dewi pasti datang lagi).

Kami sampai di kos Dewi sekitar pukul 11.00 dan keluarga Dewi dari Temanggung sudah sampai di sana untuk berkunjung. Saya ikut makan siang bersama keluarga Dewi dengan masakan ibu Dewi dari rumah (makasih ya Wi, sungguh benar bahwa kebahagiaan anak kos perantauan macam kita ini sederhana saja: dapat makan siang gratis, hehehe).

Saya pulang ke Samirono sekitar pukul 13.00, mencoba lewat jalur yang Dewi dan saya lewati sewaktu menuju ke Sanmor (saya penasaran di mana ujungnya jika saya mengambil jalan lurus terus). Ternyata saya keluar di jalan Gejayan (Affandi) dan saya sempat bingung di bagian manakah jalan tersebut. Saya ambil jalan putar balik karena menurut feeling dan perkiraan, ruas jalan itu mengarah ke ringroad. Ternyata benar, saya melewati halte bus trans Sanata Dharma dan begitu melihat lampu merah pertigaan arah kampus UNY, saya tahu saya mengambil jalan yang benar.

Minggu sore saya tutup dengan bermalas-malasan (oh! Saya memang begini, jujur, tapi saya juga mencuci seember pakaian dan sudah menyelesaikan tugas dari tempat kerja yang bahkan saya bawa ke kos Dewi).

Bertemu dengan teman di akhir pekan benar-benar obat mujarab untuk kepenatan selama satu minggu (dan kurangnya komunikasi dengan manusia di tempat kos yang lebih sering sepi). Kami benar-benar tertarik untuk memahami jalanan Jogja yang memang pada dasarnya menarik, tapi kami sama-sama sepakat bahwa melakukannya sendirian membuat hal itu jadi kurang menarik.

Tujuh hari terakhir di bulan Maret ini ingin saya tutup dengan mengatakan bahwa memiliki seorang teman yang benar-benar teman adalah salah satu hal terbaik dari hal-hal baik yang dikaruniakan Tuhan pada hidup manusia.

YK, 29 Maret 2015: 18.46’

*sambil memutar musik agar tidak sepi, usai makan duku dan roti oleh-oleh dari bapak dan ibunya dewi

Comments

Popular Posts