Perempuan 4 - Jarak
“Tenanglah.
Aku baik-baik saja.”
Indira
duduk di depan cermin. Ponsel menempel di telinga kiri, menempel dengan bahu.
“Kau yakin tidak ada yang terluka?” suara
di ujung telfon bertanya lagi, “Setidaknya
pergilah ke dokter.”
Gadis
itu meraih earphone di atas meja kecil tak jauh darinya, memasangnya di ponsel
sambil menahan tawa.
“Come
on, Dika,” tangannya memilih-milih lipstik di dalam kotak make-upnya, “Taksiku
sedang berhenti dan ada motor yang menabaraknya dari belakang. Aku tidak
apa-apa. Kalau memang sebegitu inginnya merasa cemas, cemaskan saja pengendara
sepeda motor itu.”
Dika
tidak tertawa sama sekali oleh lelucon Indira. Terdengar lelaki itu malah
menghela napas pelan.
“Kau dengar bunyi itu?” tanyanya,
barangkali mencoba mengalihkan pembicaraan dari topik yang tidak menyenangkan
baginya itu, “Di sini hujan.”
Indira
hanya menggumam. Dia masih belum menyelesaikan polesan lipstik merah di
bibirnya.
Selama
beberapa detik tidak ada yang berbicara.
“Ndi.”
Terdengar
Dika memanggil. Indira bergumam lagi, kali ini sambil merapikan rambutnya.
“Kamu...”
Dika
terdiam lagi. Indira bisa mendengar bunyi hujan dengan cukup jelas. Barangkali
Dika berada di dekat jendela.
“Kamu benar-benar tidak bisa pulang dan
pindah kerja ke sini?”
Tangan
Indira berhenti merapikan rambutnya. Gadis itu terdiam memandangi pantulan
dirinya sendiri di dalam cermin.
“Dika.”
Dia menghela napas. “Kita sudah membicarakan ini berkali-kali. Dan kamu tahu
apa jawabanku.”
Dika
tahu. Dia selalu tahu. Indira yang bekerja keras membangun karirnya dari awal
tidak akan semudah itu melepaskan semuanya setelah apa yang berhasil dicapainya
sekarang. Bahkan demi Dika sekalipun. Atau demi mereka.
“Aku tahu.”
Akhirnya
Dika berucap lirih, terdengar agak putus asa.
“Jadi,”
tangan Indira bergerak meraih botol parfum bening dengan tutup berwarna biru
muda, “Jangan terlalu cemas. Aku tidak apa-apa, sungguh.”
Dika
tidak menjawab. Indira merasakan lelaki itu lebih pendiam malam ini.
“Dik...”
Indira
sudah berdiri dari kursinya, tangan kanan menenteng tas hitam. Dia baru saja
akan menyudahi panggilan telfon itu ketika Dika bersuara lagi.
“Atau...”
Indira
menunggu sambil tetap memandangi dirinya di cermin, memastikan penampilannya
sekali lagi.
“Aku yang harus pindah ke sana?”
Mendadak
Indira kehilangan fokus. Dia terhenyak.
“Aku kangen kamu, Ndi.”
Suara
Dikaterdengar gemetar. Indira masih terpaku. Ini pertama kalinya Dika
melontarkan ide semacam itu.
“Aku kangen kamu,” ulangnya,
“Dan terasa terlalu menyakitkan kalau aku
tidak ada di sana ketika terjadi sesuatu padamu.”
Indira
terduduk lemas lagi di kursi. Ia meremas-remas jari tangannya yang terasa
dingin.
“Aku...” suara
Dika terdengar makin bergetar, “Aku ingin
selalu ada di sana, Ndi. Di dekatmu.”
Indira
membisu. Tanpa sadar dia menyentuh cincin yang melingkari jari manis tangan
kirinya, cincin yang diberikan Dika lima tahun yang lalu sewaktu mereka lulus
kuliah.
Gadis
itu tertunduk. Tenggorokannya tercekat sementara keheningan melingkupi mereka.
Bunyi hujan terdengar makin samar-samar di belakang.
Tiba-tiba
bel apartemennya berbunyi. Hampir saja Indira terlonjak.
“Maaf,
Dik,” katanya pelan, “Aku ada janji makan malam dengan klien. Sepertinya rekan
kantorku sudah datang menjemput. Kita lanjutkan lain kali, ya.”
“Baiklah,” sahut Dika. Dia terdiam
sejenak sebelum berucap lagi, lirih.
“Aku
mencintaimu.”
Indira
menjawabnya dengan gumaman sebelum memutus panggilan dan buru-buru memasukkan
ponselnya ke dalam tas. Gadis itu berjalan cepat menuju ke pintu.
Sebuah
buket scarlet carson adalah hal
pertama yang menyambutnya begitu dia membuka pintu. Warna putih dari kelopak gyshopilla mengisi sela-sela buket merah
itu. Sebuah senyuman adalah hal kedua yang dia lihat.
“Bara...”
Lelaki
itu masih tersenyum sambil mengangsurkan buket bunga yang dipegangnya ke tangan
Indira.
“Untukmu.”
“Terimakasih,”
Indira tersenyum kecil, “Sejak kapan kamu jadi romantis?”
“Jangan
samakan aku malam ini dengan aku yang kemarin-kemarin,” sahut Bara, “Sekarang
hari anniversary kita yang pertama.
Tentu saja aku harus sedikit lebih romantis.”
Indira
tertawa.
Ya.
Malam
ini tidak sama.
Selain
itu ada lagi hal yang berbeda. Gadis itu tidak pernah merasa seberdosa ini
ketika Bara menggenggam tangannya.
Semarang, 22 Februari 2014:
15.31’
*tidak ada yang istimewa tentang cerita ini selain aku menulisnya di kertas folio kemudian baru mengetiknya di netbook. barangkali beberapa pengamatan telah menjadi inspirasi.
Comments
Post a Comment