Tujuh Hari Ketujuh: Pertemuan

image from http://indonesiaartnews.or.id/galeri/0202100825Malioboro2.jpg


Hari Senin cukup sibuk, tapi saya tidak ingat detailnya. Ada kelas yang kosong yang dan saya juga mengurus beberapa keperluan administrasi.

Mulai hari Selasa saya tidak pergi ke tempat kerja karena mengikuti workshop di Sleman, tepatnya di gedung eks-SKB. Seperti biasa, hari pertama saya datang kepagian sehingga saya sempat mampir dan menunggu teman di masjid agung (padahal saya juga sudah mampir sarapan di warung). Saya sampai di kos menjelang magrib, tetap malas kalau harus berkendara lewat ring road sehingga saya lebih memilih jalan Magelang. Hal yang sama berlaku selama tiga hari, di mana saya sarapan di warung – berangkat – mengikuti materi – makan snack – makan siang dan sholat – ikut materi lagi – lalu masih berada di jalanan yang basah (setiap hari hujan) sewaktu adzan maghrib berkumandang. Kadang-kadang sewaktu naik motor di jalanan yang ramai itu, saya merasa melayang-layang, entah kenapa.

Hari ketiga diawali dengan praktik mengajar. Kelompok saya yang terdiri atas lima orang mendapat tugas mengajar di kelas IVA SDN Sendangadi 1 yang alkhamdulillah letaknya di tepi jalan Magelang (dekat Jombor) sehingga tidak perlu repot mencarinya. Semua berjalan cukup lancar sampai kami kembali ke tempat workshop untuk presentasi hasil praktik tersebut.

Saya mendapat beberapa hal baru dari acara itu, dan juga pertemuan dengan beberapa kenalan baru.

Hari Jumat saya kembali ke sekolah, ikut melatih paduan suara beberapa kelas sebagai persiapan lomba dalam rangka peringatan hari Kartini (padahal saya juga tidak bisa bernyanyi dengan baik sih). Sore itu saya pergi ke perpustakaan kota dan berhasil membuat kartu anggota. Buku pertama yang saya pinjam adalah sebuah novel teenlit bernuansa angst yang sebenarnya sudah cukup lama terkenal: Dan Hujan pun Berhenti.

Hari Sabtu kembali cukup sibuk karena ada lomba seni di tingkat kecamatan dan saya mengisi kelas-kelas yang ditinggal oleh guru yang menjadi pendamping. Lina sudah sampai di Jogja dan mulai mencari kos diantar oleh sepupunya (Rezha, masih mahasiswa semester 6 di UNY). Sekitar pukul setengah tiga Dewi sampai di kos saya dan kami bersama-sama menunggu Lina sebelum kemudian makan bersama. Setelah itu kami berkeliling lagi melihat-lihat kos yang sudah dikunjungi Lina sebelumnya. Mencari kos di Jogja berbeda cukup jauh dengan mencari kos di Semarang. Di sini lebih banyak pilihan, tapi itulah yang membuat Lina lebih bingung. Dua syarat mutlak yang dipatok Lina adalah:
  1. Tidak ada kucing
  2. Keseluruhan bangunan kos harus terkesan tidak gelap
(Karena syarat nomor 2 itulah kos saya tidak lolos seleksi Lina, selain itu kos saya juga terlalu jauh dari kampus pasca-sarjana UNY).

Pencarian hari itu belum menemukan titik final dan kami pun kembali ke kos saya. Lina sempat tepar sementara saya mencopy beberapa anime dan reality show Korea dari flashdisk yang Lina bawa.

Hujan deras turun seusai magrib. Saya dan Lina baru bisa keluar mencari makan sekitar pukul setengah sembilan. Seperti biasa saya mengunjungi Warmindo langganan saya karena Dewi dan juga saya ingin makan mi rebus (sudahkah saya bercerita tentang Warmindo ini?).

Kami tidak begadang karena rasanya sudah cukup lelah.

Pukul setengah sembilan keesokan harinya kami pergi ke Sunday Morning di sekitar kampus UGM. Kali ini kami benar-benar menyusurinya sampai ujung (yang ternyata adalah di depan kampus FE UGM, mengarah ke pom bensin Sagan). Kami sarapan di warung lesehan (saya makan lontong opor yang tidak membuat saya kenyang). Satu-satunya jajan yang saya beli hari itu adalah es potong yang mengingatkan saya pada masa kecil dulu. Zaman sekarang di desa saya saja penjual es potong macam itu sudah tidak bisa saya temui lagi.

Setelah dari SunMor, Lina memantapkan hati pada kos yang dia lihat pertama kali (bekas kos lama Rezha di daerah Samirono Baru). Tempat itu tidak terlalu jauh dari kos saya dan bangunannya memang menyenangkan. Harga sewanya saja hampir dua kali lipat harga kos saya, jadi saya tidak terlalu heran.
Lina dan Dewi pulang sehabis dhuhur. Daripada kesepian di kos, saya nongkrong di perpustakaan kota sampai pukul tiga.

Saya sempat ketiduran sebentar di kos sebelum sebuah pesan masuk membangunkan saya menjelang pukul lima. Ada seorang kenalan dari forum fanfiction di internet yang mengajak saya bertemu. Dia berasal dari Makassar dan baru saja mengikuti lomba debat bahasa Inggris di kampus UIN. Sebenarnya dia sudah ada di Joga sejak hari Jumat, bahkan tempatnya menginap dekat sekali dari tempat kerja saya, tapi kami belum sempat bertemu di hari-hari sebelumnya. Sore itu dia dan teman-temannya akan mengunjungi Malioboro dan dia mengajak saya bertemu di sana.

Pergi ke Malioboro sendiri di malam hari. Bukan ide yang terlalu menyenangkan, tapi demi dia saya mesti memberanikan diri (karena saya pulalah yang mendorong dia ikut lomba itu agar kami bisa bertemu).

Saya sampai di Malioboro sekitar pukul setengah delapan. Belum ada kabar lagi dari dia sehingga saya memutuskan bahwa tempat teraman untuk menunggu adalah di dalam mall. Saya berkeliling di toko buku (membaca beberapa buku kumpulan puisi dan oh! Buku baru Aan Mansyur sudah terbit!), berkeliling melihat baju-baju da sepatu sebelum akhirnya lelah sendiri dan duduk di McD sembari makan es krim sendirian. Ternyata dia dan teman-temannya ada masalah di jalan (ditilang polisi, menurut saya) sehingga mereka baru sampai sekitar pukul sembilan.

Saya tidak percaya akhirnya saya benar-benar bertemu dengan bocah ini.

Kami benar-benar tidak kenal nama asli (karena di forum itu semua orang memakai pen name), tidak kenal wajah (karena kami sama-sama memakai facebook khusus yang tidak memajang foto asli), dan tidak tahu latar belakang masing-masing (saya hanya tahu dia masih kuliah semester dua dan dia hanya tahu bahwa saya kuliah di Semarang dan sekarang sudah kerja di Jogja). Saya melihatnya berdiri di dekat patung kuda (sesuai ciri-ciri yang dia berikan: kemeja biru dan jilbab merah) dan saya pun menepuk punggungnya, sempat bingung harus memanggil dia dengan nama apa (karena pen name yang dia pakai cukup sulit diucapkan). Dia menoleh, memekik dan menjabat tangan saya. Kami pun tertawa bersama dan saling berpelukan (masih belum menyebutkan nama asli masing-masing). Dia mengenalkan saya pada teman-temannya yang lain (menggunakan pen name saya yang membuat saya ingin tertawa lagi).

Kami menyusuri sepanjang jalan Malioboro sambil sesekali berhenti untuk berfoto. Mereka juga mengajak saya ikut berfoto bersama, benar-benar ramah. Dia sendiri tidak berhenti menggandeng tangan saya sepanjang jalan dan saya merasa kami seperti kakak-adik (apalagi dia terus memanggil saya dengan sebutan nee-chan) atau sepasang sahabat yang sudah kenal sangat lama. Kami membicarakan beberapa author favorit kami, beberapa OTP favorit dan beberapa hal tentang dunia nyata (bahwa ternyata dia adalah mahasiswa jurusan bahasa Inggris dan saya adalah seorang guru SD).

Pukul sepuluh kami pun harus berpisah. Saya mesti pulang dan ternyata mereka akan melanjutkan jalan-jalan ke alun-alun Kidul. Kami berpelukan sekali lagi dan akhirnya pada momen itulah kami sama-sama menyebutkan nama asli kami.

Betapa internet adalah sesuatu yang ajaib.

Saya tidak menyangka bisa benar-benar bertemu dengan bocah Makassar ini dan dia pun berpikiran sama. Dia bilang sejak dulu Jogja menempati posisi teratas dalam daftar kota yang ingin dia kunjungi dan dia tidak menyangka akan bisa mewujudkan mimpinya pada awal-awal masa kuliah. Saya pun tidak mengira bahwa dia akan datang ke kota di mana saya berada dan bahwa saya mendapat tugas untuk mengajar di tengah kota yang memungkinkan saya untuk bisa bertemu dengan dia.

Dipikir berapa kali pun rasanya takdir ini tetap begitu mengesankan.

Saya menyusuri jalanan yang sudah jauh lebih sepi, bahkan Malioboro pun sudah sepi. Daerah Kotabaru yang biasanya ramai juga sangat senyap dan dada saya berdebar-debar. Baru pertama kali ini saya naik motor sendirian pada jam semalam itu. Alkhamdulillah saya sampai di kos dengan selamat pada pukul setengah sebelas.

Hal yang melintas di kepala saya adalah bahwa ternyata Jogja juga bisa tidur.


YK, 21 April 2015: 15.06’

Comments

Popular Posts