Tujuh Hari Kelima: Dunia yang Sebenar-benarnya



Jalanan selalu lebih padat dan hampir menjadi macet tiap akhir pekan. Saya terbakar di jalan dan mencoba tidak penasaran ke mana tujuan semua orang itu.

Ada sebuah pukulan yang nyaris telak di dada.

Bukan hanya sedikit nyeri, tapi efeknya merambat menjadi semacam mual di perut dan saya benar-benar ingin muntah kalau saja bisa. Barangkali ekspresi wajah saya selama sisa hari itu menjadi sangat jelek karena menarik bibir pun rasanya sangat berat. Saya belum peduli. Sewaktu pulang menjumpai kesepian dan kegelapan kamar yang mendadak terasa begitu kosong, wajah saya basah sembari membatin bertanya, ‘ibu, apakah saya memang pantas mendapatkan hal itu’. Saya bisa membayangkan ibu akan memberitahu bahwa begitulah dunia yang sebenarnya, yang selama ini belum saya hadapi. Jika bisa tentu ibu ingin selamanya menjadikan saya gadis kecil yang aman dalam lindungannya. Tapi saya tidak bisa selamanya kecil seperti Peter Pan.

Orang bilang seorang pelaut tidak akan menjadi tangguh jika berlayar di lautan yang tenang. Barangkali saya akan menjadi karang yang tetap kokoh di sana sekalipun dihajar ombak besar berkali-kali. Kali lain saya juga ingin bisa menjadi puting beliung yang punya kemampuan untuk menggelorakan ombak itu sendiri. Barangkali saja suatu hari saya mesti begitu juga demi harga diri.

Tadi malam saya jatuh tertidur dengan kepala agak pening karena lampu kamar yang kurang terang dan efek melihat angka dan kertas terus-menerus. Untuk pertama kalinya, saya bangun siang (pada Minggu pagi). Langit cerah dan saya meneruskan mengurung diri di kamar untuk menyelesaikan pekerjaan usai menjemur pakaian di balkon atas. Sewaktu mandi dan mengguyur kepala dengan air dingin, saya tahu tidak seharusnya satu peristiwa kecil itu mempengaruhi begitu besar suasana hati saya. Sebab jika begitu maka saya sudah kalah sedari awal dan besok-besok saya tidak akan punya kekuatan untuk membentuk diri menjadi batu karang kokoh.

Demi memperbaiki suasana hati, maka saya akan menceritakan sedikit tentang tujuh hari kelima ini.

Saya mengawali bulan April dengan berbelanja di KOPMA UNY untuk pertama kalinya. Saya sempat berputar-putar di sekitar kampus sehari sebelumnya dan teringat bahwa dulu saya ingin dan hampir menjadi mahasiswa di sana. Sekarang, berkeliling di jalanan kampus itu dan melihat banyak mahasiswa berseliweran membuat saya tersenyum karena seakan-akan saya berhasil mewujudkan salah satu keinginan di masa lalu. Saya akhirnya datang ke sana sekalipun bukan bagian dari keluarga.

Jumat pagi mendung. Entah kenapa hari Jumat hampir selalu saja mendung. Saya mendapat tugas untuk pergi ke Jokteng dan membujuk keponakan saya untuk ikut pulang ke Kebumen akhir pekan ini. Pukul sembilan saya berangkat dan berdoa agar hujan bertahan dulu di langit selama saya dalam perjalanan. Kali ini saya menemukan jalan lain menuju Jokteng yang ternyata lurus saja dari perempatan Hotel Limaran. Keponakan saya sedang pergi keluar dan saya menunggu selama beberapa saat sampai gadis kecil itu pulang dan menolak bujukan saya.

Pukul sepuluh saya berangkat ke Malioboro menemui Dewi yang sudah menunggu. Kami janjian untuk bersama-sama membeli sepatu warna hitam di sebuah mal. Sebenarnya rencana membeli sepatu itu adalah rencana bulan depan, tapi terpaksa kami majukan karena mendapat kabar untuk bersiap-siap mengikuti agenda pra-jabatan sekalipun tanggalnya belum jelas. Seperti biasa kami berkeliling mencoba berpasang-pasang sepatu, tapi seperti yang pernah dikatakan Raditya Dika, akhirnya perempuan pun kembali pada pilihannya yang pertama.

Ternyata sepatu pilihan kami (yang kebetulan satu merk) sedang dalam promo ‘beli 2 gratis 1’. Kami pun saling berpandangan dan bertanya tanpa suara ‘bagaimana caranya membagi sepasang sepatu untuk berdua’. Akhirnya kami melakukan suit (sambil terkekeh bersama) dan Dewi memenangkannya. Usai memilih sepasang sepatu warna kuning, lalu melihat-lihat sepatu olahraga, kami pun membayar ke kasir dan menyadari fakta tentang apa yang dimaksud dengan ‘beli 2 gratis 1’ (bahkan fakta yang lebih rinci baru kami sadari berjam-jam kemudian saat saya melihat struk pembelian di kantong plastik).

Tujuan kami selanjutnya adalah mal lain, seperti biasa, untuk membeli es krim sambil nongkrong. Ternyata di sana ada Wedding Expo dan akan ada lomba fashion show. Seorang gadis kecil (mungkin usianya 3 tahun) tengah berlatih berlenggak-lenggok di atas panggung dan kami malah duduk-duduk di sana mengamati bocah cantik itu sambil tertawa melihat tingkahnya yang lucu.

Kami memutuskan bahwa kami akan melihat lomba itu (untuk hiburan kecil). Maka kami pun keluar menuju masjid untuk salat dhuhur lebih dulu. Masjid yang kami tuju terletak agak masuk ke dalam gang. Sewaktu berjalan ke sana saya sedang bercerita sesuatu tentang kebaya untuk hari Kartini pada Dewi ketika kemudian kami langsung menutup mulut begitu sampai di depan masjid. Ada begitu banyak orang sampai di halamannya (yang juga berupa gang kecil, sebenarnya). Semuanya laki-laki dan kelihatannya sedang mengangkat tangan untuk berdoa. Saya dan Dewi pun bergegas balik badan tanpa berkata apa-apa lagi. Ketika berjalan keluar gang, barulah ingatan itu memasuki kepala saya dan saya pun tertawa sementara Dewi masih belum paham. Saya pun berkata ‘ini kan hari Jumat’ dan dia ikut tertawa. Akhirnya kami menuju masjid di komplek kantor gubernur (yang sebenarnya sama saja dipakai Jumatan, tapi di sana ada banyak tempat untuk duduk menunggu). Sewaktu duduk-duduk di sana itulah kami membagi kenyataan konyol bahwa pikiran kami sama sewaktu sampai di masjid sebelumnya: ‘loh, ada ritual apa? aliran apa ini?’ Dengan begitu bodohnya kami malah bertanya-tanya tentang hal itu dan kami pun menyesal karena lupa tentang hari Jumat dan malah menyangka yang tidak-tidak.

Usai salat kami kembali ke mal untuk membeli es krim, duduk-duduk makan es krim (campur roti) dan kemudian menonton lomba fashion show. Gadis kecil favorit kami muncul dengan sangat cantik dan menggemaskan dengan kostum pesta semacam baju putri kerajaan. Ada banyak anak-anak lain yang menurut saya malah kehilangan kepolosannya karena tampil lebih dewasa. Kami berdiri menonton di sana sampai acara lomba selesai dan hujan masih turun di luar, disertai petir dan sedikit angin. Kami kembali (hujan-hujanan) ke masjid untuk salat ashar. Usai salat dan makan satu porsi bakwan kawi di dekat masjid, kami pun pulang di bawah hujan dan langit yang begitu gelap. Beruntung petir sudah tidak menyambar-nyambar lagi.

Sepanjang Minggu siang ini, untuk pertama kalinya benar-benar saya habiskan dengan berdiam diri di dalam kos. Menyelesaikan tugas, menonton video, menulis cerita (yang belum juga selesai), menelfon ibu dan menyetrika baju. Hampir pukul setengah 4 ketika saya keluar menemukan langit yang begitu cerah. Saya pergi ke pom bensin dan kemudian ke GOR UNY. Sedang ada Islamic Book Fair di sana dan saya selalu suka buku-buku. Ada dua hal yang langsung muncul di otak saya begitu saya masuk ke sana dan melihat tribun penonton berkursi warna-warni: JKT48 dan Kuroko no Basuke. Yang pertama tentu saja karena JKT48 memang sering manggung di sana (dan jujur kalau ada kesempatan saya ingin jadi penontonnya). Yang kedua karena Kuroko no Basuke adalah tentang basket dan tribun penonton itu mengingatkan saya pada banyak scene dalam anime-nya (senang sekali kalau ada Midorima Shintarou atau Aomine Daiki main di sana! –yang saya tahu tidak mungkin kecuali ada cosplayer-nya, barangkali).

Segera saja tempat dan pameran buku itu mengingatkan saya pada pameran buku serupa di Gedung Wanita Semarang. Tapi bagaimanapun juga tempat saya sekarang begitu jauh dan lain dengan di Semarang, kali ini saya berkeliling sendirian –melihat ini itu sebelum akhirnya duduk di depan panggung kecil untuk mengikuti kajian yang sore itu bertema Kristologi. Narasumbernya cukup unik dan caranya yang enerjik (serta agak menggebu) dalam menyampaikan materi membuat saya tidak mengantuk sama sekali. Saya pulang usai kajian rampung dan adzan maghrib selesai dikumandangkan di luar.

Saya mesti berkata minggu ini berlalu dengan baik. Tidak seharusnya satu hal kecil merusak semua kesenangan yang saya punya. Hal-hal semacam itu berguna agar saya belajar melihat dunia yang sebenar-benarnya.

YK, 5 April 2015: 20.24’
*sudahkah saya bercerita bahwa tiga malam ini saya sendirian di lantai bawah? adik kos saya sepertinya pulang kampung dan teman saya menginap di tempat kerja. saya cukup baik di temani musik sepanjang hari.



Comments

Popular Posts