Perempuan 2 - (Bukan) Sang Penyair
Puisi memang tidak
bisa dimakan.
Tapi sebuah harapan
yang diam-diam selalu hidup dalam keinginan terdalamnya adalah agar dia jatuh
cinta pada lelaki yang senang berpuisi. Gadis ini bukan penyair, tentu saja.
Dan dia tidak berharap akan menemukan seorang penyair dalam kehidupan nyatanya.
Meskipun begitu, dia tetap memelihara keinginannya seperti menumbuhkan sebatang
pohon dari satu butir biji yang amat kecil.
Setiap kali Ibunya
menemukan orang yang menurutnya baik untuknya, setiap kali pula dia
menggelengkan kepala. Ketika ibunya bertanya kenapa, dia menahan diri untuk
tidak menjawab dengan kalimat: “Sebab dia tidak menulis puisi, Ibu.” Dia
memilih untuk hanya menggeleng dan membiarkan Ibunya menghela napas kecewa.
Sebab dia tahu dalam dunia pemahaman Ibunya alasan yang akan dia lontarkan
bahkan tidak akan dipertimbangkan sebagai sebuah alasan yang bisa diterima.
Maka dia terus
hidup dengan memelihara harapan itu di dalam hatinya sekalipun dia tidak
benar-benar yakin bahwa takdir itu akan menjumpainya.
Setidaknya sampai
sore itu, ketika dia sedang duduk menunggu keretanya seperti hari-hari yang
lain.
Dia duduk di bangku
panjang dengan banyak orang lalu lalang dan kebisingan yang memenuhi
pendengarannya. Ada begitu banyak orang, bukan? Dan dia tidak bisa menghindari
pertanyaan dalam kepalanya kenapa di antara ratusan orang itu tidak ada orang
yang dia cari. Dia menengok jam tangannya dan kemudian memperhatikan kembali
jalur kereta di depannya. Sesekali dia menoleh pada orang yang lewat. Dia
begitu bosan sebelum akhirnya matanya tertumbuk pada satu sosok yang duduk di
bangku panjang lain tak jauh dari bangku panjang yang dia duduki.
Jika benar itu
adalah takdir, maka takdirlah yang menuntunnya ketika itu.
Dia juga tidak tahu
kenapa matanya tertambat ke sana, kepada satu sosok yang bahkan wajahnya hanya
terlihat dari samping. Tapi baginya sosok itu seperti mengaburkan segala
sesuatu yang ada di sana sehingga hanya dia yang terlihat dengan jelas, hanya
dia yang menjadi pusat gravitasi di antara ratusan orang yang lalu lalang.
Matanya terus
tertambat pada wajah tirus yang tertunduk menekuri buku di pangkuannya itu.
Tangan kanannya memegang pena, menulis entah apa. Apakah dia tertarik karena
buku dan pena itu? Entahlah. Dia bahkan tidak tahu apa yang sedang ditulis
sosok itu. Bisa jadi dia menulis tentang pekerjaannya. Bisa juga dia menulis
agenda. Atau mungkin dia hanya iseng mencorat-coret buku karena sedang bosan.
Tiba-tiba sosok itu
mengangkat wajahnya, mendongak seperti sedang memandang langit di atas jalur
kereta. Mata gadis itu masih terpaku di sana, mengamati wajah pusat
gravitasinya yang kini terlihat lebih jelas. Dia mengingat wajah itu baik-baik,
bertanya-tanya apa yang membuatnya terlihat menarik.
Kemudian kereta itu
datang.
Itu bukan kereta
yang dia tunggu, tapi sosok itu ternyata menunggu kereta yang baru saja tiba.
Dia segera bangkit dan memasukkan buku bersampul hitam itu ke dalam tasnya
dengan tergesa-gesa. Dan buku itu jatuh tanpa dia sadari.
Seperti tanpa sadar
pula, gadis itu berdiri, tapi jaraknya terlalu jauh untuk mengejar sosok yang
sudah menghilang ke balik pintu kereta yang penuh sesak itu. Dia hanya berdiri
terpaku dan menunduk memandang buku bersampul hitam yang kini tergeletak di
lantai. Akhirnya dia memungut buku itu.
Dia duduk di bangku
panjang tempat sosok itu duduk sebelumnya. Selama beberapa detik dia
menimang-nimang buku itu, berpikir apakah dia harus membukanya atau tidak.
Dengan alasan mungkin akan ada alamat atau apapun di dalam buku itu yang bisa
merujuk kepada pemiliknya, akhirnya gadis itu memutuskan untuk membuka buku di
pangkuannya.
Matanya membulat
pada halaman pertama.
Dadanya berdebar
makin kencang ketika dia terus membaca halaman-halaman selanjutnya. Pada
halaman terakhir, dia menyentuh buku itu dengan telunjuknya yang gemetar. Dia
bisa merasakan tinta itu masih basah. Benar, itu puisi. Sosok yang dilihatnya
tadi sedang duduk di sana sambil menulis puisi.
Gadis itu tersenyum
bahkan sebelum dia bisa menyadarinya.
Didekapnya buku itu
ke dadanya yang masih berdebar, seakan-akan buku itu adalah harta paling
berharga yang pernah dia temukan. Aku
menemukannya, aku menemukannya. Hatinya terus berbisik dan dia tidak bisa
berhenti tersenyum, sekalipun dia tidak tahu kapan dia akan bertemu sosok itu
lagi. Bahkan dia tidak tahu, apakah mereka akan bertemu lagi.
Tapi sekali lagi,
tanpa alasan yang jelas, dia memelihara keyakinan itu: bahwa mereka akan
bertemu. Suatu hari nanti.
Dengan bekal
kepercayaannya pada takdir, dia datang ke tempat itu setiap hari. Dia duduk di
sana, mengamati kereta-kereta yang berhenti dan berharap sosok yang ditunggunya
turun dari salah satu gerbong itu. Dia melihat ratusan orang, menunggu ratusan
hari dengan keyakinan yang sama.
Tapi pemilik buku
itu tidak pernah kembali untuk mencari bukunya yang hilang.
Dia tidak pernah
melihatnya lagi.
***
While listening to "I Can Wait Forever" - Air Supply
*Yang bisa kukatakan tentang gadis ini hanya satu kata:
bodoh.
Semoga aku tidak sebodoh itu selama menunggumu
menemukanku.
Comments
Post a Comment