Tujuh Hari Keenambelas: Ramadhan
Minggu kemarin melesat seperti anak panah dan saya tidak
sempat menuliskannya karena, yah, ada sesuatu di akhir minggu yang cukup
membuat remuk redam.
Kegalauan ataupun kesedihan, apapun itu, kadang-kadang
berhasil ditutupi ketika saya sibuk. Dan minggu lalu benar-benar sibuk. Hari
Senin ada adik teman kuliah saya, Ayu (yang juga asli Kebumen), datang ke kos
karena akan ikut ujian SPMBPTN di kampus UPN. Bocah ini (namanya de Riska),
datang bersama temannya (yang bernama Amana). Pulang kerja saya menjemput mereka
di halte bus trans jalan Colombo dan kemudian terjadilah kekonyolan. Saya sudah
lupa wajah de Riska karena hanya bertemu sekali saat pernikahan Ayu tahun lalu.
Posisi tepi jalan Colombo dekat halte sungguh tidak strategis untuk parkir
motor sehingga saya terpaksa jalan terus setelah mengirim sms pada Riska. Saya
putar arah ke gerbang utama UNY dan ternyata di sekitar halte cukup banyak
bocah-bocah bertampang baru lulus SMA yang membawa-bawa ransel (kelihatan
sekali mereka adalah calon peserta ujian besok). Dengan pedenya saya berhenti
di dekat seorang bocah perempuan yang sedang pegang-pegang hape dan bertanya
padanya, “De Riska, ya?” Bocah itu menggeleng bingung dan saya melanjutkan
perjalanan ke gerbang UNY. Tepat di bawah jejeran baliho ada dua bocah
perempuan membawa ransel yang sedang ngobrol dengan bapak tukang becak. Kembali
dengan pedenya saya mengampiri mereka dan bertanya “de Riska ya?” Ternyata
bukan lagi. Ketika itulah bocah-bocah yang saya cari justru menemukan saya.
Sore itu saya pergi ke Jokteng mengantar makanan, mengantar
Riska ke UPN mengecek lokasi tes (untunglah saya sudah pernah lewat UPN jadi
tahu letak kampusnya) dan kemudian pergi memberikan les. Paginya saya izin
telat datang ke sekolah untuk mengantar dua bocah ini. Syukurlah mereka bisa
pulang sendiri naik bus trans tanpa tersesat. Mereka berdua pulang ke Kebumen Rabu
siang naik bus trans ke terminal Giwangan. Kehadiran orang lain di kamar kos saya
selalu bisa menjadi hiburan dan pengalih perhatian.
Setiap sore saya pergi memberikan les karena minggu itu TKM
sudah dimulai. Ada bertumpuk amplop untuk dikoreksi dan berderet nilai untuk
diolah. Hari Rabu saya mewakili kepala sekolah ke acara dinas dan entah karena
pikiran saya kosong atau memang karena takdir, saya kena tilang di lampu merah
lapangan Denggung gara-gara melanggar marka jalan. Jumat siang saya menjenguk
teman kerja yang sakit dan kemudian nongkrong di warung soto sambil
ngobrol-ngobrol sampai siang. Hari Sabtu ada acara pelepasan siswa kelas VI
(kami memakai kebaya) dengan segala kejutannya (sempat mati listrik sebelum
acara dimulai, ada juga momen yang membuat saya ingin menangis yaitu ketika
anak-anak memberikan bunga kepada guru kelasnya). Sabtu siang saya pulang dan
akhir minggu kemarin sudah saya tulis di catatan sebelumnya (yang kelihatannya
lebay sekali karena dirundung duka cita).
Belum cukup sampai situ saja.
Minggu siang itu saya kembali ke Yogya bersama adik saya
yang pertama, yang sedang liburan sekolah dan ingin saya ajak main karena dulu
saya belum sempat membawanya ke Semarang. Ternyata ada cobaan lain menanti. Air
kos yang mati sejk hari Sabtu siang, ternyata belum juga menyala ketika saya
pulang. Rasanya benar-benar ingin menangis. Saya sampai di kos menjelang
maghrib, tidak ada air dan saya harus pergi memberikan les. Akhirnya saya pergi
sholat ke pom bensin dan karena saking kesalnya, saya tidak membawa jaket dan
belum sempat makan. Kepala saya berputar-putar, saya kedinginan dan rasanya
ingin muntah. Malam itu hampir pukul sembilan ketika saya pulang ngelesi dan
mengajak adik saya berkeliling mencari makan. Akhirnya kami makan di warung mi
jakarta dekat SMP 1.
Entahlah apakah hari-hari berjalan cepat ataukah lambat.
Saya masih menangis ketika sendirian dan tersenyum di tengah
keramaian. Seperti membawa-bawa sebongkah batu yang mengganjal di dalam dada
tapi harus selalu menyembunyikannya.
Senin siang kami mengunjungi Jokteng Wetan dan membuat janji
untuk jalan-jalan bersama Nisa dan Wawa Selasa siang. Saya mengajak adik saya jalan-jalan
ke mall Malioboro. Ternyata sedang ada pentas menyanyi anak-anak dan agak
sedikit terkejut ketika ada dua siswa saya yang ikut menyanyi. Akhirnya kami
duduk di depan panggung sampai acara selesai karena bocah-bocah yang tampil
begitu unyu. Pikiran saya memang sedang kurang waras, jadi saya menghibur diri
dengan berbelanja beberapa barang (padahal memang barang-barang itu sudah masuk
rencana belanja, sih). Kami pulang usai maghrib dan makan nasi bakar di warung
favorit saya yang baru di dekat kampus UKDW.
Selasa sore lebih melelahkan lagi, tapi cukup menyenangkan.
Pukul setengah tiga kami sampai di Jokteng dan anak-anak
sudah siap berangkat. Kami naik bus trans dan saya salah perkiraan karena harus
turun di halte Taman Pintar (yang itu berarti cukup jauh berjalan kaki ke toko
yang saya tuju). Saya benar-benar lupa kalau Malioboro adalah jalan searah dan
untuk turun di halte Malioboro-nya saya harus lebih dulu ikut bus trans
berkeliling sampai mungkin separuh kota.
Cuaca sore itu masih terik (sementara malam selalu dingin).
Saya khawatir Wawa akan menangis karena lelah, tapi ternyata tidak. Kami mampir
di sebuah toko sepatu. Tahun ini Nisa akan masuk SMP dan saya ingin memberinya
hadiah sepasang sepatu baru. Belum ada sepatu yang dia suka, jadi kami berjalan
lagi ke sebuah mall. Akhirnya
sepasang sepatu hitam dengan sedikit aksen ungu berhasil menarik hati Nisa.
Kami keluar dari mall dengan perut
lapar dan sempat menghabiskan beberapa menit membujuk Wawa agar mau makan bakso
(dia ngotot minta makan fried chicken, padahal
tempatnya lumayan jauh dan kami sudah lelah berjalan kaki). Dengan iming-iming
lain, akhirnya kami berhasil juga membawanya ke warung bakso itu.
Saya menghabiskan waktu di Jokteng sampai maghrib. Adik saya
ingin pergi ke alun-alun kidul, jadi saya membawanya ke sana usai sholat.
Sebelumnya saya sudah pernah ke sana bersama Dewi, tapi waktu itu pagi, jadi
suasananya memang sepi. Sekalipun malam itu bukan malam Minggu, suasana cukup
ramai. Ada banyak jajanan dan makanan. Saya baru lihat juga kalau warung tenda
di pinggir alun-alun menggelar lesehan di atas rumput dengan lilin-lilin
menerangi meja (kemudian banyak yang duduk berdua di meja berlilin itu,
menciptakan kesan candle light dinner dan
entah kenapa mendadak dada saya seperti disengat sesuatu). Saya dan adik saya
jajan tempura sebelum kemudian pulang dengan tubuh lelah.
Rabu pagi saya mudik ke Kebumen. Ada yang berbeda kali ini
karena akhirnya Wawa mau ikut dengan saya. Maka saya pergi ke Jokteng dulu,
meninggalkan motor di sana dan pulang naik bus dari perempatan Parangtritis.
Beruntung sepanjang jalan Wawa tidak menangis (karena sudah mengikat janji
dengan saya bahwa dia tidak akan menangis), dia hanya bosan dan terus bertanya
apakah rumah saya masih jauh. Belum separuh perjalanan, akhirnya dia tertidur
di pangkuan saya dan adik saya (perlu diketahui bahwa tubuh keponakan saya ini
sudah sebesar anak SD kelas 3 walaupun dia masih TK kecil, jadi ketika dia
berbaring, panjang tubuhnya memenuhi panjang kursi isi 3 orang).
Tidak ada waktu untuk sekedar merasa lelah.
Siang itu juga saya dan ibu pergi ke Petanahan, mencari baju
untuk Wawa (setelah perjuangan membujuk tiga bocah –Nafis, Umami dan Wawa
sendiri, agar tidak ikut dengan iming-iming sup buah dan ayam goreng). Entahlah
ternyata ramadhan juga sudah membawa euforia belanja. Siang itu toko baju yang
kami kunjungi benar-benar penuh. Wawa sudah berpesan agar saya membelikan baju
warna pink, jadi saya pun mencari gamis berwarna merah muda. Tidak bisa
dihindari, saya turut tergoda untuk belanja (selain untuk pelampiasan suasana
hati yang tidak terlalu baik).
Akhirnya ramadhan pun tiba.
Suasana menjelang puasa hari pertama di kampung halaman
adalah suasana yang membawa nostalgia dan saya yakin tidak akan saya temukan di
belahan dunia yang manapun. Matahari sore itu terasa seperti matahari masa
kecil. Kami mengunjungi makam kakek dan nenek dengan berjalan kaki, kemudian
menyambut sholat tarawih pertama yang selalu membuat masjid penuh sesak.
Saya tahu benar bahwa ibu berusaha menjaga hati saya dengan
tidak menanyakan apapun atau menyinggung topik apapun tentang kamu. Saya
sendiri berusaha agar selalu terlihat senang, tersenyum, tertawa, sekalipun
saya menahan sesuatu yang mengganjal. Saya memang senang sekali memeluk ibu
dalam posisi apapun –ketika beliau sedang memasak, sedang berbaring, sedang apa
saja, dan kemudian ibu akan balas memeluk saya. Tiga hari kemarin saya merasa
sekali bahwa ibu akan balas memeluk saya dengan lebih erat dibanding biasanya,
kemudian dia akan menepuk-nepuk punggung saya dan berkata bahwa dia menyayangi
saya. Ibu bahkan memasak makanan yang saya minta pada buka puasa pertama (tapi
sebenarnya, ibu memang akan memasak apapun yang saya minta saat saya ada di
rumah).
Pada akhirnya pembicaraan itu tidak bisa dihindari karena
bapak kelepasan menyinggungnya saat kami buka puasa bersama. Pembicaraan
tentang hal itu membuat gejolak tidak menyenangkan muncul di perut saya.
Di atas segalanya, saya ingin sekali melihat wajahmu,
sungguh. Tidak bisakah kita duduk berhadapan dan membicarakan semuanya
baik-baik? Saya tidak akan menganggap segala sesuatunya sudah berakhir jika
semua itu tidak keluar dari bibirmu sendiri, jika saya tidak melihat sendiri
seperti apa wajahmu saat mengucapkannya. Tapi saya masih punya cukup harga diri
untuk tidak mengemis, sekalipun saya ingin. Pada akhirnya saya mesti kembali ke
Yogya dengan menelan kekecewaan. Saya merasa kamu memang sedang tidak ingin
bertemu dengan saya, tapi di lain sisi saya masih ingin berharap bahwa itu
hanya prasangka buruk saya saja, bahwa kamu memang punya kesibukan lain yang
tidak memungkinkanmu untuk menemui saya.
Ayah Wawa menyusul ke Kebumen Jumat pagi itu, barangkali
karena dia cemas sekalipun saya tidak memberitahunya bahwa Wawa sempat menangis
sore sebelumnya (tiba-tiba saja dia menangis karena ingat pada ayahnya). Kami
kembali ke Yogya usai sholat Jumat. Sore begitu cerah dan suasana ramadhan
mulai terasa dengan banyaknya penjual ta’jil di tepi jalan. Saya pulang ke kos
sambil menangis di jalan –perasaan sedih karena berpuasa jauh dari rumah,
perasaan kecewa dan getir, semuanya bercampur aduk dan sempat membuat saya
berputar-putar tanpa tujuan di sekitar jalan Colombo. Saya terus berputar-putar
hingga ke Samirono dan Sagan, mengulur waktu agar tidak segera menjumpai
kesepian di dalam kamar kos.
Apa memang sebegini teganya kamu pada saya?
Akhirnya saya membeli makan di salah satu warung tenda di
Sagan dan berbuka sendirian di kamar kos. Malam itu untuk pertama kalinya saya
sholat tarawih di kota ini bersama dua orang adik kos.
Kesibukan mengerjakan rapor sudah dimulai. Malam Minggu saya
begadang sampai jam satu dan bangun menjelang pukul sepuluh esok harinya. Saya
tidak berpuasa hari itu sehingga saya keluar mencari makan siang sekitar pukul
sebelas dan kemudian makan soto sapi sendirian di jalan Cik Di Tiro. Hari itu
full saya habiskan untuk mengerjakan rapor yang rasanya tidak selesai-selesai.
Saya memang manusia yang egois. Bulan suci ini telah tiba,
tapi saya masih begini juga. Mestinya ini momen yang tept untuk mulai
memperbaiki diri.
YK, 21 Juni 2015
Comments
Post a Comment