Tujuh Hari Ketigabelas: Pulang
Pada hari Selasa, sekolah kami melaksanakan pembelajaran di
luar kelas untuk kelas IV dan V. Siswa kelas I sampai III belajar di rumah
sejak pukul sembilan pagi. Kami berangkat dengan empat bus kota menuju
Kasongan, Bantul. Jika kau berada di kota ini, kau tentu tidak perlu bingung
harus pergi ke mana. Rasanya semua hal di Yogya bisa dijadikan tempat wisata.
image from http://jogjatrip.com//media/objek/aea7b140d28a978b7e5aec3b0da675d7.jpg |
Saya sendiri belum pernah mengunjungi Kasongan. Ternyata
daerah tersebut adalah penghasil kerajinan gerabah dalam berbagai bentuk. Hari
itu anak-anak diajak bermain tanah liat untuk membuat sesuatu. Mereka terlihat
senang. Maklum, bisa dibilang sekolah kami ada di kota dan jarang sekali mereka
bisa bermain tanah liat. Lain dengan di kampung saya, tentu saja. Tugas untuk
membuat kerajinan dari tanah liat bisa diberikan pada anak-anak karena toh
setiap hari mereka bermain dengannya.
Anak-anak membuat berbagai macam benda dan mereka meminta
saya ikut mencoba juga. Bukannya saya malas tangan saya kotor, tapi sudah saya
ceritakan bahwa saya paling payah dalam dua hal: olahraga dan kesenian.
Akhirnya saya megambil segumpal tanah liat dan membuat sebuah benda absurd yang
tidak bisa dikatakan apa wujud sebenarnya.
Sekitar pukul sebelas saya mendapat kabar dari Paman saya
yang ada di jokteng Wetan bahwa mbah putri (simbah keponakan saya, Nisa dan
Zahwa), meninggal dunia. Saya berniat izin lebih dulu untuk pergi ke sana, tapi
ternyata tidak ada kendaraan umum yang lewat di dekat tempat kami berada.
Akhirnya saya menunggu hingga acara pembelajaran selesai, anak-anak makan siang
dan solat. Saya ikut bus sekolah dan turun di perempatan Parangtritis, kemudian
naik bus umum ke Jokteng. Sungguh saya menyesal sekali karena sebenarnya Jumat
kemarin saya ingin datang ke Jokteng, tapi niat itu tidak saya laksanakan. Simbah
memang sudah lama sakit ginjal, seminggu dua kali beliau harus cuci darah di
rumah sakit. Paman bilang sejak Senin pagi simbah dirawat di rumah sakit
sebelum akhirnya Selasa pagi beliau dipanggil ke hadapan-Nya. Bu Lik saya
(ibunya anak-anak) juga baru meninggal dunia bulan Januari kemarin. Dengan
perginya simbah, otomatis tidak ada perempuan lagi di rumah anak-anak dan itu
membuat saya sedih. Dua keponakan saya masih kecil, tapi mereka dituntut
keadaan untuk bisa menjadi lebih dewasa.
Hujan turun cukup deras ketika jenazah dibawa untuk
dimakamkan di pemakaman Gabusan, Bantul –tempat yang sama dengan persemayaman
simbah kakung dan juga bu lik. Saya tidak ikut ke sana karena sudah pukul empat
sore. Saya kembali naik bus trans dan butuh satu jam untuk sampai di Ambarukmo,
maklum jam padat dan jalur bus yang berputar-putar. Saya mengambil motor yang
saya titipkan di rumah Pak Mar dan kemudian pulang, menemukan kos saya masih
gelap gulita –sepertinya belum ada satu orang pun yang pulang.
Rabu pagi keluarga saya dari Kebumen datang ke rumah paman.
Saya izin dari sekolah pukul setengah dua belas untuk menemui ibu. Ibu
membawakan salah satu seragam saya yang baru selesai dijahit, dan tentu saja
juga membawakan sayur favorit saya. Saya pulang ke kos sekitar pukul setengah
tiga karena sore itu ada jadwal les.
Minggu depan akan mulai cukup sibuk dengan persiapan
penerimaan siswa baru, disusul Persami kelas VI, kemudian minggu berikutnya
mulai TKM (yang berarti ada pekerjaan mengoreksi dan menyusun rapor), perpisahan
kelas VI, seleksi dan pengumuman penerimaan siswa baru (bersamaan dengan
pengumuman hasil ujian kelas VI) dan terakhir pembagian rapor. Di pertengahan
itu semua bulan Ramadhan pertama saya di Yogya akan datang. Tapi biarlah
kesibukan besok untuk besok saja. Saya menantikan kepulangan saya di akhir
minggu ini.
Begitu ATM saya tidak kosong lagi pada hari Rabu, hari
berikutnya saya pergi ke swalayan untuk membeli beberapa kebutuhan. Saya ingat
Umami sudah menagih janji saya untuk membelikannya boneka. Jadi malam itu saya
melihat-lihat boneka dan memilih sebuah boneka anjing berwarna coklat yang
cukup besar. Seumur-umur belum pernah ada orang yang memberikan boneka untuk
saya dan saya juga tidak pernah membeli boneka selain untuk Umami. Malam itu
saya mencoba tidur sambil memeluk boneka itu, dan ternyata cukup menyenangkan.
Rasanya seperti memeluk seorang bocah. Malam berikutnya saya pergi ke Galeria,
mencari tas untuk adik saya yang satu lagi. Saya pikir saya harus cukup adil
agar tidak ada yang iri (sekalipun isi kantong saya lumayan terkuras, tapi saya
tidak bisa memberikan kesenangan kecil dalam bentuk lain).
Saya beruntung karena Sabtu sore itu tidak hujan, jadi
boneka yang saya tenteng-tenteng cukup aman. Motor saya titipkan di dekat pasar
Gamping dan sebelum maghrib saya sudah sampai di rumah. Akhirnya kami bisa
mengadakan syukuran kecil-kecilan yang sudah lama diinginkan ibu dan juga saja
(sejak wisuda, sampai akhirnya saya diterima bekerja di Yogya). Jadi malam itu
ada saudara yang membantu memasak dan Minggu pagi kesibukan kecil itu masih
berlanjut. Lucu sekali melihat anak-anak kecil berkeliaran dan ribut ingin ikut
mengantarkan makanan ke tentangga (dengan hasil Umami beberapa kali menangis
dan Nafis beberapa kali ngambek). Saya gagal nonton film favorit saya pagi itu
(iya, film yang itu, Bima Satria Garuda), karena saya ditugasi mengantarkan
makanan ke rumah guru SD saya dulu. Saya sempat ngobrol-ngobrol dengan beliau
dan ternyata masa-masa saya menjadi siswa berseragam merah putih itu memang
sudah jauh sekali di belakang. Saya jadi membayangkan jika kelak saya mengalami
situasi yang sama: di mana saya adalah seorang guru SD yang bisa duduk bersama
mantan siswa saya yang saat itu sudah besar, sudah lulus kuliah dan bahkan
punya pekerjaan yang sama dengan saya. Pasti menyenangkan.
Dan hari saya juga berakhir dengan menyenangkan. Hari itu saya
mendapatkan sesuatu yang belum pernah saya dapatkan, yang dulu akan membuat
saya tertawa hanya dengan membayangkannya (bagaimanapun
juga, terimakasih). Selalu berat rasanya ketika harus pergi, tapi saya
memang harus pergi. Saya menoleh untuk yang terakhir sebelum naik ke atas bus,
dan di samping segala kesedihan karena harus pergi, saya selalu menyukainya
–senyummu yang penghabisan, yang
sepertinya hanya ditujukan buat saya. Jika adegan itu adalah bagian dari sebuah
film, barangkali saya akan berlari untuk memelukmu. Tapi tidak, hal-hal seperti itu, selain dalam film, hanya akan
terjadi dalam fanfiction yang saya
tulis. Jadi saya tetap naik ke atas bus yang membawa saya kembali Yogya, jauh
dari rumah dan segala hal yang saya cintai di sana.
Tapi saya pasti akan kembali. Saya pasti akan pulang, pulang
dan pulang lagi. Sebab di sanalah rumah saya yang sebenarnya.
YK, 31 Juni 2015
Comments
Post a Comment