Memeluk Bapak
Kapan terakhir kali aku memeluk Bapak?
Mendadak pertanyaan itu muncul pagi ini, ketika aku duduk di
kelas sebelum kuliah dengan dada yang tiba-tiba berdebar lebih dari biasanya.
Belakangan ini rinduku memang keterlaluan. Padahal baru sebulan aku tidak pulang.
Sebulan. Masih sebentar. Tapi rasanya sudah lama sekali sampai aku lupa rasanya
duduk berjam-jam di bus yang pengap dan panas tapi dengan perasaan senang yang
tidak terbahasakan.
Rasa kangen yang sering muncul itu memang mengacu kepada
satu kata: “rumah” dengan segala yang menyertainya –adik dan keponakan yang
lucu, hari-hari damai yang dipenuhi banyak cerita bersama Ibu, segelas kopi di
pagi hari, pohon-pohon kelapa dan mendung yang bahkan tidak terlihat berbeda.
Tentu saja Bapak masuk dalam hitungan itu, tapi aku baru sadar episode di mana
ada Bapak hanya terlihat sepenggal dan tidak banyak.
Jadi, kapan terakhir kali aku memeluk Bapak?
Sungguh, aku tidak ingat. Setiap kali pulang dan akan
berangkat, aku memeluk Ibu, tapi hanya mencium punggung tangan Bapak. Padahal biasanya
Bapak yang pertama kali kulihat sewaktu aku turun dari bus, terutama jika aku
pulang malam. Dia selalu duduk di tempat penitipan sepeda motor, kadang
mengobrol dengan siapa saja yang ditemuinya di sana. Bahkan, kadang dia sudah
menunggu berjam-jam, walaupun aku baru memintanya menjemputku jika busku sudah
dekat dengan tempat tujuan. Tapi dia tidak mendengarkan perkataan orang lain
dan lebih memilih untuk mengikuti kemauannya sendiri.
Aku benar-benar tidak ingat kapan terakhir kali aku memeluk
Bapak. Apakah aku merasa sudah dewasa dan malu untuk melakukan hal samacam
memeluk ayah sendiri? mengabaikan ingata sewaktu aku bayi dan masih sangat
kecil, sepanjang ingatanku hanya ada seorang lelaki yang memelukku selain
Bapak: guru SD ku, yang waktu itu terlalu senang karena aku memenangkan sebuah
lomba di kabupaten. Setelah Pak Guru itu, tidak ada orang lain yang kupeluk
atau memelukku.
Sesekali ketika aku tidak di rumah, Ibu bercerita bahwa
Bapak sering menanyakanku, memikirkan apa yang aku makan dan sebagainya. Kalau aku
di rumah, dia juga sering bertanya apakah aku ingin makan atau ingin jajan
sesuatu (bakso? Soto? Sate?) –mungkin dia berpikir di Semarang aku tidak cukup
makan dan tidak pernah jajan. Sekalipun tidak begitu mengerti, dia selalu menanyakan
bagaimana kuliahku dan apa saja yang kukerjakan. Aku tahu bahwa lelaki sederhana itu, yang selalu
percaya pada takdir dan kebahagiaan yang sederhana, sekarang sudah mulai menua
dengan tambahan keriput di wajah dan tangannya. Tapi dia begitu jarang
mengeluh. Baginya hidup adalah apa yang ia jalani: dia memberi –dia menerima,
dia kehilangan –dia mendapatkan gantinya, dia memetik karena dia menanam. Bagiku
dia adalah contoh paling dekat dan nyata dari wajah kesabaran dan
kesederhanaan.
Sekarang, pertanyaanku harus kuubah:
“Jadi, kapan aku akan memeluk Bapak?”
Semarang, 19 Desember 2012
Comments
Post a Comment