Sebuah Perpisahan


Seharusnya sebuah perpisahan bukan hal yang asing lagi. Aku pernah melewatinya dan ingin menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa, sesuatu yang memang tidak bisa dihindarkan. Lagipula, ingatan tentang kesedihan dalam beberapa hal bertahan sama kuatnya, atau bahkan lebih kuat, dibanding ingatan mengenai kebahagiaan. Jadi hal-hal semacam itu lebih menarik untuk dihayati dan dituliskan.
Kadang-kadang aku merasa semakin lemah kalau aku sesumbar bahwa aku baik-baik saja dan cukup kuat untuk mengatasinya. Harusnya aku diam dan duduk tenang, menelan apa yang ingin aku muntahkan seperti yang dilakukan oleh manusia dewasa. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: aku berceloteh seperti seorang anak-anak yang menganggap kehilangan mainan adalah sebuah lelucon sehingga pantas untuk diceritakan sambil tertawa-tawa. Sebenarnya ada semacam rasa getir dan aneh yang tidak pada tempatnya setiap kali aku bercerita dan mencoba menertawakan diri sendiri.
Seperti itulah. Tidak pada tempatnya.
Sewaktu aku menyadari kau ada dan nyata, rasanya tidak pada tempatnya aku mencoba ada ‘di sana’, di ‘dunia tempat kau berada’. Beberapa alasan membuatku berpikir kita cukup mirip dengan segala keanehan yang kita akui dan kita banggakan. Bahwa kita memang ‘tidak normal.’ Bahwa orang lain ‘tidak akan mengerti.’ Bahwa kita ‘punya dunia sendiri.’  Bahwa akhirnya aku menuliskan puluhan –dan lebih dari seratus- puisi untukmu, meskipun banyak yang tidak terbaca.
Untunglah aku belum terlalu terbiasa denganmu. Kau, bisa dibilang, mirip dengan hantu yang menghilang dan muncul sesukamu. Dan meskipun aku sudah menerima segala ‘keanehan’ yang juga kumiliki, pada akhirnya ada beberapa hal yang tidak bisa kita terima bersama.
Malam itu, di luar kendaliku, tangan dan tubuhku gemetar.
Sementara ratusan kilometer dari tempatku mencoba mengembalika diri sendiri, kau entah merasakan apa. Mungkin biasa saja. Atau sedikit merasa berdosa. Atau barangkali sepenuhnya lega. Aku hanya benci kenapa aku harus gemetar dan tertawa dengan terpaksa.
Selanjutnya semua harus berjalan kembali seperti seharusnya.
Aku bangun. Makan. Berpikir. Teringat wajahmu sesekali. Menyadari ketidakhadiranmu yang samar, karena satu bulan sebelumnya kau membuatku belajar untuk menerima bahwa kadang-kadang kau berperan sebagai batu, patung, atau makhluk tak hidup lain yang tidak bisa berbicara, setidaknya padaku. Jadi seharusnya aku bisa mengabaikanmu sebaik kau mengacuhkanku, seakan-akan aku benda usang yang sudah layak masuk ke gudang.
Perasaan hambar dan sedikit ketidka relaan ini, sungguh tidak pada tempatnya.
Rasa ingin tahu terkadang benar-benar menjadi musuh yang menyusahkan, sampai aku berpikir manusia memiliki kebutuhan untuk menyakiti diri sendiri dan menghayati perasaan sakit itu.  Tapi mungkin itu adalah kebutuhan untuk manusia sejenisku, bukan semua jenis manusia.
Aku tidak akan berpura-pura.
Sesuatu semacam perpisahan bukan sesuatu yang bisa diabaikan seperti kerikil yang kebetulan ada di tengah jalan lalu disingkirkan dengan mudah kalau kita mau. Itu sesuatu yang tetap akan berbekas, sekecil apapun, entah itu bekas yang baik atau bekas yang kurang menyenangkan.
Yang jelas, sudah tidak pada tempatnya kau menetap di ingatanku.

14.12.2012: 10.00’

Comments

Popular Posts