Ketika Akhirnya

1
Jauh di bawah batu-batu karang
mungkin suaramulah yang bergaung. Naik ke permukaan
air. Menguap dan membuat burung-burung oleng. Pasir
menghembus dan menyerbu kakiku, menyerupai lapisan
kabut. Dalam pikiranku ada selalu yang tak bisa kuselamatkan
yaitu, melupakan suaramu. Suara yang terus membuatku pergi
dari setiap tempat sebelum tahu bahwa tempat itu
memiliki sebuah nama


2
Di pulau kecil, di mulut sebuah tanjung
kubiarkan ingatanku terurai. Bayanganmu menempel
di telapak tanganku, di pepohonan bakau, di lengang
angin pada gerak pelan sebuah jembatan gantung. Ombak
memasuki tanjung, menjauhi laut, mencari-cari namamu
di antara tebing-tebing karang. Sambil menyelamatkan
pecahan-pecahan tubuhmu, kujauhi gelagat hujan
yang datang dari arah dermaga. Angin yang kasar
menderu di sekeliling pulau
Santolo-Ahda Imran



Sejak dulu mereka bilang aku terlalu sering tersenyum. Saat bicara, bahkan saat duduk sendiri mereka bilang aku sering tersenyum. Jika benar begitu, barangkali sekarang aku sudah terlalu banyak tersenyum lebih dari biasanya. Memang, aku begitu senang sampai ingin menghitung satu per satu daun kersen yang begitu rimbun di depan jendela kamar.
Apa aku sudah mulai meracau lagi?
Sejak dulu aku selalu takut aku akan menjadi berlebihan, ketika aku berkata aku menyayangi pohon kersen, ketika aku bercerita tentang sepak bola, ketika aku berkata aku menyukai kopi, ketika aku berkata aku suka menulis, ketika aku menuliskan sesuatu, ketika aku kesal kepada sesuatu, ketika aku berkata aku menyukai bulan sabit, ketika aku berkata aku menyukaimu.
Melihat dunia itu, dunia tempatmu berdiri, aku bertanya-tanya apakah aku bisa ada di sana. Begitu banyak yang belum kuketahui, begitu banyak yang belum kupahami. Tapi bukankah aku tidak perlu mengerti semuanya? Aku hanya perlu menerima bahwa kita memang tidak perlu kewarasan untuk terus berjalan bersama.
Apa yang kuinginkan sekarang?
Aku tidak ingin menjadi jahat, egois, pengecut atau kekanak-kanakan dan kemudian terlihat menyebalkan. Aku hanya ingin tetap berada pada waktu ini. Tidak seharusnya aku menakutkan hal-hal yang belum pasti dan tidak beralasan. Jika begini, kapan aku akan jadi dewasa?  Tidak bisa, aku harus berhenti sekarang juga.
Kalau kau bertanya apa yang aku inginkan, aku tidak ingin banyak.
Aku tidak ingin menjadi satu-satunya orang yang berhak berteduh di bawah pohon beringin itu. Aku tidak ingin mereka tertinggal di luar dan kehilangan. Aku sama sekali tidak berhak untuk itu.
Aku tidak ingin berkata pada dunia bahwa ada aku, kau dan kita. Waktu memang tak pernah mau menunggu, tapi aku tahu ada waktu yang lebih tepat untuk semuanya. Dan menunggu waktu yang seperti itu adalah seperti daun menunggu embun pada pagi yang tak pernah ingkar janji.
Aku tidak ingin kau menuliskan sajak-sajak sepertiku yang mencintaimu sebagai puisi. Biarkan saja aku yang memang selalu gembira merayakan kata-kata. Barangkali karena aku memang lebay, tapi sungguh hanya padamu sekarang aku begitu.
Aku tidak ingin 24 jammu menjadi hari-hari yang membosankan karena selalu ada aku. Dunia terlalu luas untuk dijelajahi berdua. Maka lihatlah matahari terbit di mana saja, matahari terbenam di mana saja, bagiku dua orang tidak harus selalu bersama untuk bisa saling jatuh cinta.
Aku tidak ingin kau memberiku sebatang calla lily, tulip, scarlet carson, gardenia, bahkan dandelion sekalipun. Semua tidak harus berarti bunga-bunga. Sederhana saja. Sesederhana hujan yang turun tanpa tanda.
Aku tidak ingin banyak, sungguh.
Hanya ingin duduk bersama, melihat langit dan bicara tanpa kata-kata.
Itu saja, karena ketika itu aku akan percaya bahwa kau benar-benar ada.

Semarang, 18 Juli 2012: 21.01

Comments

Popular Posts