Perempuan 1 - Segelas Kopi

            “Kenapa?”

Aku berhenti di depannya yang sedang berkutat dengan ponsel. Dia melirikku sebentar, lalu sibuk lagi. Aku paham. Kalau dia memasang tampang seperti itu, artinya sedang ada sesuatu yang terjadi antara dia dan Zi. Biasanya dia akan bercerita sendiri, jadi kubiarkan dia sibuk dengan ponselnya.

Aku duduk di sampingnya, merasakan tanah berumput yang tebal dan agak basah. Aku sendiri lalu pura-pura sibuk memencet-mencet ponselku, padahal tidak ada siapapun yang kuhubungi atau menghubungiku. Hanya agar aku kelihatan ikut sibuk saja.

Aku mengangkat wajahku ketika kudengar dia menghela napas sambil meletakkan ponselnya sembarangan di atas rumput.

“Apalagi?”

“Biasa.”

Dia tertawa. Hah! Selalu saja seringan itu dia menanggapi rajukan Zi.

“Hal sepele selalu saja dibesar-besarkan,” katanya.

Kurapatkan jaketku. Di sini dingin sekali.

“Paling juga kau yang membesar-besarkan,” ejekku.

Dia tersenyum masam, lalu diam memikirkan entah apa. Mungkin dia berharap sebentar lagi ponselnya berdering, Zi menelfon dan menangis meminta maaf. Aku sudah hafal kelakuan mereka berdua. Selalu seperti itu. Kemudian sebentar lagi berubah menjadi baik-baik saja.

“Aku sudah sangat sabar menghadapinya.”

Dia berkata tanpa menatapku. Seperti berkata pada dirinya sendiri.

Ah....Rama. Sudah berapa kali dia mengatakan itu? Biasanya aku akan selalu menjawab: “Pasti dia juga memikirkan hal yang sama: aku sudah sangat sabar menghadapi Rama.” Dan Rama akan tertawa mendengar itu. Tapi kali ini aku sedang tidak ingin mengatakannya. Kubiarkan Rama larut dengan pikirannya sendiri.

Aku mengamati langit malam yang makin pekat. Di sini hanya ada kami berdua. Teman-teman yang lain barangkali sudah bergelung di bawah selimut masing-masing di dalam villa yang tak jauh dari tempat kami duduk. Libur kali ini sepakat kami isi dengan menikmati hawa dingin di dekat pegunungan, siapa tahu itu bisa menjernihkan otak kami yang masih panas setelah ujian semester yang baru saja berlalu.

Rama tidak mengizinkan Zi ikut bersama kami.

Entahlah.

Kadang-kadang jalan pikiran mereka aneh juga. Atau barangkali bagi mereka itu wajar, hanya saja bagi orang yang berada di luar lingkaran seperti aku, hal itu jadi terlihat aneh.

Rama menghisap rokoknya dalam-dalam. Sesaat kemudian asap putih mengepul keluar dari bibirnya. Aku menoleh sekilas. Berjuta kali pun aku atau Zi atau siapa saja mengingatkannya untuk berhenti atau sekedar mengurangi rokoknya, Rama tidak akan mendengarkan.

“Merokok atau tidak sama saja. Kita akan sama-sama mati.”

Mengingat jawabannya yang selalu seperti itu, aku tidak pernah lagi sok-sok menasihatinya.

“Kau mau lihat bintang yang tidak di langit?”

Tiba-tiba saja Rama bertanya, membuatku berpaling memandangnya.

“Apa?” tanyaku.

Dia tidak memandangku. Dengan tangannya yang bebas, tidak memegang rokok, dia menunjuk ke bawah. Aku menoleh mengikuti arah yang dia tunjukkan. Dari tempat kami duduk di halaman villa yang cukup tinggi ini, kami bisa melihat kerlip lampu-lampu kota yang terhampar di bawah.

Kami diam.

“Itu,” dia menunjuk cahaya lampu-lampu itu, “Seperti bintang.”

Aku mengulum senyum.

Di luar penampilannya yang terkesan asal-asalan dan urakan, kadang-kadang Rama bisa saja mengatakan hal-hal yang agak romantis semacam ini.

“Bintang, ya..?”

 Aku beralih dari cahaya lampu itu pada wajah Rama.

Dia terlihat tenang menghisap rokoknya sambil tetap memandang ke bawah. Orang ini, sudah tiga tahun mengenalnya, tetap saja tindakannya tidak bisa diduga.

“Aku putus.”

Dia datang padaku satu bulan yang lalu sambil mengatakan berita itu dengan ringan, seolah-olah itu hanya kabar kecil semacam dia baru saja bolos kuliah.

“Kapan?”

Sebagai orang yang cukup tahu tentang perjalanan Rama dan Zi selama dua tahun ini, rasanya sayang juga kalau sampai mereka berpisah, sekalipun aku tahu sudah berkali-kali Rama berkata dia ingin putus dengan gadis berwajah sendu itu.

“Sudah dua minggu.”

Rama menjawab dengan santai sambil menghisap rokoknya seperti biasa.

“Paling-paling nanti juga balik lagi,” sahutku enteng.

Mereka sudah biasa seperti itu. Kali ini mungkin tidak akan jauh berbeda.

Rama menggeleng pelan sambil menghunjamkan ujung rokoknya ke dalam asbak.

“Kali ini tidak sama lagi,” katanya pelan. Raut wajahnya agak berubah.

Aku hampir-hampir percaya mereka sudah benar-benar berpisah ketika satu hari kemudian Rama menemuiku sambil mengulum senyum yang sudah kuhafal.

“Bagaimana?” aku basa-basi bertanya.

“Kami balikan.”

Aku tertawa.

“Tadi malam dia cantik sekali.”

Dan Rama mulai senyum-senyum lagi.

Jadi kalau sekarang makhluk itu memasang raut agak kelam sambil diam dan begitu khusyuk menghabiskan rokoknya, aku tetap yakin beberapa hari lagi, atau bahkan mungkin beberapa jam lagi dia sudah akan kembali pada tabiatnya yang semula. Aku sendiri heran laki-laki semacam Rama ini bisa galau juga gara-gara perempuan. Tapi bagaimanapun, dia juga sama-sama manusia sepertiku.

Dia mencintai Zi, aku tahu benar itu.

Yang tidak aku tahu sampai sekarang adalah kenapa dulu dadaku terasa agak nyeri ketika aku mengetahuinya.

“Dingin, ya.”

Rama merapatkan jaket hitamnya. Aku menoleh sambil tersenyum.

“Jaketmu terlalu tipis.”

Dia tertawa kecil sambil menyalakan rokoknya yang kesekian.

“Kau tahu di mana tempat yang paling indah di dunia ini?”

Kali ini dia bertanya sambil menatapku. Aku menggeleng.

“Memangnya di mana?”

Bukannya menjawab pertanyaanku, Rama malah mendongak menatap langit sambil mengepulkan asap rokoknya ke udara.

Aku berhenti menunggu dia menjawab dan meraih gelas kopi yang tadi kubawa. Kutenggak sedikit kopi hitam itu, merasakan kehangatannya menjalari tenggorokanku.

“Kau bawa kopi?”

Dia melirikku.

“Wah, curang kau tidak bilang-bilang.”

Tanpa permisi, dia merebut gelas itu dari tanganku dan meminumnya. Aku memperhatikannya hampir tanpa berkedip.

“Kemanisan.”

Dia meletakkan gelas itu di sampingnya.

Aku menemukan jawabanku sendiri. Barangkali, ya, barangkali saja tempat terindah itu ada di sini, sekarang, di samping Rama.

Dia laki-laki pertama yang minum kopi dari gelas yang sama denganku.

Semarang, 30 November 2013



Cerpen ini mulai kutulis mulai tahun 2012, baru selesai sekarang -_-
Terinspirasi dari satu kejadian kecil. Beberapa kalimat dan kejadian benar-benar pernah diucapkan temanku itu.
Benar, memang ada orang semacam itu, laki-laki pertama yang minum kopi dari gelasku ~(*w*~) (~*w*)~ (sekalipun aku tidak punya perasaan istimewa padanya, hal itu cukup menginspirasi sampai aku bisa menulis cerita ini).


Barangkali ini bukan cerita bertema “cinta diam-diam” atau “cinta bertepuk sebelah tangan” yang akan kalian temukan. Tanpa sadar, tema itu adalah tema yang sangat sering kutulis. Barangkali karena aku terlalu sering mengalaminya?

Comments

Popular Posts