Tujuh Hari Kelimabelas: Remuk Redam
Aku
tidak pernah melakukan kesalahan apa-apa. Aku hanya mencintaimu sebegini
besarnya
Eludicate – Kiaara
Aku remuk redam.
Pikiranku kosong. Atau sebenarnya aku ingin agar
pikiranku kosong. Aku berbaring sambil menangis sementara ibu memelukku dari
belakang. Aku tidak berani menatap wajahnya. Sungguh, aku tahu aku telah
menyakiti hatinya, tapi tempat yang paling ingin kugunakan untuk menangis
adalah dalam pelukannya.
Yang terlintas dalam benakku bukanlah kenangan-kenangan
bersamamu –entah apa, aku juga tidak tahu. Ibu terus menangis, mengatakan
beberapa hal dan bertanya, tapi aku hanya memandang kosong pada langit-langit
dan tidak bisa menjawab. Aku benar-benar menyesal telah telah kelihatan lemah
dan membuatnya terluka. Aku hanya tidak bisa menahannya lagi –antara sakit,
takut, kecewa, aku tidak tahu lagi apakah ada yang bisa disalahkan.
Ibu terus saja menangis dan memelukku makin erat.
Kau harus tahu bahwa ibuku akan lebih terluka dibanding
aku. Apapun, seandainya saja bisa dia akan melakukan apapun untuk
kebahagiaanku. Bahkan jika kau bisa dibeli, barangkali ibuku akan mengumpulkan
uang dari seluruh dunia untuk membelimu. Kemudian satu hal bodoh dan gila
sempat melintas. Aku ingin sekali berbisik padanya:
“Bu, bagaimana kalau dia mati saja? Jadi tidak akan ada
perempuan lain yang bisa memilikinya.”
Untunglah masih ada sisa-sisa kewarasan sehingga aku
tidak menyuarakan kegilaan itu.
Bukankah kau sudah pernah merasakan sakitnya
ditinggalkan?
Dan aku lebih dari sekedar tahu, sejak dulu, karena kau
sudah berkali-kali meninggalkanku. Bagian terberat dari ini pun masih selalu
sama: ketika aku mesti merelakanmu untuk perempuan lain, entah siapapun itu.
Mataku terpejam. Untuk sesaat aku melupakan apa yang
terjadi, apa yang telah terjadi, apa yang mungkin akan terjadi. Aku ingin
semuanya hanya mimpi –bahwa ketika mataku terbuka, aku adalah perempuan yang
kau cintai, perempuan yang kau pilih, perempuan yang tidak pernah meninggalkan kota
itu dan datang ke kota ini sehingga kau tidak akan punya alasan untuk meninggalkanku.
Pada akhirnya aku mesti berhenti menangis. Sebab ibuku
akan terus menangis jika aku menangis. Aku berkata padanya bahwa aku baik-baik
saja. Harusnya aku memang baik-baik saja. Bukankah sederhana saja, sebenarnya?
Aku tidak akan mati jika kau pergi. Aku tidak akan kehilangan pekerjaanku jika
kau pergi. Aku tidak akan selamanya menangis jika kau pergi. Aku masih punya
hidupku, keluargaku, teman-temanku, tapi hati? Kepercayaan? Harapan? Aku tahu
aku telah lama kalah sebab aku yang jatuh cinta padamu lebih dulu. Tapi
bagaimanapun juga, aku tidak bisa memaksamu untuk bersamaku jika kau memang
tidak mau.
Bukankah
apapun yang kumiliki, selain kesedihanku, adalah untuk kebahagiaanmu?*
Seminggu ini tidak ada apapun yang kita bicarakan. Sebab
kau memang tidak mau bicara. Aku
melakukan apapun dengan memikirkannya –merasa marah, sedih, takut, kecewa,
entahlah. Aku pulang Sabtu sore untuk menghadiri undangan pernikahan seorang
teman sekolah. Minggu pagi ketika aku menunggu teman yang akan pergi bersamaku itulah,
ada sebuah mimpi yang dipaksa hancur dari dalam hidupku. Tubuhku gemetar, tapi
aku masih mampu menyembunyikannya dari ibuku. Aku masih bisa tertawa,
tersenyum, bercanda, menatap kedua pengantin dengan perasaan bahagia dan sedih
sekaligus. Bahagia karena melihat sebuah kebahagiaan, sedih karena kebahagiaan
yang kuinginkan itu mesti dihancurkan sedemikian rupa.
Aku tahu tidak ada yang perlu minta maaf. Sebagai manusia
merdeka, kau terlahir dengan kebebasan untuk memilih. Akulah yang kecewa. Sebab
aku sudah memelihara sesuatu yang berbahaya bernama harapan. Bukankah sudah
kubilang bahwa harapan adalah pembunuh yang mematikan? Maka aku dilukai
diam-diam dari dalam oleh diriku sendiri, diracuni oleh harapan-harapan dan
impian yang kurawat sendiri, yang kini pun mesti kubunuh dengan tanganku
sendiri.
Aku tidak boleh bertanya ’kenapa’.
Aku tidak boleh mengatatakan ‘seandainya’ atau ‘bagaimana
jika’.
Aku tidak boleh menggugat. Sebab itu bukan hanya
keputusanmu. Bukankah aku selalu percaya pada campur tangan takdir? Betapapun
aku menginginkanmu, jika takdir tidak menginginkannya, aku bisa apa? Aku hanya
bisa berharap aku akan menyembuhkan diriku sendiri.
YK,
14 Juni 2015
*dari sajak Bambang Purnomo
Comments
Post a Comment